Bab 1 – Alicia

1948 Kata
Suara bel yang menandakan dimulainya jam istirahat berbunyi nyaring. Semua murid bersorak-sorai menyambut jam istirahat pertama di hari Senin itu. Mereka semua bergegas meninggalkan ruang kelas untuk pergi ke kantin atau ke deretan warung yang berada di seberang sekolah mereka. Seorang gadis tampak menutup buku pelajarannya lalu perlahan mengambil uang di saku kemeja seragam sekolahnya. Ia memiliki uang sebesar tiga puluh ribu rupiah hasil sisa uang jajannya yang tidak ia pakai dari beberapa hari yang lalu yang artinya hari ini ia bisa membeli jus strawberry kesukaannya seharga sepuluh ribu rupiah di kantin sekolah dan masih mempunyai sisa uang yang akan ditabungnya. Ia tersenyum dan bergegas melangkah menuju kantin. Senyum seorang gadis cantik yang masih belia itu terkembang setelah menerima jus strawberry dari ibu kantin penjual jus. Ia membayar jus yang dibelinya dan bergegas kembali ke ruang kelasnya. Seorang gadis lain yang juga cantik, terlihat menyeringai saat melihat gadis cantik lugu itu membawa jus strawberry dalam gelas plastik. Ia melirik pada ketiga temannya dan mengangkat alisnya sebagai pertanda untuk segera mengikuti langkah kakinya. Mereka pun melangkahkan kakinya mendekati gadis lugu itu. Dan dengan kejinya, keempat gadis jahat itu sengaja berjalan menabrak si gadis lugu sampai jus strawberry yang dibawa olehnya menumpahi kemeja seragam sekolah si gadis jahat yang menyuruh teman-temannya untuk menjahati gadis lugu itu. Gadis jahat itu pura-pura berteriak kaget dan menjatuhkan mangkok berisi mi ayam yang baru saja dibelinya. “La-Laura?” ujar si gadis lugu saat melihat siapa orang yang telah menabraknya. “Kalau jalan tuh pake mata! Seragam gue jadi kotor nih! Mana mi ayam gue jadi tumpah!” teriak si gadis jahat hingga semua mata memandang ke arah sumber keributan itu. “Maaf,” balas gadis lugu itu seraya menundukkan kepalanya. “Maaf, maaf. Ganti dong.”   ***   Seorang gadis cantik tampak menangis seraya melangkah pergi keluar dari pintu gerbang sekolahnya dan berlari memasuki rumah kosong yang telah lama ditinggalkan pemiliknya yang berada tepat di samping area gedung sekolahnya. Ia tidak peduli walau banyak cerita seram yang diceritakan oleh para warga sekitar mengenai rumah yang sudah ditinggalkan pemiliknya sejak lama itu. Hari masih siang. Matahari masih bersinar dengan begitu terik. Ia yakin sekali pun rumah itu berhantu, di siang hari hantu itu tidak akan menunjukkan dirinya. Ia menangis sesenggukkan di atas undakan anak tangga menuju pintu masuk utama rumah mewah yang tampak kusam. Rumah itu dipenuhi dengan beberapa pohon yang tumbuh lebat dan rumput-rumput yang menjulang tinggi ditambah dengan cat rumah yang mulai memudar membuat rumah itu tampak menyeramkan. Suara isak tangis gadis itu berhasil mengusik ketenangan sesosok tak kasatmata penghuni rumah tua itu. Mata merahnya menyala terang. Kemarahan sosok tak kasatmata itu membuat pepohonan yang tumbuh rindang di halaman rumah bertiup kencang. Pintu dan jendela rumah itu juga tiba-tiba terbuka lebar dan membanting sisi tembok. Namun, hal itu tidak membuat si gadis lugu yang menangis di atas undakan anak tangga merasa ketakutan sedikit pun. Baginya, teman-teman sekolahnya jauh lebih menyeramkan dari makhluk apa pun. Sosok tak kasatmata itu berterbangan di sekitar rumah tua itu sampai ia menemukan seorang gadis belia menangis di depan pintu rumah. Mengapa gadis itu menangis? Ia pun menghampiri gadis itu. “Kamu siapa?” Gadis lugu itu sontak mendongakkan kepalanya karena terkejut mendengar suara yang terdengar serak dan berat dari seseorang bertanya padanya padahal sedari tadi ia tidak mendengar adanya suara langkah kaki mendekatinya. “Maaf,” ujar gadis itu “Kamu siapa?” “A-aku ... aku murid di sekolah samping rumah ini. Kakak siapa?” “Aku yang punya rumah ini.” “Oh, maaf. Aku kira rumah ini kosong.” “Kamu kenapa ke sini?” “Maaf, Kak.” “Kenapa?” “Teman aku jahatin aku.” “Oh. Nama kamu siapa?” “Alicia.” Seketika angin kencang berembus dan membuat gadis itu merinding. Ia baru menyadari sosok pria di hadapannya tampak begitu pucat. “Kakak sakit? Muka Kakak pucat.” “Tidak.” “Maaf ya, Kak. Aku udah masuk rumah Kakak tanpa izin. Soalnya kalau di sekolah, aku gak bisa sembunyi. Ada aja yang bully aku.” “Gapapa. Aku senang kamu ada di sini. Alicia.” “Terima kasih, Kak.” “Ya.” “Oh ya, nama Kakak siapa?” “Alvaro.” “Kak Alvaro kok sebelumnya gak pernah kelihatan ada di rumah ini? Orang-orang bilang rumah ini udah lama ditinggal sama pemiliknya.” “Enggak, kok. Kadang aku juga menampakkan diri sama orang yang sengaja masuk rumah ini.” Gadis itu tampak mengernyitkan dahinya. Bahasa pria itu terdengar sedikit aneh. “Menampakkan diri? Memangnya Kakak penampakan?” Sosok pria berwajah pucat itu tampak tersenyum. “Kenapa tadi kamu nangis?” “Tadi aku lagi jalan balik ke kelas aku dari kantin. Terus, ada yang nabrak aku. Ya udah, jus yang aku bawa tumpah ke baju dia. Dia juga jatuhin mangkok mi ayamnya. Aku yakin dia sengaja jatuhin mangkok itu. Terus, dia minta aku ganti rugi.” “Lho? Kan dia yang nabrak.” Gadis itu menganggukkan kepalanya. “Mereka emang gak suka sama aku.” “Kenapa mereka gak suka sama kamu?” Gadis itu menggelengkan kepalanya dan kembali menunduk. “Mungkin karena aku jelek.” Pria itu menyampirkan helai rambut gadis itu yang menutupi wajahnya ke balik sela telinganya. “Kamu cantik, Alicia.” Gadis itu kembali menggelengkan kepalanya. “Kalau aku cantik, aku pasti udah punya pacar. Kalau aku cantik, mereka gak akan bully aku.” “Mungkin kamu nakal.” “Aku gak nakal!” protes gadis itu. “Ya udah, Kakak percaya kamu gak nakal. Jangan nangis lagi.” Alicia menganggukkan kepalanya bertepatan pada saat suara bel sekolah berbunyi nyaring pertanda jam istirahat telah berakhir. “Aku balik dulu ya ke sekolah." “Ya. Kapan pun kamu mau, kamu boleh ke sini.” “Besok aku boleh ke sini lagi?” “Kapan pun kamu boleh ke sini. Bahkan malam sekali pun.” “Terima kasih, Kak,” balas Alicia seraya tersenyum. Gadis itu bangkit dari undakan tangga dan melangkahkan kakinya kembali memasuki area gedung sekolahnya. Tanpa ia ketahui, sosok pria yang berbicara padanya itu terus mengikutinya dengan bola mata hitamnya yang sudah berubah kembali menjadi merah.   ***   Alicia kembali ke sekolahnya dan mendapati tatapan prihatin dari teman-temannya. Sebenarnya banyak dari mereka yang prihatin dengan keadaan Alicia yang sering mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari Laura dan gengnya, tetapi tidak seorang pun yang berani membelanya ketika gadis itu dirisak. Laura dan semua temannya termasuk golongan anak-anak super kaya di sekolah mereka. Orang tua mereka banyak menyumbang untuk keperluan sekolah dan tergabung dalam Persatuan Orang Tua Murid dan Guru. Tentu saja hal itu membuat banyak guru di sekolah itu segan pada mereka dan tidak terlalu membela Alicia ketika anak-anak jahat itu merisaknya. Alicia duduk di kursinya dan mengambil buku pelajaran Kimia dari dalam tasnya. “Cia, makasih ya mi ayamnya. Mi ayam yang dibeliin lo lebih enak rasanya,” ujar Laura diiringi tawa teman-temannya. “Hati-hati, Ci. Besok-besok si Laura minta dibeliin lagi tuh,” ujar Pharrel, salah satu anggota geng-gongnya Laura. Mereka kembali menertawakan Alicia yang tertunduk lesu di kursinya. Tanpa mereka ketahui, ada sosok tak kasatmata di belakang Alicia yang menatap marah pada mereka dengan mata merah menyalangnya. Sosok tak kasatmata itu membuat pintu dan kaca jendela ruang kelas mereka mendadak terbuka lebar dan membanting sisi tembok ruang kelas mereka hingga menimbulkan suara dentuman cukup keras. “Eh bujug buset, kaga ada angin, kaga ada ujan, ngagetin aja nih pintu!” ujar Danang yang posisi kursinya berada di dekat pintu kelas. Lampu ruang kelas pun mendadak mati dan menyala dengan sendirinya beberapa kali. “Yah, belom bayar listrik nih sekolah,” ujar Rizal. “Cia, bayarin listrik sekolah juga dong. Masa jajanannya Laura doang yang lo bayarin,” ujar Dina yang membuat gelak tawa kembali riuh rendah terdengar di ruang kelas XI IPA 1 itu. Tak berapa lama kemudian, guru pelajaran Kimia masuk ke dalam ruang kelas dan para murid kembali diam. “Ini lampunya kok kedip-kedip begini?” tanya ibu Wanda, sang guru Kimia. “Au tuh, Bu. Dari tadi begitu terus,” jawab Rizal. “Ya udah, kita pindah ke ruang lab saja, ya,” ujar sang guru Kimia. “Oke, Bu,” balas para murid kompak, kecuali Alicia. Alicia tampak menghela napasnya. Di ruang laboratorium akan lebih terasa tidak menyenangkan. Tidak ada yang mau ia bergabung dalam kelompok mereka, sehingga ia merasa kesulitan saat berada di ruang laboratorium. Dan hal itu tidak disadari oleh sosok tak kasatmata yang terus mengikutinya. Sesampainya di ruang laboratorium untuk pelajaran Kimia, Alicia duduk di salah satu kursi yang berada di deretan kursi paling belakang ruang laboratorium itu seorang diri. Hanya sosok tak kasatmata yang menemaninya di sana. Kini sosok tak kasatmata itu mengerti mengapa gadis kecil itu menangis sesenggukkan di rumahnya yang menurut para warga sekitar sangatlah angker. Saat diberikan tugas, Alicia tampak berpikir keras. Sebenarnya ia tidak begitu pintar, ditambah dengan tidak memiliki teman seorang pun di sekolahnya membuatnya sedikit kesulitan dalam mengikuti pelajaran. “NaCl.” Mata Alicia membulat ketika mendengar seseorang membisikkan sesuatu di telinganya. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri mencari siapa yang sudah berani membisikkan jawaban atas soal pertanyaan yang diberikan guru pelajaran Kimia itu, tetapi ia tidak menemukan siapa pun berada di sampingnya. Ia tersenyum. Siapa pun yang membisikkannya jawaban atas soal Kimia itu, ia sangat berterima kasih padanya. Sosok tak kasatmata yang duduk di sampingnya tersenyum melihat senyum terkembang di wajah gadis yang memiliki nama yang sama dengan nama kekasihnya.   ***   Seusai jam pelajaran sekolah, Alicia menghela napasnya. Ia melirik teman-teman satu kelasnya. Tidak. Tidak mungkin Alicia berutang uang pada siapa pun. Ia khawatir teman-temannya justru akan semakin merundungnya jika ia meminjam uang pada mereka. Dengan terpaksa, hari itu Alicia pulang ke rumahnya dengan berjalan kaki karena uangnya sudah habis untuk membeli jus strawberry dan mengganti mi ayam yang ditumpahkan oleh Laura, serta membayar ganti rugi mangkok yang pecah pada ibu kantin penjual mi ayam. Di tengah perjalanan, Alicia sedikit terisak. Ia merasa lelah karena perjalanan dari sekolah menuju rumahnya cukup jauh ditempuh dengan berjalan kaki. Sosok tak kasatmata yang sejak tadi mengikuti langkah kakinya dengan bersembunyi di balik pepohonan yang berada di sepanjang jalan yang dilalui olehnya pun terdiam dengan sorot mata merah menyalanya yang menunjukkan amarahnya. Tega sekali mereka menjahati gadis polos ini. Alicia mengerutkan dahinya saat menyadari sesuatu yang janggal sejak ia berjalan keluar dari komplek sekolahnya yang berada di kawasan perumahan elit sampai ia melewati deretan komplek perumahan mewah untuk menuju daerah perkampungan tempat tinggalnya. Sepanjang jalan, terus saja anjing-anjing di rumah-rumah mewah itu mengaung ke arahnya padahal biasanya anjing-anjing itu anteng-anteng saja ketika ia berjalan melewati rumah majikan mereka. ‘Apa jangan – jangan ada hantu? Ah, gak mungkin. Ini kan masih sore,’ ujar Alicia membatin.   ***   “Alicia. Kamu sudah pulang, Nak.” Alicia tersenyum dan memeluk Sumiyati yang menyambutnya pulang saat ia memasuki ruang tamu rumahnya. Eyangnya itu pun balas memeluk dan mengecupi kepala Alicia. “Kenapa, Sayang?” tanya Sumiyati karena melihat cucunya bersedih. “Cia capek.” “Istirahat sana.” “Iya, Eyang.” Alicia masuk ke dalam kamar tidurnya dan berbaring di atas ranjang. Ia memandangi langit-langit kamar tidurnya dan tersenyum ketika membayangkan sosok pria tampan yang sudah berbaik hati mengizinkan dirinya untuk mendatangi rumahnya kapan pun ia mau. “Kak Alvaro,” desis Alicia dengan wajahnya yang memerah karena tersipu malu membayangkan pria tampan itu. Si pemilik nama yang mendengar namanya disebut itu pun tersenyum. Wajah yang kini terlihat pucat karena tidak ada lagi darah yang mengalir di tubuhnya masih saja terlihat tampan dan membuat seorang gadis jatuh cinta padanya. Alicia memejamkan matanya dengan masih menyebut nama pria itu hingga ia tertidur lelap dengan sosok tak kasatmata yang terus menjaganya di sudut kamar.   
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN