5. Tidak Ada Artinya

1012 Kata
Hari demi hari, bulan demi bulan, Alisha hampir melewati segala ujian rumah tangganya hampir satu tahun. Tidak ada yang tahu penderitaannya, karena Alisha menutup rapat segala yang terjadi di dalam rumahnya. Lagi pula, Alisha juga tidak punya tempat untuk membagi ceritanya. Setiap harinya Alisha hanya meyakinkan dirinya untuk bertahan hidup, bertahan sekuat yang ia bisa sambil meyakini semua ini suatu saat akan berakhir. Tapi semakin hari keyakinan itu rasanya semakin terkikis, seolah semua ini terus berlanjut tanpa ada ujungnya. "Jadi kapan ibu dan ayah dapat cucu? Kalian menikah hampir satu tahun," ujar Bu Rosa. Dilihat dari ekspresi wajahnya , beliau sangat menanti kehadiran cucu dari Alisha dan Daffian. "Teman-teman ibu semuanya sudah punya cucu." "Do'akan saja ya, Bu." Alisha menyahut seperti biasa, disertai senyum di wajahnya. Dia hanya bisa menjawab seperti itu, karena tidak bisa memberi harapan palsu. Bagaimana bisa dia hamil sedangkan Daffian sama sekali tidak menyentuhnya? "Kalau memang ada masalah, sebaiknya konsultasikan dengan dokter kandungan, Alisha. Kamu dan Daffian bisa sekalian promil," imbuh Pak Bastian. "Nanti kami pikirkan, Ayah." Kali ini Daffian yang menjawab. "Lagi pula aku dan Alisha masih menikmati kebersamaan kami." Pria itu berkata penuh kebohongan. Satu bulan sekali, Bu Rosa mengundang Alisha dan Daffian untuk makan malam bersama. Meski Bu Rosa sering menanyakan kondisi rumah tangganya, Alisha selalu mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. Acara makan malam pun berlangsung seperti biasa. "Kenapa Ayah mempercayakan perusahaan pada Marsel daripada aku?!" Baru saja makan malam keluarga selesai, namun sudah terjadi keributan. Berbeda dengan makan malam sebelum-sebelumnya, di mana Alisha dan Daffian langsung pulang tak lama setelah makan. "Karena kamu belum bisa mengurus dirimu sendiri dengan benar, Daffian! Bagaimana kamu mau mengurus perusahaan? Belajarlah dulu mendampingi adikmu, buktikan pada Ayah kalau kamu mampu!" seru Pak Bastian. Suasana terasa mencekam, seorang ayah dan putra sulungnya sedang beradu argumen. Alisha, Marsel, dan Bu Rosa hanya bisa terdiam. "Kamu pasti mengatakan yang tidak-tidak tentang aku pada Ayah, kan?!" tuduh Daffian, jari telunjuknya tepat menunjuk wajah sang adik, Marsel. "Daffian!" Kali ini Bu Rosa ikut bersuara. "Tanpa Marsel cerita pun, kamu pikir kami tidak tahu kelakuanmu selama ini?! Tujuan kami menikahkanmu dengan Alisha pun agar kamu bisa menjadi orang yang lebih baik, Nak." Sang ibunda mencoba memberi pengertian dan meredam emosi Daffian, namun nampaknya percuma. "Tidak ada yang bisa merubahku, Bu. Lagi pula aku baik-baik saja dengan hidupku, kenapa kalian semua ikut campur mengaturnya?!" Daffian berteriak frustasi, sedangkan Alisha masih diam dan memilih tidak ikut bicara sama sekali. "Aku sudah berusaha menuruti semua keinginan kalian, bekerja di perusahaan ayah, lalu menikah dengan Alisha, apa itu semua belum cukup?!" Sebagai anak pertama, tentu saja Daffian mengharapkan perusahaan ayahnya jatuh ke tangannya. Tapi Pak Bastian malah lebih memilih mempercayakan kepada Marsel, padahal umur mereka berbeda sepuluh tahun. Adiknya pun belum lama menyelesaikan studi S2 dan baru bergabung di perusahaan sekitar satu tahun. Sedangkan Daffian sudah lima tahun membantu Pak Bastian di perusahaan dan hanya diberi jabatan manajer. Katanya agar Daffian belajar dari bawah, tapi tiba-tiba malah adiknya yang berniat diangkat menjadi wakil direktur. Tentu saja hal itu membuat Daffian emosi. "Keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat! Kamu bantu adikmu, baru ayah akan beri jabatan yang setara jika memang merasa kamu sudah pantas untuk mendudukinya!" tegas Pak Bastian. Daffian wajahnya merah padam karena emosi memilih pergi dari sana. Ia menatap sengit pada Marsel sebelum pergi, seolah semua ini salah adiknya. Padahal Marsel tidak meminta sama sekali pada Pak Bastian. Ini murni keputusan ayahnya. "Alisha, kamu bantu tenangkan Daffian ya jika sudah di rumah nanti?" pinta Bu Rosa, pada menantunya. "I-iya, Bu." Meski ketakutan, tentu saja Alisha tidak bisa menolak permintaan ibu mertuanya. Alisha pun pamit dan bergegas menyusul Daffian karena takut ditinggal pulang sendiri. Alisha saja bingung untuk menenangkan dirinya sendiri karena terlalu kaget dengan keributan yang terjadi malam ini. Malah ia diminta untuk menenangkan Daffian, tentu saja itu bukan hal yang mudah. Alisha harus siap dengan segala konsekuensinya, dicaci maki Daffian misalnya atau mungkin lebih parah dari itu, yang jelas dia tidak bisa membayangkannya. "Kamu jangan takut pada Daffian, meski dia kakakmu, tapi Ayah punya penilaian sendiri." Pak Bastian menepuk-nepuk pundak Marsel, meyakinkan putra bungsunya. "Do'akan kakakmu agar bisa menerima dan merubah sikapnya," timpal Bu Rosa, yang diangguki oleh Marsel. *** Alisha membawakan secangkir teh hangat untuk Daffian. Ia berniat untuk mengobrol dengan suaminya, seperti yang Bu Rosa minta padanya. Namun sang suami terlihat sibuk sedang bertelepon entah dengan siapa. Daffian terlihat sedang berbicara serius, sampai tak mendengar Alisha masuk ke dalam kamar. "Pokoknya kalian atur saja. Jangan sampai ada yang terlewat! Harus tampak seperti kecelakaan sungguhan. Kalian mengerti?! Aku akan kirimkan foto dan akan beritahukan nanti kapan waktunya!" Alisha butuh waktu beberapa detik untuk mencerna percakapan yang Daffian lakukan via telepon itu. Sampai ia menyadari jika suaminya mungkin saja akan melakukan sesuatu yang buruk. Tangan Alisha pun gemetar hingga menjatuhkan teh yang ia bawa. Prang!!! Daffian berjengit kaget dan membalikkan badannya. Ia melihat Alisha yang sama terkejutnya dengan dia. Saat Alisha melangkah mundur dan mencoba untuk lari, Daffian menarik tangannya kasar dan membekap mulutnya. "Diam! Awas kamu kalau berani berteriak!" ancam Daffian. Air mata sudah mengalir dari mata Alisha karena sangat takut. Harusnya dia tidak masuk ke kamar dan mendengar semuanya. Alisha mendengar hal yang mungkin tak seharusnya ia dengar. "Kalau kamu berani memberitahu orang tuaku atau orang lain, kamu juga akan aku singkirkan. Kamu paham?!" Daffian masih membungkam mulut Alisha dengan tangannya. Alisha mengangguk sambil menangis tanpa suara. Dia juga tidak bisa melakukan apapun. Dia terlalu takut pada Daffian, apalagi diancam akan disingkirkan. Daffian kemudian mendorong tubuh istrinya ke ranjang dengan kasar. "Kenapa kamu terus saja mengangguku?!" Dia kemudian pergi meninggalkan Alisha, entah kemana dan tak tahu akan kembali pukul berapa. Alisha tidak peduli. Dia hanya terus menangis di atas tempat tidur sambil menatap pecahan cangkir teh yang tadi ia bawa. Seharusnya dia memberitahu kedua mertuanya atau adik iparnya, tapi nyawa dia menjadi taruhannya. Daffian terlihat tidak takut apapun, dia bahkan berniat menyingkirkan seseorang. Pasti Daffian juga tidak akan segan-segan melenyapkan Alisha yang bukan siapa-siapa baginya, hanya seorang wanita yang baru dikenalnya kemudian tiba-tiba dijodohkan dengan dirinya. Alisha sama sekali tidak ada artinya untuk Daffian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN