Setelah memasangkan tulisan 'rumah dijual' di gerbang, aku kembali ke dalam. Memasang iklan online supaya rumah ini bisa segera terjual. Setelah uangnya ada, aku bisa mencari rumah ukuran kecil yang lebih murah, atau bisa menyewa dulu jika rumah baru belum ada.
Aku mengambil foto bersama Alva. Mempostingnya dengan caption 'sekuat apa pun kita menjaga dan menggenggam, yang harusnya pergi akan tetap pergi. Selamat datang masa depan!'
Banyak komentar dari teman yang tak jarang bertegur sapa di komen. Terkadang, membaca komen mereka bisa memberikan semangat tersendiri.
Bang Leon sendiri tak tahu kalau aku masih memiliki akun f*******:. Dulu, dia memintaku menghapus akun karena tak suka saat banyak teman pria yang ikut berkomentar jika memposting foto dan status.
Kini, aku jadi punya banyak waktu santai. Aku hanya membantu mengepel dan menyapu saja karena Alva sering bermain di lantai. Untuk pekerjaan lain, biarkan saja Mira yang mengerjakan nanti. Meskipun, sebenarnya mata dan tangan ini gatal juga. Aku tak biasa dan tak betah melihat rumah tidak rapi.
Ketika tengah asyik bermain dengan Alva, satu pesan di messenger kuterima. Pesan dari akun pria tanpa foto yang tidak ada dalam list pertemanan.
[Lanjutkan perjuangan dan raihlah mimpimu. Tetaplah tersenyum karena setitik saja air matamu terjatuh, itu akan menjadi luka untukku.]
"Siapa?" gumamku seraya mencoba mengintip profilnya. Tak ada aktivitas apa pun di beranda.
Tanpa mau ambil pusing, kuhapus saja pesan itu dan kembali fokus bermain bersama Alva.
Menjelang siang, Alva mulai mengantuk. Kugendong dia ke kamar dan menyusuinya hingga tertidur pulas. Pandangan mataku kini tertuju pada foto kami bertiga yang masih terpajang di atas nakas.
Kuraih figura tersebut, lalu duduk bersandar kepala ranjang seraya memandanginya. Foto di mana aku tengah tersenyum menggendong Alva dengan Bang Leon yang tersenyum merangkul pinggang. Dilihat dari foto ini, sungguh tak menyangka kisah kami akan berakhir karena orang ketiga.
Kupikir dengan kekurangan yang dimilikinya, Bang Leon akan sadar bahwa hanya akulah yang akan menerima dia apa adanya. Sayang, kehadiran wanita lain telah membutakan mata hati hingga dia lupa dengan itu semua.
Tak ada yang abadi termasuk sebuah hubungan. Setelah pertemuan, pasti ada perpisahan meskipun cara setiap orang pasti berbeda. Akan ada waktu di mana orang sabar menjadi muak. Orang yang setia dan peduli, akan angkat kaki saat semua itu tak dianggap berarti.
Sama seperti yang kulakukan sekarang ini. Memilih mundur dan menyerah saat kepercayaan, kesetiaan, dan pengabdianku sama sekali tak ada harganya di mata Bang Leon.
Kusimpan foto itu ke dalam laci nakas dalam posisi terbalik. Tak pantas lagi aku memajangnya di sini. Hanya menambah luka hati.
Jika pada akhirnya nanti Bang Leon menyesal, tentu dia akan kumaafkan. Akan tetapi, memaafkan bukan berarti kembali, bukan?
???
"Mbak!"
Aku yang tengah duduk santai sambil berbincang dengan Nanny di telepon pun seketika terlonjak kaget. Dengan wajah tak bersahabatnya, Mira berjalan mendekat.
"Udah dulu, ya, Nan. Nyi Peletnya sudah pulang," bisikku yang langsung disambut gelak tawa Nanny sebelum akhirnya sambungan telepon ditutup.
"Masuk itu ucap salam kali, bukan teriak-teriak kayak di hutan," sindirku.
"Assalamu'alaikum!" salamnya ketus.
"Wa'alaikumsalam," jawabku tanpa mengalihkan pandangan sedikit pun dari layar berukuran 29 inchi.
"Kenapa rumah masih berantakan begini coba? Itu cucian piring dari semalam masih numpuk aja," sungutnya dengan wajah cemberut. Dia berdiri di dekatku dengan kedua tangan berkacak pinggang.
Diih, sudah mirip ibu tiri saja gayanya dia.
"Terus, kamu mau aku ngerjain semuanya, gitu?" balasku seraya menatapnya dengan satu alis terangkat naik.
"Siapa lagi kalau bukan Mbak? Aku 'kan kerja. Harusnya Mbak Lusi yang, dong, yang kerjain itu semua karena Mbak itu pengangguran."
Astaga, Markonah!
Sungguh tidak punya urat malu sama sekali dia itu. Dia pikir aku diam di rumah tanpa penghasilan? Memang, sih, belum terlalu besar, tapi lumayan.
"Yang semalam masak banyak, tapi keasinan siapa?"
"Aku."
"Yang sekarang berstatus istri Bang Leon itu siapa?"
"Aku, dong!" sahutnya cepat.
"Ya sudah. Kerjain, dong, semua pekerjaan rumah. Kalau enggak mau, yaa ... kamu minta saja suamimu itu bayar pembantu," jawabku santai.
"Rugi, dong, harus buang-buang uang! Sudah gaji Bang Leon masih dibagi dua sama Mbak, masa harus dipakai buat bayar pembantu juga?" protesnya tak terima.
"Kamu 'kan kerja juga. Pakai saja uangmu kalau enggak mau uang Bang Leon berkurang banyak," balasku santai seraya memakan camilan kacang.
"Enak saja! Enggak maulah! Masa uangku yang dipakai, sih? Uangku, ya, uangku, bukan uang Bang Leon. Aku enggak mau uangku dipakai untuk kebutuhan lain!"
"Yo wis. Suka-suka kamulah. Itu bukan urusanku," sahutku cuek.
"Terus, gunanya Mbak masih di sini, tuh, apa kalau masih harus bayar orang? Kerjain kek kerjaan rumah."
Ah, Si Mirasantika ini benar-benar menguji kesabaran dan emosiku.
Aku terkekeh seraya menggeleng, lalu menatapnya tak percaya.
"Aku masih pemilik rumah ini. Apa kamu lupa itu, hm?" tanyaku dengan senyuman mengejek. "Terserah aku, dong! Mau dibuat seberantakan apa pun itu hakku. Kalau kamu enggak suka, silakan beresin semua sekarang juga. Jangan cuma banyak cingcong!"
"Hiih, ngeselin!" Mira mengentakkan kaki ke lantai, lalu berjalan cepat menuju kamarnya.
Eh? Kenapa dia enggak pulang kerja bareng sama Bang Leon? Ah, bodo amat.
Tak berselang lama, Mira kembali ke sini dengan celana jeans di atas lutut dan kaus merah tanpa lengan. Dia berdiri seraya menatapku dalam diam.
"Apa?" tanyaku cuek.
"Aku mau bicara." Kini nada bicaranya memelan dan tak seketus tadi.
"Bicaralah," sahutku santai.
Mira mendekat, lalu duduk di sofa panjang bersamaku dengan wajahnya yang cemberut.
"Kenapa Mbak enggak cerita sama aku?" tanyanya seraya mengubah posisi duduknya sedikit menghadapku.
"Cerita soal apa?" Aku melirik sekilas.
"Soal Bang Leonlah!" jawabnya mulai ketus lagi.
"Kenapa dengan Bang Leon?" tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Mbak jangan bohong, deh! Enggak mungkin Mbak enggak tahu kalau Bang Leon itu ...." Mira tak melanjutkan ucapannya. Dia kembali duduk menghadap televisi dengan wajah cemberut, dan kedua tangannya yang menarik-narik gemas ujung kaus.
"Beng Leon kenapa, Mir?" tanyaku lagi seraya berusaha menahan diri agar tidak tersenyum.
"Ah, tauk, ah! Kesal!" Mira mengentak-entakkan kaki ke lantai.
"Ya sudah kalau enggak mau cerita." Aku membuang muka, menyembunyikan senyum yang tak bisa lagi ditahan.
"Bang Leon payah! Bang Leon lemah!" sungutnya kesal.
"Masa? Lemah gimana maksud kamu?" tanyaku pura-pura kaget. "Kayaknya Bang Leon kuat, deh. Lihat saja badannya! Tinggi kekar, kan? Kayak model-model di majalah."
"Bukan kuat badannya!" tukasnya kesal.
"Lho, terus kuat apanya?" Aku berpura-pura memasang raut wajah bingung.
Mira menoleh. Bibirnya semakin manyun dengan mata memicing menatapku.
"Mbak pasti bohong! Mbak cuma pura-pura enggak tahu soal itu, kan?"
"Beneran enggak tahu, kok. Lemah apa, sih? Lemah gemulai?" desakku padahal dalam hati bersorak ria.
Mira mendecak sebal, lalu menatap kembali televisi dengan tangan dilipat di d**a.
"Dulu itu, aku cerai sama suami pertama karena dia lemah dan payah! Masa sekarang dapat yang begitu juga? Sial banget, sih!"
Oalah, jadi Mira ini janda. Kukira dia gadis. Kenapa aku bisa enggak tahu, ya? Ah, kurang informasi ternyata.
Eh, tunggu! Kisah Bang Leon ini sepertinya cocok dibuatkan cerita dengan judul 'kujandakan istriku demi janda'. Oops!
"Kenapa Mbak ketawa?" tegurnya saat menyadari aku terkekeh pelan. "Mbak ngetawain aku?" Mira melotot tajam.
Eh, berani melotot dia. Kucolok juga, tuh, biji matanya biar nyaho!
"Siapa juga yang ngetawain kamu? Pede!" kilahku. "Berapa umurmu sekarang?"
"Dua puluh delapan. Kenapa?" Mira mendelik tajam.
"Tanya doang," sahutku santai. "Oh, ya, lanjut. Maksud kamu Bang Leon Lemah gimana?"
"Masa Mbak enggak ngerti-ngerti, sih? Itu, lho, baru main sebentar banget, tapi sudah selesai. Kan, aku jadi kesal! Enak di dianya, tapi enggak enak di aku!"
"Hah? Masa?" Aku pura-pura kaget. "Sama aku enggak, tuh. Bang Leon itu hebat, lho."
"Bohong!" tukasnya cepat. "Harusnya Mbak itu ceritain masalah ini dari sebelum kami menikah. Kalau tahu begini, aku juga enggak mau nikah sama Bang Leon! Ini malah hasilnya aku jatuh ke lubang yang sama!" cerocosnya.
"Kenapa jadi nyalahin aku? Salahin aja dirimu sendiri yang beli kucing dalam karung. Makanya, cari tahu dulu informasi yang benar dan jelas. Jangan asal comot suami orang karena tergoda dengan wajah dan hartanya aja! Enggak selamanya yang kamu lihat sempurna di luar itu akan sempurna juga di dalamnya."
"Ish, kenapa Mbak malah jadi ceramahin aku?" Mira mendengkus kesal.
"Ya sudah, terima nasib saja. Toh, kamu sudah jadi istrinya sekarang. Terima Bang Leon apa adanya. Jangan cuma duitnya saja yang kamu mau."
"Nasib sial emang!" sahutnya ketus, lalu pergi ke kamarnya lagi.
"Ckckck." Aku menggeleng, lalu tertawa.
Emang enak! Baru tahu dia penderitaan aku selama ini. Rasain!
???