"Apa?! Kamu gila ya!"
Debora yang mendengar pekikan histeris Mamahnya dari seberang telepon hanya bisa memutar bola mata malas.
"Puji Tuhan aku masih waras."
"Bisa-bisanya kamu mau menikah besok, Mamah belum menyelesaikan semua reservasi untuk pernikahan kamu!"
Debora mendengus capek, "lagian Mamah ribet banget, nikah tinggal ke gereja dan KUA beres, ngapain sih heboh-heboh segala."
"Mamah gak mau malu lah sama temen-temen Mamah!"
Ah, temen sosialitanya. Debora menghela napas lelah.
"Itu bukan urusanku, udah bagus aku mau nikah atau Mamah mau aku batalin aja pernikahan ini?" ancamnya tentu tidak serius.
"Awas kamu kalo berani batalin, Mamah bener-bener coret dari KK, Mamah udah terlanjur sebar undangan pernikahanmu, mau ditaruh dimana muka Mamah?!" cerocos Regina panjang lebar. "Ck! Yaudah besok kamu boleh nikah, hari ini Mamah akan selesaikan semuanya!"
"Emangnya bisa?" sindir Debora.
"Apapun bisa dilakukan selama punya uang."
Debora jadi mendengus, memang orang tua satu ini liciknya bukan main, yah tapi ia sudah terbiasa dengan hal itu.
"Yaudah aku tutup—"
TUT!
Debora mendelik tak santai, bisa-bisanya teleponnya dirijek saat ia ingin mengucapkan salam penutup, memang mau sopan ataupun tidak itu benar-benar tidak ada gunanya di depan orang tuanya.
"Tante sudah selesai teleponnya?"
Debora tersentak, baru ingat kalau lelaki ini juga sedang tiduran di sebelahnya.
"Kamu belum tidur?"
"Tadi saya denger Tante lagi teleponan."
"Oh."
Erik melirik hati-hati, menggaruk tengkuknya kikuk. Melihat gelagatnya Debora mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa? Ada yang ingin kamu bicarakan sama saya?"
Erik mengerjap, duduk sempurna memperbaiki posisinya. "Soal menikah ... Tante serius?"
Debora mengangguk tanpa pikir panjang, "lagian sejak awal tujuan saya adalah menikah dengan kamu, semakin cepat semakin baik."
Erik diam-diam menahan sudut bibirnya yang ingin tersenyum, rasanya dadanya sangat ringan dan serasa terbang.
"Kamu gak keberatan kan?"
"Nggak! Nggak sama sekali!"
Debora terkekeh geli, "yakin? Nanti kalau sudah menikah kamu gak boleh deket sama cewek lain loh." Godanya.
Erik mengangguk tegas, "yakin kok! Lagian saya juga gak ada niat dekat dengan perempuan lain!"
Ah sial, Debora jadi makin gemas saja dengan lelaki ini. Wanita itu merangkul kepala Erik dan memeluknya di ceruk leher, harus berapa kali lagi Erik dibuat jantungan dengan skinship dadakan wanita ini.
"Rik."
"Em?"
"Jangan suka sama saya ya," Erik melotot kaget, Debora memejamkan matanya sambil mengelus kepala Erik yang masih ada di ceruk lehernya. "Soalnya itu bukan hal yang bagus." Lirihnya.
Seperti habis di terbangkan lalu dijatuhkan, itu kiranya yang dirasakan Erik. Lelaki itu hanya bisa tersenyum miris.
"Hm, saya masih ingat kok kalau ini hanya pernikahan kontrak."
***
SAH!
Mereka selesai melakukan pemberkatan di gereja, tentu saja tidak sesederhana itu karena untuk resepsinya diadakan di hotel bintang 5 dengan tamu undangan sangat banyak. Erik benar-benar masih merasa kalau semua ini hanya mimpi, ia dan Debora menikah, sekarang mereka adalah suami istri!
"Ini."
Debora memicing curiga melihat kotak berukuran sedang yang Ayahnya berikan padanya, "apa?"
"Kado buat kalian."
Debora langsung menerimanya dan berniat membukanya tepat sebelum Erik menahan tangannya, lelaki itu menggeleng kecil, "tidak sopan membuka kado di depan pemberi."
Kusuma tersenyum mencibir, "bahkan suami kamu lebih mengerti."
Debora mendengus malas, menyerahkan kado tadi pada Erik karena malas ribet. "Simpan sana!"
"Baik Tan."
"Kamu suaminya kenapa memanggilnya Tante sih, aneh sekali!" cibir Regina.
Erik jadi gelagapan, ia belum terpikirkan sampai hal ini, kira-kira nama panggilan apa yang cocok untuk Debora?
"Aku yang menyuruhnya, lagian itu bukan urusan kalian." Balas Debora, "aku lelah, kalau semua acara ini sudah selesai boleh kan aku pergi?"
"Oh iya benar juga, kalian lebih baik segera ke kamar hotel, lakukanlah hal yang semestinya kalian lakukan." Ujar Regina semangat.
Debora mendengus sedangkan Erik merasa sangat malu, hal yang harus dilakukan? Apakah itu adalah ....
Glek.
Erik menelan ludah tanpa sadar.
"Ayo!" Debora tanpa berlama-lama menarik tangannya yang tentu saja membuat jantungnya berdetak makin dahsyat, ini mereka sungguhan akan melakukan hal itu?
Ceklek.
Begitu pintu kamar dibuka langsung nampak kamar pengantin mereka yang penuh dengan bunga mawar merah dan lilin, melihat itu Debora jadi berdecak samar. "Ini pasti kelakuan Mamah!" gumamnya sambil menyibak selimut untuk membersihkan kelopak mawar yang bercecer dimana-mana.
"Biar saya bantu," Erik dengan sigap mengumpulkan kelopak mawar tadi dan membuangnya ke tempat sampah.
"Kenapa kita malah jadi bersih-bersih coba, sudah-sudah ayo kita cepat tidur." Debora melepas gaunnya begitu saja membuat Erik hampir memekik nyaring. Debora melirik datar Erik, "sedang apa kamu? Cepat bantu saya menurunkan resleting." Titahnya.
"A-pa?" Erik tercengang.
Debora menunjuk resleting panjang di punggungnya, "kamu gak lihat saya kesusahan begini?"
Erik segera maju, dengan sangat hati-hati membantu wanita itu menurunkan resletingnya, semakin turun resleting itu semakin Erik ketar-ketir, punggung mulus putih Debora terpampang nyata di depannya, sangat sexy.
"Saya mandi dulu," Debora berlalu cepat ke kamar mandi tanpa menatap wajahnya lagi, entah kenapa wanita itu tiba-tiba menyembunyikan wajahnya.
Dan begitulah ia ditinggal seorang diri disana.
"Haaah..." Erik terhuyung, memegang dadanya yang berdegup hebat, "jantungku seperti mau meledak rasanya."
***
Erik yang baru keluar kamar mandi terdiam di tempat, menatap beberapa meter di depannya, terlihat Debora tertidur pulas di atas kasur. Ia dengan pelan mendekat, membantu membenarkan selimut Debora, senyum kecilnya timbul ketika melihat wajah tenang istrinya yang tertidur.
Istri?
Rasanya ini seperti mimpi.
"Pasti Tante capek banget," gumam Erik pelan, menatap dalam wajah istrinya. "Meskipun aku gak punya apa-apa tapi sekarang aku adalah suamimu, aku janji akan memperlakukan kamu sebaik mungkin." Lirihnya tulus, rasanya ia benar-benar memiliki harapan hidup lagi sekarang. Kalau melihat masa lalunya pasti tidak ada orang yang percaya kalau sekarang ia akan menjadi suami dari wanita sehebat Debora.
Erik tidak ingin mengganggu tidur wanita itu, ia memilih beranjak menuju sofa dan tidur disana, ia jadi tertawa malu mengingat pemikiran kotornya tadi.
Ternyata ... ini tidak seperti bayangannya.
"Dasar," kekehnya bersamaan memejamkan mata.
***
Sinar matahari terasa menyilaukan matanya membuat Erik mengerjap-ngerjap mencoba menyesuaikan, dan begitu tersadar sepenuhnya ia langsung mengulet tubuh sambil menguap panjang.
"Kamu gak mau tidur seranjang sama saya?"
Erik terperanjat kaget, baru juga bangun tidur eh tiba-tiba mendengar pertanyaan seperti itu tentu saja sangat mengejutkan untuknya. Erik memutar kepala, terlihat Debora yang bersandar di kepala ranjang sambil menatap tajam kearahnya. Tatapan mata wanita itu seperti akan mengulitinya hidup-hidup.
"Itu .. saya tidur disini karena takut mengganggu Tante soalnya Tante kelihatan nyenyak kemarin."
"Kesini."
Erik membeku di tempat, Debora sekarang benar-benar menakutkan.
"Ke-si-ni."
Erik mau tidak mau mendekat dengan sangat lamban, ia jadi terlihat seperti anak yang ketahuan melakukan kesalahan kepada Ibunya.
"Sekarang saya tanya apa status kita?"
"Itu.."
"Saya paling gak suka sama orang yang kalau dijawab lemot kayak gini!" sarkasnya.
Erik menggigit bibirnya, "suami istri."
"Trus kamu pikir ada suami istri yang gak tidur seranjang?"
Erik menunduk, "gak ada."
"Lalu tindakan kamu itu benar?"
Erik benar-benar tersudut, hanya bisa menggeleng. Debora menghela napas panjang melihat lelaki itu, "saya tau niat kamu baik gak ingin saya terbangun, tapi niat yang baik jika dilakukan dengan cara yang salah itu dibenarkan? Tidak." Debora berdiri menghadap Erik, "ini memang sepele tapi sekarang posisi kamu sebagai suami saya, kepala keluarga. Kamu harus bisa lebih bijak dalam membuat keputusan, kalau hal sekecil ini saja salah bagaimana nanti jika ada masalah yang lebih besar?"
Erik makin tidak bisa berkata-kata, setiap kalimat yang diucapkan Debora benar-benar menusuk, ia sakit hati.
"Mandilah lalu turun, orang tua saya sudah menunggu di bawah!" titah Debora kemudian bergegas keluar kamar meninggalkannya.
Erik masih diam di tempat, menatap ubin lantai sendu. Ah iya sekali lagi ia lupa kalau ini hanyalah pernikahan kontrak. Dan bisa-bisanya ia malah terlena.
Erik menutup wajah dengan kekehan serak, "bodoh."