Nala menatap mata teman barunya dengan serius. Ia membalas, "Nggak. Itu adalah balasan karena gue udah ngizinin lo nginep di sini malam ini. Karena setau gue yang bisa sekolah di sana hanya anggota klan Senna, para anak anggota dewan dan presiden, para anak anggota kongres, para anak konglomerat dari berbagai macam perusahaan besar, dan yang sebangsa itu. Berarti lu pasti salah satu dari yang gue sebut barusan, 'kan?" tanyanya.
Elan tersenyum dengan sarkastis. Memegang dagunya yang tirus. "Hmm. Yang mana, ya?"
+++++++
"Lu sendiri kenapa gak sekolah di sana?" tanya Elan malah balik bertanya. Berusaha mengalihkan perhatian Nala.
"Berada di sekitar para anak yang berasal dari keluarga kaya seringkali hanya membuat gue jadi merasa sama sekali gak nyaman. Kalau di sekolah gue hanya kepintaran lah yang berada di atas segalanya," jawab Nala.
"Karakter anak yang seperti lu itu kelihatannya memang lebih cocok sekolah di Spebius Academy, sih," komentar Elan.
Nala memegang dagu. "Hmm, sepertinya gue melupakan sesuatu. Tapi, ayo ikut gue ke halaman belakang," ajaknya.
Elan melonjak gembira. "Apa kita mau berenang?" tanyanya riang.
"Bokap gue sebenarnya juga menjalankan suatu bisnis kolam renang di pusat kota. Hal itu membuat dia merasa muak pada jenis wisata air dan memutuskan untuk merubah kolam renang kediaman kamj jadi kolam cupang," jawab Nala.
"Wah, sayang sekali kalau memang begitu. Terus kita mau ngapain di sini? Apa kita bakal cosplay jadi cupang?" tanya Elan (gak jelas).
"Ada yang lebih menarik timbang hal kayak gitu, bro," jawab Nala serius (sama saja ini anak).
Keduanya tiba di halaman belakang mansion tempat tinggal keluarga Widagda yang luas. Terdapat tanaman boksus yang ditanam memanjang dan berkelak-kelok seperti labirin. Seandainya lebih tinggi. Tinggi tanaman boksus itu hanya sepinggang Elan.
Nala meminta Elan berjalan ke bagian tengah taman untuk difoto.
"Aduuh, kalau begini meski pendek juga gue bisa nyasar," keluh Elan saat Nala memintanya untuk terus masuk.
"Kan tanemannya pendek. Lo tinggal lompat kalau nyasar," teriak Nala dari teras belakang rumah.
"Pokoknya kalau taneman lo sampai rusak gue gak mampu ganti, ya," peringat Elan.
Ketika ia sibuk mencari jalan menuju titik yang Nala maksud. Nala menekan sebuah tuas. Zreek zreek zreek. Tanaman boksus yang tadinya pendek itu seketika jadi semakin meninggi. Membentuk labirin yang sesungguhnya.
"Malam ini lu tidur di sana aja, ya. HWA HA HA HA HA HA HA HA!!!" tawa Nala puas. Ia putar tubuhnya. Hendak berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
"Gue ini emang orang biasa, Nal. Bukan orang super kayak kayak lo. Tapi, gak biasa tidur di tanah juga," ucap seseorang di belakangnya. Tepat di belakangnya!
"Hwaaa!" pekik Nala ketakutan. G, Gimana bisa...
Elan tersenyum lebar. "Gak gue sangka ada orang yang bisa memahami gue dengan begitu cepat. Sepertinya kita memang sangat cocok, Nala. Tidak heran dipertemukan oleh takdir. Ck ck ck," ucap Elan dengan nada suara yang mengerikan.
"A, A, A, Apa maksud lo, Elan?" tanya Nala merasakan bulu kuduknya seketika meremang.
"Apa maksud gue? Kalau lu gak memahami gue dengan baik. Lu gak akan mengajak gue bercanda yang sangat berbahaya seperti itu, 'kan?" tanya Elan "polos". Nada suaranya terdengar "biasa". Tapi, sebenarnya datar dan kering.
Ia langsung membelalakkan kedua mata. Tatapan santai seperti di pantai anak itu tiba-tiba jadi setajam belati.
Apa yang sudah ia lewati dalam hidupnya sampai bisa jadi anak yang "cukup" mengerikan seperti itu?
Mari berpikir dengan jernih. Singkat kata dia pengen bilang kalau dia bisa menyelesaikan labirin itu hanya dalam waktu sepersekian detik. Apa instingnya bagus? Atau memiliki kemampuan memori fotografis?
"Iya, dong. Gue udah tau lo bakal bisa keluar dari labirin tanaman itu dengan mudah. Le, Le, Lebih menarik dari cosplay jadi cupang, 'kan?" tanya Nala semakin salah tingkah.
"Iya," jawab Elan "semangat".
"Mungkin sebentar lagi orang tua gue akan pulang. Ayo mandi dan siap-siap dulu di kamar gue," ajak Nala.
Elan masih berdiri di halaman belakang. Melihat ke seluruh bagian belakang bangunan mansion keluarga Widagda. Dari depan tampak hanya tingkat dua. Rupanya tingkat empat.
"Memang ada sangat banyak hal di dunia ini yang tidak akan bisa kita ketahui kalau tidak melihat lebih dalam," ucap Elan dengan tatapan dan intonasi suara yang datar.
Hmm.
+++++++
Anak remaja lelaki yang Nala ibaratkan sudah seperti kucing liar tanpa tuan itu kembali bersikap kampungan saat melewati perjalanan menuju kamarnya. Dia seperti seseorang yang mengidap bipolar. Terlebih saat mereka berdua sampai di kamar Nala. Kamar Nala adalah potret kamar seorang anggota keluarga bangsawan yang sangat mewah atau yang semacamnya, lah. Karpet yang memiliki pola sama dengan karpet Ziegler Mahal yang bersejarah. Lantai dengan motif kayu. Wallpaper putih gading dengan taburan ornamen emas. Lampu gantung yang sangat berkilauan. Hiasan dinding klasik. Tempat tidur mewah dengan kelambu yang tampak agung. Dua sofa indah dan sebuah meja bundar dari kayu gelap. Rak buku dengan buku-buku yang memiliki sampul model klasik yang tampak lumayan antik.
Mimpi anak itu seperti sedang "dikabulkan".
"Alhamdulillah, Ya Allah. Untung Nala pengen bunuh diri di kereta api dan kebetulan hamba sedang berada di sana untuk menghentikannya. Hamba jadi bisa pergi ke tempat yang sangat keren seperti ini. Hamba bersyukur sekali, Ya Allah," syukur Elan.
"Gak usah ketemu gue juga kalau mau lihat yang kayak gini mah tinggal pergi ke museum Fatahillah," balas Nala datar. Melempar handuk dan peralatan mandi ke Elan. Bruuakh. Sudahlah. Lupakan saja semua kecurigaan. Mungkin Elan memang cukup unik. Tapi, dia masih bisa dibilang normal saja. Semua orang di dunia ini kan memang punya keunikannya masing-masing.
Tidak ada yang aneh dengan itu.
"Yaaa... gue kan gak bakal bisa tidur di museum Fatahillah, bro," balas Elan. Tersenyum manis.
Nala membuka pintu kamar mandi yang ada di ujung kamarnya. "Mau mandi berdua..."
"OW OW OW! Nala nakal ya sama Abang. Baru kenal sebentar juga udah ngajak mandi bareng aja," colek Elan dengan wajah menggoda.
Nala menepuk dahi. Plok. "Maksud gue lo mau mandi di kamar mandi ini habis gue. Atau mandi bareng sama gue tapi di kamar mandi lain," koreksinya.
"Gue pengen mandi bareng lu," jawab Elan berlagak ingin mencium Nala.
Nala reflek melempar majalah ke wajah Elan. Bruuakh. "Mandi di luar aja lu! Belok ke kanan habis itu belok ke kanan masuk g**g kecil. Ada kamar mandi pembantu di sana."
Elan tertawa lepas, "Aha ha ha ha. Udah, gue nungguin lo aja. Pinjem buku-bukunya, ya."
Nala mengacungkan jari tengahnya sebelum resmi menutup pintu kamar mandi. Elan membalasnya dengan jari mini love ala oppa-oppa Korea.
Elan berjalan menuju rak koleksi buku pribadi Nala. Mulai yang ringan seperti The Orange Girl, Dunia Anna, dan Dunia Sophie karya Jostein Gaarder, Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Euxpery, Sembilan Puluh Menit Menit Bersama Machiavelli karya Paul Strathern, The Magic Life karya Ace Starry. Sampai yang cukup berat seperti buku-buku V. I. Lenin yang memiliki judul Kepada Kaum Miskin Desa, Negara dan Revolusi, Sosialisme dan Kaum Tani, dan Komunisme Sayap Kiri. Buku Tan Malaka yang memiliki judul Madilog. Buku Niccolo Machiavelli yang memiliki judul Sang Penguasa. Beragam buku hasil pemikiran Karl Marx. Buku-buku karya Kahlil Gibran. Ayatullah Muhammad Baqir Shadr. Republik karya Plato.
Dan masih banyak lagi yang lain.
Kedua mata Elan berbinar menatap koleksi buku Nala. "a***y, dari mana dia bisa dapetin semua ini?" tanyanya kagum.
Selain itu terdapat beberapa novel terkenal di dunia karya penulis-penulis lawas yang edisi bahasa Inggris: Dr. Jeckyl & Mr. Hyde karya Robert Louis Stevenson, How to Kill a Mockingbird karya Harper Lee, Moby d**k karya Herman Melville, Prometheus Unbound karya Percy Bysshe Shelley, The Three Musketeers dan The Count of Monte Cristo karya Alexander Dumas, sampai No Longer Human karya Osamu Dazai.
Elan menyipitkan kedua mata. "Gimana bisa dia tahan baca semua buku yang sangat 'tidak menarik' ini? Yang versi bahasa Inggris semua lagi. Pasti dia sangat pintar serta intelektual, ya." Ia lirik novel terkenal Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer pun Nala koleksi yang versi bahasa Inggris yang memiliki judul: The Earth of Mankind.
Tiba-tiba pandangannya tertarik ke sebuah novel yang terletak di tepi rak. Babysitter for the Necromancer karya Shaquille Reiki. Senyumnya tiba-tiba mengembang. "Wah, selera anak ini sepertinya boleh juga."
"BURUAN MANDI!" teriak Nala yang berdiri di belakangnya. Ia tengah bertelanjang d**a dengan bawahan celana rumah panjang berwarna biru tua.
"Nanti gue pakai baju lo gitu?" tanya Elan menyipitkan kedua belah mata. Lengkap dengan ekspresi, eeuuukkhh, ga mau ga suka gelaay.
"Kalau gak mau pakai daun pisang, keset, atau serbet aja sana!" jawab Nala emosi. Hampir saja melempar salah satu pajangan di atas meja kecil dekatnya ke anak remaja itu.
Dengan tampang tidak punya dosanya Elan malah tertawa lepas, "HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!"
Elan pun masuk ke kamar mandi. Dengan tidak punya malunya ia senantiasa bersenandung selama membilas tubuh. Mungkin tidak akan jadi masalah jika suaranya bagus. Lha ini...
"I WEN YOOO THOO THEE BOOONNN... OOO... OOO... I WON YOOO THOO THEE BOOONNN... OOO... OOO... OOO... "
"Ya Allah pelafalan liriknya kacau banget. Masa siswa sekolah menengah atas Senna Academy yang sangat elit itu pelafalan bahasa inggrisnya seribu kali lebih jelek dari tukang becak di Bali, sih," komentar Nala. Dan meski ia memiliki otoritas untuk melindungi kesehatan pendengaran di rumahnya sendiri. Ia memutuskan untuk tak menegur atau menghentikan nyanyian sumbang anak itu.
Nyanyian busuk anak itu sudah seperti suara pertama yang ia dengar di dunianya yang selama ini selalu terasa sangat sempit. Menghimpit. Sampai kadang kala memaksa dirinya untuk "keluar".
Sebuah suara kebebasan pertama yang ia dapat "selama" hidup di dunia.
Ia pegang dahinya dan tertawa kecil, "Khe khe khe."
Here comes a wave...
Meant to wash me away...
A tide that is taking me under...
Suara merdu Naomi Scott tiba-tiba terdengar menyaingi suara sumbang Elan. Saat ia cari-cari rupanya itu berasal dari gawai Elan yang terletak di atas meja kayu dekat jendela. Tanpa melihat layar ponsel cerdas itu sama sekali. Nala langsung mengambil dan menggedor-gedor pintu kamar mandi.
"TELPOOOONNN, WOYYY!!!" teriaknya.
"UWOOOOOOO WHUOOO WHUOOO UWOOOO!!!" respon anak itu malah semakin menggila. Tampaknya ia sedang berusaha untuk melakukan scream ala penyanyi rock, tapi yang ada malah hanya berakhir seperti pekikan kuntilanak yang sedang terjepit oleh liang lahat diakibatkan oleh dosa-dosa selama hidup.
Kasihan sekali.
Nala pun menyerah. Ia lihat layar gawai Elan yang menyala. Kontak bernama "Pria" yang sedang menelponnya. Gambar kontak itu menunjukkan foto anak itu yang tengah menempel manja bersama seorang "wanita" yang mengenakan hijab.
"Apa ini pacarnya? Kok dikasih nama Pria, sih? Aneh-aneh aja, dah," tanya Nala pelan.
Jangan-jangan! Jangan-jangan! Jangan-jangan!
"Ini cross hijaber lagi. Dan Elan sebenarnya adalah seseorang yang menyukai . . . "
Jang jang jang! Deng deng deng! Duarr duarr duarr! BOOMM!!!
Nala reflek membanting gawai Elan karena kaget pada pikirannya sendiri. Braakh. Namun, segera ia ambil dan letakkan kembali ke posisi semula. Tak lama setelah itu pintu kamar mandi terbuka.
"Ada apa, bro? Sori tadi gue lupa diri malah konser di kamar mandi lo. Weka weka weka. Jadi enak banget suara gue di dalam sana. Udah macam ruang karaoke aja. Beda emang ya kualitas sound di arsitektur kamar mandi orang kaya. Weka weka weka," tawa Elan lagi. Tampak sangat bahagia.
"T, Tadi ada yang nelpon, tuh," jawab Nala. Berlagak sok sibuk menggerakkan tubuh ala senam SKJ (Senam Kesehatan Jasmani). Tu... wa... tu... wa...
Elan memeriksa ponsel pintarnya. "Wah, Kakak yang miss call ternyata. Gue chat, ah."
Nala masih kalut mengenai orientasi s*****l teman barunya. "I, Itu apa kakak lu? Beneran kakak lu? Kakak atau kakak kakak-an?" tanyanya sehati-hati mungkin. Tengah menyiapkan hati untuk kemungkinan paling buruk.
Parah.
Bukannya menjawab pertanyaan Nala. Elan malah melongok ke luar jendela. "Kelihatannya mobil orang tua lu udah dateng, tuh. Turun, yuk!" ajak anak itu langsung berlari keluar dari kamar.
Ya Tuhan, siapa sih anak ini yang sebenarnya, batin Nala. Di satu sisi ia merasa bahagia karena keberadaan anak itu. Namun, di sisi lain ia juga merasakan ancaman yang "belum jelas". Seperti ramalan cuaca yang mengatakan bahwa akan datang badai walau langit hari itu sedang sangat cerah.
Yang namanya badai. Bagaimana ia akan datangan memang jarang bisa diduga. Bahkan jika sudah diduga pun belum tentu manusia akan selalu mampu untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan olehnya. Atau apa yang akan benar-benar terjadi setelahnya.
Sesuatu bagai tengah ditarik paksa dari dalam dadanya. Sesuatu yang kecil dan implisit.
"Tungguin gue, woy!" teriak Nala.
+++++++
Orang tua Nala sudah pulang. Apakah berarti rasa penasaran akan misteri anak bernama Elan itu ikut berakhir? Atau malah akan menambah kenyataan mengenai sesuatu yang baru?
Sesuatu yang lebih kelam dan gelap. Sepert badai yang sangat lebat.