KBL.03 TUAN ALEXANDRE TELAH KEMBALI

1426 Kata
    Mataku tidak menoleh pada Aliye yang sudah berada di sampingku. Mataku masih menatap lekat pada sosok yang masih berdiri di depan halaman rumah. “Apakah itu…..”       Aliye mengikuti tatapanku yang tertuju pada sosok yang sedang berdiri di bawah. Ia mengerti maksud pertanyaanku. “Ya, Nyonya. Itu Tuan Alexandre.”       “Apa dia sudah kembali?” Aku menoleh kearah Aliye yang sedang berdiri.       “Ya, Nyonya. Tuan Alexandre telah kembali.”       Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tanpa ku sadari butiran sebening crystal kembali menetes di pipiku. Aku kembali di rundung rasa penyesalanku  seumur hidup. Ya, aku merasa sangat menyesal telah berpisah dengan Alexandre Wang yang sangat mencintaiku. Dan menikah dengan Nathan Collins yang selalu menyakitiku. Aku menyia-nyiakan kebahagian yang sudah ada di depan mata dan memilih untuk masuk ke dalam neraka.Terkadang hal yang awalnya kita anggap baik, belum tentu akan berakhir baik. Awalnya aku berpikir menikahi seorang pria yang aku cintai selama bertahun-tahun akan membuat hidupku bahagia, ternyata tidak. Dan penyesalan selalu datang di akhir.       “Aliye…” Aku kembali menyebutkan nama Aliye. “Jika Erol sangat mencintaimu, jangan pernah sia-siakan dia. Jangan sepertiku yang hanyut dalam penyesalan.       Aliye hanya diam mendengar ucapanku. Aku kembali memfokuskan pandanganku pada pria yang masih menatapku dari depan halaman rumah. Setelah perpisahan kami enam bulan lalu, baru kali ini aku bertemu dengannya meski hanya melihat dari jauh. Ia terlihat sangat kurus sekarang. Aku merindukan senyuman tulus dari wajah tampannya. Senyuman yang sangat aku rindukan enam bulan terakhir ini. Jika mengingat senyumnya, aku merasa mendapatkan kedamaian kembali walau hanya sebentar. Maafkan aku Alex, maafkan aku, batinku.       “Apa Nyonya merindukan Tuan?” Aliye yang dari tadi memperhatikanku bergumam.       Aku hanya tersenyum diam menanggapi ucapan Aliye. Kemudian menggerakkan kursi rodaku berputar memasuki ruang kerja. “Aliye, tolong bantu aku membereskan barang-barang yang akan aku bawa untuk praktek ke rumah sakit besok.”       “Baik, Nyonya.” Aliye mengangguk dan mengikutiku dari belakang.     ****             “Selamat pagi Dokter Emira.”       “Pagi…” Aku tersenyum pada para suster yang ada di rumah sakit tempatku bekerja. Aku berjalan memasuki rumah sakit melewati lorong menuju ruang praktekku menggunakan kursi rodaku. Inilah kegiatan yang aku lakukan setiap hari. Pagi pergi bekerja dan pulang sore hari. Jika aku tidak merasa terlalu lelah, aku akan lebih banyak menghabiskan waktuku di rumah sakit di bandingkan di rumah. Dan enam bulan terakhir ini rumah sakit adalah salah satu tempat favouritku.       Aku bekerja sebagai seorang dokter di salah satu rumah sakit swasta terkenal di kota Istanbul. Aku sangat mencintai profesiku, dan ini adalah cita-citaku semenjak aku kecil. Aku masih ingat, saat aku masih kecil ayahku meninggal karena penyakit jatung. Saat itu ibuku tidak memiliki uang untuk membiayai perawatan ayahku di rumah sakit. Karena kami bukanlah dari kalangan orang kaya. Untuk biaya sehari-hari saja ibuku harus bekerja serabutan. Dan kami bisa makan jika ibuku telah mendapatkan upah sepulang bekerja. Beberapa tahun berikutnya ibuku terkena penyakit kanker. Karena kami hidup miskin ibupun tidak pernah pergi berobat. Hingga akhirnya ibuku meninggal dalam keadaan tidak memiliki apa-apa. Dan aku yang hanya hidup sebatang kara akhirnya tinggal di panti asuhan. Semenjak itulah aku bertekad saat dewasa nanti aku harus menjadi dokter, apa pun caranya akan aku lakukan.       Sebelum memasuki ruang praktek, aku menyapa semua pasienku yang telah mengantri di depan pintu ruangan dengan senyuman. Aku melihat Feride asistenku sedang menyiapkan data-data pasien di sudut ruangan. Ia sudah menjadi asistenku selama aku bekerja di rumah sakit. Dan Feride sangat bisa diandalkan.       “Feride, apa semuanya sudah siap?” Aku bertanya sambil memasuki ruangan dan menggerakkan kursi rodaku menuju meja kerja.       “Sudah, Dok.” Feride menoleh ke arahku dan segera berjalan mendekatiku. Ia memindahkan kursi kerja yang dulu biasa ku pakai, dan membantu mendorong kursi rodaku hingga berada di belakang meja kerja. Kemudian ia menyiapkan segelas air putih dan secangkir teh untukku.       “Silahkan di minum, Dok.” Feride menaruh gelas dan cangkir di atas meja kerjaku. “Apa anda membutuhkan yang lain Dok?”       Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Tidak, terima kasih Feride. Suruh pasien pertama memasuki ruangan. Kita akan mulai praktek hari ini.”       “Baik, Dok.” Feride mengangguk dan berlalu memanggil pasien pertama.         Satu persatu pasien memasuki ruang praktekku. Aku memeriksa mereka satu persatu di bantu oleh Feride, asistenku. Biasanya aku bisa melakukan banyak hal. Tapi dua bulan terakhir semenjak aku bergerak dengan kursi roda, Feride lah yang banyak membantuku. Aku hanya bisa memeriksa, menganalisa dan mencatat resep untuk pasienku. Selebihnya Feride yang mengerjakannya.       Pagi berganti siang, dan siang pun telah berganti sore. Semua pasien yang mengantri di luar ruangan telah selesai aku tangani. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 6 sore, itu artinya sudah waktunya jam praktek ku telah habis. Feride membereskan semua dokumen-dokumen yang ada di ruanganku dan menyusunnya di rak dinding.       “Apa Dokter Emira ada acara malam ini?” Feride menoleh kearahku sambil menyusun buku dan dokumen di rak.       Aku yang sedang memainkan ponselku menjawab, “Tidak, Feride.”       “Bagaimana kalau malam ini kita makan di luar bersama, Dok?” Feride tersenyum padaku.       “Apa kamu yakin Feride?”       Feride yang tidak mengerti dengan maksud pertanyaanku pun kembali bertanya, “Maksud Dokter?”       Aku berhenti memainkan ponselku dan tersenyum menghadap Feride. “Feride, aku tidak seperti dulu lagi. Jadi akan sulit bagimu mengurusiku yang kemana-mana harus menggunakan kursi roda ini.”       “Tidak masalah Dok. Masih ada aku yang akan mengantarmu kemanapun kamu ingin pergi.” Feride tersenyum berjalan mendekatiku dan mendorong kursi rodaku.       Aku dan Feride keluar dari ruang praktek. Feride mendorong kursi rodaku melewati lorong hingga akhirnya berhenti di pintu masuk rumah sakit. “Dok, tunggu aku di sini sebentar. Aku akan mengambil mobilku ke parkiran.”       Aku mengangguk menanggapi ucapan Feride. Sambil menunggunya datang, aku sibuk memainkan ponselku. Sesekali aku menoleh memperhatikan orang-orang dan kendaraan yang sedang berlalu lalang di depan rumah sakit. Aku memperhatikan sekelilingku, hingga akhirnya mataku berhenti pada sebuah mobil yang terparkir di depan rumah sakit. Aku melihat sosok pria yang aku kenal sedang duduk di kursi pengemudi. Pria itu adalah Alexandre Wang. Ia menatapku begitu lama dengan tatapan penuh makna. Mata kami saling bertemu cukup lama, seperti menyampaikan sebuah pesan namun tidak saling berbicara.       Tiba-tiba mobil Feride berhenti, membuat tatapanku dan Alexandre ikut terhenti. Tatapan kami terhalang oleh mobil Feride yang terparkir di hadapanku. Feride keluar dari mobilnya  dan menghampiriku.       “Maaf Dok, membuat anda menunggu lama. Tadi mobilku terhalang oleh mobil yang terparkir di depannya, membuatku harus menunggu pemiliknya baru bisa keluar” Feride menjelaskan dengan wajah kesal.       Aku tersenyum pada Feride, “Tidak apa-apa Feride. Yang penting sekarang kita sudah bisa pergi.”       Feride membantu mengangkatku memasuki mobilnya dan duduk di kursi depan penumpang. Kemudian ia melipat kursi rodaku dan meletakkannya di bagasi belakang mobil. Ia menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal keluar dari halaman rumah sakit.       “Selanjutnya, aku yang akan menjemput dan mengantar Dokter ke rumah sakit.”       Aku menoleh kearah Feride yang sedang mengendarai mobilnya, “Tidak usah, Feride. Itu akan merepotkanmu. Aku bisa pesan taxi online. Juga ada Aliye yang membantuku jika hendak berangkat ke rumah sakit.”       Feride tersenyum, “Tidak apa Dok, aku juga sekalian jalan. Setiap pergi dan pulang dari rumah sakit, aku akan selalu melewati rumahmu. Jadi tidak masalah bagiku, juga tidak merepotkanku.”       “Baiklah, aku sangat berterima kasih padamu. Semoga Tuhan selalu memberkatimu, Feride.”       “Aamiiiiin… Dokter tidak usah sungkan padaku. Kita sudah seperti saudara.” Feride kembali tersenyum padaku.       Aku menimpali senyum Feride terhadapaku. Aku sangat bersyukur memiliki rekan kerja sebaik Feride. Awalnya aku berpikir dengan keadaan seperti ini tidak akan ada orang yang peduli padaku. Tapi pikiranku itu salah, ternyata Tuhan masih menyayangiku. Tuhan masih memberiku teman dan orang-orang yang peduli terhadapku, seperti Aliye dan Feride. Dan aku sangat bersyukur akan hal itu.       “Feride, kali ini kita akan kemana?”       “Ada sebuah café yang baru buka di pinggir pantai kawasan Salacak, Dok. Kemarin aku baru saja makan di sana bersama pacarku. Hari ini aku ingin membawa Dokter kesana.” Feride menjawab pertanyaanku dengan wajah senang.       “Benarkah? Apa makanan di sana sangat enak?”       “Tentu saja. Kalau tidak, aku tidak akan berani membawa Dokter untuk makan di sana.”       “Kalau begitu, ayo kita kesana. Aku sudah lama tidak makan di luar.”   Mobil Feride melaju dengan kecepatan sedang menuju sebuah café yang berada di pinggir pantai kawasan Salacak, sebelah barat distrik Uskudar, kota Istanbul sisi Asia. Dua puluh menit kemudian, kami pun sampai di halaman café tersebut. Feride memarkirkan mobilnya di halaman depan café. Kemudian ia mengambilkan kursi rodaku yang ada di bagasi dan membantuku keluar dari mobil.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN