Ksatrio pun memutuskan untuk membawa Anin ke tempat nongkrongnya. Tidak jauh sebenarnya dari perumahan mereka, namun tempatnya yang tidak berada di pinggir jalan sehingga tempat itu dikenalnya hanya dari mulut ke mulut. Tempat itu adalah sebuah warkop yang juga menjual kue pancong. Warkop tersebut biasanya baru ramai selepas maghrib. Biasanya di jam-jam segitu banyak pekerja kantoran yang berhenti untuk sekedar minum kopi dan makan pancong atau membeli kue pancong untuk dibawa pulang.
Di sore hari, biasanya warung itu hanya diisi oleh tukang ojek sambil menunggu orderan. Jarang Ksatrio melihat ada anak sekolah yang nongkrong di warkop tersebut. Mungkin hanya Ksatrio satu-satunya pelanggan tetap warkop yang merupakan anak sekolah. Karena sudah menjadi pelanggan setia, Ksatrio pun punya spot khusus di sana. Si pemilik warkop pun sudah Ksatrio anggap seperti pamannya sendiri saking akrabnya.
Anin mematung di depan pintu warkop ketika melihat jelas tempat apa di hadapannya kini. Yang benar saja, masa Ksatrio mengajaknya ke tempat seperti ini, sih! Banyak tukang ojeknya!
"Yo, lo nggak salah?" tanya Anin dengan nada tidak yakin.
"Lo sendiri yang bilang terserah, kan? Udah deh masuk dulu, nggak bakal nyesel kok." Ksatrio pun mendorong pelan punggung Anin agar gadis itu melangkahkan kakinya masuk.
Warkop tersebut cukup besar. Pusat dari warkop tersebut adalah sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat etalase berisi berbagai macam bahan makanan yang dijual warkop tersebut. Di atasnya menggantung berbagai jenis minuman sachet yang siap diseduh. Di depan meja itu berjejer kursi panjang untuk pengunjung. Agak ke samping sebelah kiri, tersedia beberapa meja dan kursi juga untuk pengunjung yang sudah dipenuhi beberapa driver ojek online. Di sebelah kanan, ada empat meja berkaki rendah, dibentuk untuk pengunjung yang ingin duduk lesehan. Meja paling pojok dekat dengan kusen jendela tidak berkaca yang mengarah ke kebun kecil yang dipenuhi tanaman hias milik istri pemilik warkop. Kebetulan rumah pemilik warkop berada persis di samping warkop. Dan spot spesial tersebut adalah milik Ksatrio setiap kali ia bertandang ke sana.
"Oy, Pakde!" sapa Ksatrio begitu memasuki area warkop. Pakde sebetulnya orang Sunda. Namanya adalah Ade dan Ksatrio sengaja memberikan panggilan tersebut agar lebih terkesan akrab.
"Eh, Iyo, tumben sore-sore sudah dateng." Perhatian Pakde pun langsung teralih kepada sosok asing yang datang bersama Ksatrio. Sudah hampir tiga tahun Ksatrio selalu datang sendirian, kini Ksatrio datang bersama seorang gadis tentunya hal itu menarik perhatian. Baik bagi Pakde atau pun pegawai-pegawainya yang sudah mengenal Ksatrio. "Waduh, akhirnya Yo, kamu bawa pacar juga!"
"Mana pacar. Pacar orang, iya!" ucap Ksatrio berseloroh. Meskipun tidak sepenuhnya. Karena faktanya, Anin memang lah pacar orang. Lebih tepatnya, pacar kembarannya sendiri. "Iyo pesen yang biasa ya Pakde." Ksatrio lalu menatap Anin. "Lo mau pesen apaan? Di sini yang juara kue pancongnya."
Anin tidak banyak bicara, matanya mulai sibuk memandang daftar rasa kue pancong yang terpampang di banner kain besar yang terpasang di tembok. "Pancong keju s**u aja, deh. Minumnya air mineral."
Ksatrio mengangguk. "Mateng atau setengah mateng? Tapi kalau gue rekomendasiin sih, setengah mateng aja."
Anin hanya mengedikkan bahunya bertanda menyerahkan keputusannya pada Ksatrio. Ksatrio pun langsung menyebutkan pesanan Anin kepada salah satu pegawai Pakde lalu menggiring Anin ke tempat duduk. Tentunya ke tempat spesial miliknya.
Begitu mereka sudah duduk berhadapan, seketika suasana canggung melanda. Anin yang sibuk menatap ke luar jendela dan Ksatrio yang masih tidak percaya kini ia sedang duduk berdua dengan Anin di tempat favoritenya. Parahnya, Ksatrio sama sekali nggak bilang sama Ksatria kalau dia lagi bawa jalan pacarnya.
Iya Yo, jangan lupa kalau lo tuh lagi jalan sama pacar orang! Pacar kembaran lo!
"Lo lagi berantem sama Satria?" tanya Ksatrio memecah keheningan di antara mereka.
Anin melirik sebentar ke arah Ksatrio sebelum akhirnya kembali memfokuskan tatapannya ke luar. "Kembaran lo aja tuh yang nyebelin."
Ksatrio langsung menggeleng pelan. Sabar Yo, sabar... "By the way, tadi lo sama Jay ngapain sampai dipanggil BK?"
Anin mematung seketika. Anin diam cukup lama sampai akhirnya ia menatap Ksatrio tajam. "Bisa nggak lo berhenti main sama Jason dan Zeta?" tanya Anin to the point.
Mendengar pertanyaan tersebut, kening Ksatrio mengernyit. "Hah? Maksud lo?" tanya Ksatrio bingung. Ya iyalah bingung. Anin bukannya menjawab pertanyaan Ksatrio justru mengajukan pertanyaan lain. Pertanyaannya nggak masuk akal pula!
"Temen lo tuh b******k. Sama kayak ceweknya."
Ksatrio menatap Anin dengan tatapan aneh. "Dih, kenapa lo tiba-tiba ngatain si Jay sama Zeta b******k? Lagian bukannya lo sahabatan sama Zeta?"
Anin tertawa meremehkan. "Sahabat? Sahabat mana sih yang ngambil pacar sahabatnya sendiri. Lagian, Zeta duluan yang tiba-tiba menjauh dari gue dan Kea. And then, tiba-tiba aja dia diem-diem udah jadian sama Jason."
"Ya terus? Jay sama Kea kan udah putus lama."
"Tetep aja Zeta tuh nusuk Kea dari belakang! Dia yang paling tau seberapa Kea masih cinta sama Jason! Terus tiba-tiba dia ngejauhin kita tanpa alasan dan pacaran sama Jason. Kalau maksud dia baik, kenapa pakai cara menjauh dan pacaran diem-diem?"
"Terus?" tanya Ksatrio datar. Ksatrio tentu saja mengerti apa yang Anin katakan. Yang tidak Ksatrio mengerti, kenapa ini harus menjadi urusannya dan Anin. Ksatrio tau memang sedang ada sedikit perselisihan antara Zeta dan dua sahabatnya yaitu Anin dan Kea. Tetapi Ksatrio tidak pernah tau pasti apa alasannya dan Ksatrio pun tidak pernah mencoba ikut campur. Alasan itu juga kenapa Zeta dan Jay memilih untuk pacaran diam-diam. Mereka nggak mau menambah masalah baru, tapi sepertinya hubungan mereka kini sudah bukan menjadi rahasia lagi. Mungkin hal ini ada sangkut pautnya dengan penyebab Jay yang dipanggil ke ruang BK tadi. Tapi Anin? Apa hubungannya coba dengan masalah Jay, Zeta dan Kea?
"Terus karena mereka musuh lo, gue harus ikutan musuhin mereka juga, gitu maksud lo?" tanya Ksatrio mempertegas maksud Anin.
Anin mengangguk tanpa ragu. "Iya!" jawabnya lantang.
Ksatrio tertawa sengit. "Lucu banget lo, Nin. Apa coba urusannya sama gue?" Ksatrio lalu memilih menanggalkan jaketnya karena ia mulai kegerahan.
"Kita temen, kan, Yo? Gue bener-bener nggak suka lihat lo main sama mereka. Iya, gue tau ini kekanak-kanakan banget. Tapi-"
"Temen? Sejak kapan? Bukannya bagi lo gue Cuma kembaran dari cowok lo yang bisa ditebengin kalau cowok lo itu sibuk?" Ksatrio melepas tangan Anin dari lengannya. "Gini, Nin, lo mungkin bener. Kita temen. Temen yang pernah sekelas dari SMP. Tapi Zeta sama Jay juga temen gue sekarang. Gue nggak mau tau apa yang terjadi antara lo sama mereka, itu urusan kalian. Tapi gue rasa cara lo ini udah sedikit berlebihan dan menyedihkan."
Mata Anin membulat. "Menyedihkan? Maksud lo apa?" tanya Anin tidak terima atas kata-kata Ksatrio yang seolah menghinanya.
Menyedihkan katanya? Dari sisi mana Anin menyedihkan? Satu sekolah pun tau Anin adalah cewek eksis yang hidupnya paling diimpikan oleh kebanyakan siswi-siswi SMA Angkasa. Anin sendiri sadar, jika diam-diam di luaran sana, banyak orang-orang yang iri akan kehidupannya. Kaya? Jangan ditanya, ayahnya adalah pengusaha yang cukup terkenal di Indonesia karena sudah sering menjadi narasumber di acara-acara entrepreneur dan talkshow. Bahkan sekolah tempat Anin menuntut ilmu adalah yayasan milik keluarganya. Itu sudah cukup untuk menggambarkan se'kaya' apa latar belakang keluarganya.
Fisik menarik? Tentu saja, hal itu bahkan tidak perlu dibahas lagi. Dengan tubuh semampai dan warna kulit khas gadis Indonesia, Anin terlihat manis. Ditambah kini Anin sedang berpacaran dengan siswa nomer satu di SMA Angkasa, Ksatria Adiswara. Sang juara kelas pararel, ketua OSIS serta murid paling disayang guru. Jadi, dari sisi manakah Anin menyedihkan? Bahkan Anin sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur atas kehidupan yang dijalaninya saat ini.
"Lo pasti merasa kalau lo adalah tuan putri yang dicintain sama semua orang. Yang semua keinginan lo harus dan pasti diturutin." Ksatrio menggeleng. "Bangun, Nin. Di mata gue sekarang, lo tuh nggak lebih dari cewek manja yang punya obsesi jadi tuan putri."
Mata Anin membulat mendengarnya. Melihat itu, Ksatrio pun belum berniat untuk berhenti. Sikap Anin yang seenaknya, merasa kalau dirinya adalah tuan putri yang keinginannya harus selalu dipenuhi harus dihentikan sebelum semakin parah. "Sori kalau gue kasar. Tapi nggak semua keinginan lo bisa dikabulin, ini dunia nyata bukan dunia dongeng. Gue Ksatrio, bukannya ksatria kerajaan yang siap menuhin semua kemauan nggak masuk akal lo."
Anin menatap Ksatrio tidak percaya. "Lo..." Anin tidak melanjutkan kata-katanya dan memilih untuk pergi dari sana saat itu juga. Tidak peduli kalau dia bahkan nggak tau jalan atau cara untuk pulang. Anin bahkan nggak tau pasti saat ini sedang berada di mana.
Yang Anin pikirkan hanya pergi dari hadapan Ksatrio. Hari ini benar-benar hari yang kacau bagi Anin. Karena ikut membela Kea ketika bertengkar dengan Zeta dan Jay di kantin, Anin harus ikut dipanggil guru BK. Guru BK pun melaporkan kejadian tersebut kepada ketua yayasan yang tidak lain merupakan tantenya. Dan Anin harus bersiap kalau nanti kabar tersebut sampai ke telinga Ayah atau Bunda. Ditambah, Ksatria yang tiba-tiba datang marah padanya karena sudah terlibat perkelahian di kantin untuk alasan yang tidak jelas. Seolah kurang lengkap, sekarang Ksatrio pun ikut-ikut memarahinya.
Anin mengusap pipinya yang tiba-tiba dibasahi air mata. Sejujurnya, Anin tau kalau dirinya itu 'aneh'. Ia punya obsesi untuk menjadi tuan putri, diam-diam senang ketika dirinya menjadi pusat perhatian. Semua keinginannya terbiasa dipenuhi di rumah dan hal itu terbawa hingga ke sekolah. Membuatnya jadi pribadi yang terkadang seenaknya.
Tapi Anin tidak pernah meminta dirinya seperti ini. Ini adalah dirinya yang apa adanya. Apa Anin salah hidup sebagai dirinya sendiri?
Gerimis mulai turun membasahi bumi. Anin yang masih berjalan tidak tau arah semakin kejar tangisnya ketika sadar ia seorang diri di tempat asing.
Sebuah jaket melayang dan mendarat di atas kepalanya membuat langkah Anin terhenti. Wangi itu...wangi milik...
"Heh tuan putri, emang lo tau jalan pulang? Tau harus naik angkot apa? Berani naik taksi atau ojek?" Ksatrio entah sejak kapan sudah berada di belakang Anin. Anin sama sekali tidak menyadarinya karena sibuk menangis.
Ksatrio lalu memutar tubuh Anin dan memakaikan tudung jaket ke kepalanya. "Sori gue tadi kelewatan. Tapi sifat sok tuan putri lo itu emang harus diobatin sebelum makin parah." Ksatrio lalu menuntun Anin. "Gue anter lo pulang ."
Seharusnya Anin menolak. Ksatrio sudah melukai hatinya dengan kata-kata cowok itu. Tapi yang dikatakan Ksatrio tidak salah. Akhirnya Anin hanya menurut ketika Ksatrio menuntunnya kembali ke warkop untuk mengambil motor sebelum akhirnya Ksatrio mengantarnya pulang ke rumah.