Bab 2

1045 Kata
Hari-hari kemudian berlaly setelah kepergian Raka terasa seperti neraka bagi Larissa. Ia bangun setiap pagi dengan perasaan kosong, seolah tubuhnya berjalan tanpa jiwa. Hatinya seperti dipukul berkali-kali oleh kenyataan bahwa lelaki yang ia cintai, lelaki yang ia percaya sebagai masa depannya, kini menghilang tanpa bekas. Rumah sederhana yang dulu penuh tawa kini sunyi. Foto-foto kebersamaan mereka masih menempel di dinding kamarnya, namun setiap tatapan ke sana hanya menambah perih. Larissa tak sanggup menyingkirkannya, tapi juga tak sanggup menatap terlalu lama. Bayangan malam-malam penuh janji, malam ketika ia menyerahkan segalanya, terus menghantuinya. Ia masih ingat jelas saat ibunya menatap heran ketika Larissa sering termenung. “Kamu kenapa, Nak?” tanya sang ibu dengan lembut. Larissa hanya tersenyum hambar, menutupi luka dalam hatinya. Ia tidak mungkin menceritakan semua, tidak mungkin mengungkapkan bahwa ia sudah kehilangan sesuatu yang begitu berharga bersama laki-laki yang kini entah di mana. Waktu berjalan lambat. Minggu berganti bulan, bulan berubah menjadi tahun. Larissa mencoba melanjutkan hidup. Ia berkuliah, bekerja paruh waktu, dan berusaha mengisi kesibukan agar pikirannya tidak kembali pada kenangan lama. Tapi seperti luka yang tak kunjung kering, setiap kali ia melihat pasangan muda tertawa di jalan, ia kembali teringat pada Raka. “Kenapa harus aku yang ditinggalkan? Kenapa harus aku yang dipermainkan nasib?” gumamnya suatu malam ketika hujan deras mengguyur kota. Ia duduk di dekat jendela, menatap derasnya air yang jatuh. Di dalam hatinya tumbuh sebuah tekad baru—jika suatu hari ia bertemu Raka lagi, ia tidak akan lagi menjadi Larissa yang sama. Ia akan menjadi wanita yang mampu membuatnya menyesal. Larissa menyalurkan energinya pada ambisi. Ia belajar keras, menolak semua ajakan teman untuk sekadar bersenang-senang. Nilai-nilainya menanjak, dosen-dosen mulai mengenalnya sebagai mahasiswa cerdas yang ambisius. Ia menahan diri dari cinta, menolak setiap laki-laki yang mendekat. Hatinya sudah tertutup rapat, seakan tidak ada ruang lagi untuk cinta baru. Namun, di balik pencapaian itu, Larissa tahu dirinya tidak benar-benar sembuh. Setiap kali ia menutup mata, wajah Raka masih muncul. Senyum lembutnya, suara panggilannya, bahkan cara ia menggenggam tangan Larissa. Semua itu terpatri terlalu dalam. Ia membenci kenyataan itu, tapi sekaligus tak mampu menghapusnya. Sampai akhirnya, setelah lulus, Larissa diterima bekerja di sebuah perusahaan besar di kota metropolitan. Ia berangkat dengan harapan baru, meski jauh di dalam hati, ia masih membawa luka lama. Hari-hari awalnya penuh perjuangan, tapi ia menikmati kesibukan yang menyita waktu dan pikirannya. Namun, takdir memang punya caranya sendiri untuk menguji manusia. Pada suatu pagi, Larissa baru saja memasuki lift kantor ketika matanya menangkap sosok yang tak asing. Sosok yang dulu ia pikir hanya tinggal kenangan. Raka. Ia berdiri hanya beberapa langkah darinya, mengenakan jas rapi, dengan senyum yang masih sama. Namun ada sesuatu yang berbeda. Di sampingnya berdiri seorang wanita cantik dengan cincin pernikahan berkilau di jari manisnya. Dan di tangannya, seorang anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun menggenggam erat. Dunia Larissa kembali runtuh seketika. Napasnya tercekat, tubuhnya kaku. Semua luka lama yang ia coba kubur mendadak hidup kembali, menyeretnya ke masa lalu yang penuh perih. Raka menoleh, matanya membesar begitu mengenali Larissa. Ada keterkejutan, ada rasa bersalah, dan ada sesuatu yang tidak bisa disembunyikan—kerinduan. “Larissa…” ucapnya lirih, seolah nama itu baru saja menggetarkan hatinya lagi. Larissa hanya menatap, bibirnya kaku. Dalam sekejap, ia tahu satu hal: luka yang ia bawa selama bertahun-tahun belum sembuh. Dan kini, takdir memberinya kesempatan untuk menuntaskan semuanya. Di balik senyum kecil yang dipaksakan, hatinya berbisik lirih, “Kau akan menyesal, Raka. Kau akan merasakan sakit yang lebih dalam dari apa yang pernah kau berikan padaku.” Suasana di dalam lift mendadak terasa sempit. Larissa berusaha menjaga wajahnya tetap tenang, padahal di dalam dadanya badai bergemuruh. Jantungnya berdetak begitu kencang, hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya. Wanita di samping Raka menoleh, menyapanya ramah. “Selamat pagi,” katanya sopan. Larissa hanya membalas dengan anggukan kecil, namun pandangannya tak bisa lepas dari cincin pernikahan yang berkilau di jari manis wanita itu. Cincin yang seharusnya dulu menjadi miliknya, cincin yang seharusnya disematkan oleh Raka di jarinya. Anak kecil yang berdiri di antara mereka menatap Larissa dengan polos. Senyum manisnya menusuk lebih dalam daripada seribu kata. Larissa merasa seperti ditampar realitas—Raka tidak hanya menjadi milik orang lain, tapi sudah membangun kehidupan baru, lengkap dengan seorang anak yang memanggilnya ayah. Ketika pintu lift terbuka, Larissa segera melangkah keluar tanpa menoleh. Nafasnya terasa berat, seperti ada beban besar menindih dadanya. Ia menahan air mata, menolak terlihat lemah di hadapan Raka. Langkahnya cepat, tumit sepatunya beradu keras dengan lantai marmer, seakan hanya itu yang bisa mengalihkan dirinya dari pusaran emosi yang hampir meledak. Namun Raka sempat memanggil pelan, hampir berbisik, “Larissa…” Larissa terhenti sejenak, tapi ia tidak menoleh. Ia mengepalkan tangan, menegakkan punggung, lalu melanjutkan langkah tanpa kata. Di balik sikap dinginnya, hatinya menangis dan berteriak. Di meja kerjanya, Larissa duduk dengan wajah tanpa ekspresi. Tapi di dalam hati, sebuah tekad baru menyala lebih terang dari sebelumnya. Ia sadar, dendamnya belum selesai. Justru pertemuan itu adalah awal dari segalanya. Larissa menatap keluar jendela tinggi gedung kantornya. Kota ini besar, penuh cahaya, penuh rahasia. Dan di antara semua keramaian itu, ia tahu satu hal pasti: kisahnya dengan Raka belum berakhir. Larissa menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan gejolak di dadanya. Tapi semakin ia berusaha, bayangan tentang Raka dengan keluarganya semakin jelas. Senyum istrinya, tatapan polos anaknya—semua itu menusuk seperti belati. “Mengapa dia begitu mudah melanjutkan hidup, sementara aku harus menanggung sisa luka ini sendirian?” pikirnya getir. Larissa membuka buku catatan kecil dari tasnya. Di sana masih ada coretan lama, kata-kata penuh janji yang dulu Raka tulis saat mereka masih bersama. Tinta itu sudah pudar, tapi rasanya tetap jelas, seakan ditorehkan di hatinya. Dengan tangan bergetar, ia meremas kertas itu hingga hancur, lalu melemparkannya ke tong sampah. Namun air matanya tak juga berhenti. Ia sadar, bukan sekadar cinta yang hilang darinya. Kehormatannya, keyakinannya, dan harapan tentang masa depan telah terkubur bersama keputusan Raka untuk meninggalkannya. Di balik tangis itu, lahirlah sebuah kekuatan baru. Larissa menatap bayangannya di kaca jendela kantor: sosok perempuan dengan mata yang kini menyimpan bara. Ia tahu, pertemuan barusan bukan kebetulan. Takdir telah membawanya ke titik ini. Dan kali ini, ia berjanji tidak akan lagi menjadi korban. Bila takdir memberinya kesempatan untuk balas, ia akan meraihnya, tanpa ragu, tanpa ampun, dan menjadi pemenang dari semuany.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN