Badai Shaquille Vromme Senna (1) B

1973 Kata
Sesampainya ia di lokasi yang dimaksud. Cklek cklek cklek. "Aahh, sudah pasti dikunci, yah," sesalnya. Delvin pun mengeluarkan kawat gantungan dan tang dari sela pakaiannya. Ia sudah melihat cara membuka pintu yang terkunci dengan kawat dan tang dari film kriminal yang ia tonton tadi malam. Ini kan rumah yang sudah tua. Seharusnya kunci model kuno masih bisa dibuka dengan cara ini, batinnya. Daan... klek. Ahh, mantap, batinnya bahagia. Kedua netra indah anak itu pun berbinar kala menatap keberhasilan dari usahanya. Pelan-pelan ia buka dan masuki pintu menuju suatu ruangan yang temaram itu. Menuju tempat yang gelap dan juga cukup berdebu. Ia nyalakan senter di gawai. Ia arahkan ke segala penjuru. Cukup jauh dari kusen pintu. Ia melihat sang adik yang tengah meringkuk di sudut ruangan. "Saki!" panggil Delvin langsung berlari dan memeluk tubuh gadis itu. "Are you okey? Comment ça va? Apa kamu baik-baik saja? Bagaimana keadaan kamu sekarang?" tanya Delvin khawatir. Ia merasakan tubuh adiknya sangat dingin sampai sudah terasa seperti mayat saja. "Kita harus segera keluar!" ajak anak itu. Gadis itu menahan tubuh kakaknya. Meminta Delvin untuk duduk di sisinya saja. "Je vais bien. Aku baik-baik saja. Nggak apa-apa, kok. Kenapa Kak Delvin bisa ada di sini?" tanyanya. "Sepulang sekolah tadi aku pengen kasih kamu jajanan enak yang beli di pinggir jalan. Tapi, kata pengasuhmu kamu sedang dihukum. Ada apa lagi sih yabg terjadi?" tanya Delvin gusar. "Hari ini Ibu mengajak aku bersenang-senang, Kak Delvin. Tapi, aku melakukan suatu kesalahan besar," jawab Saki pelan. Delvin bisa melihat bagaimana bibir mungil gadis kecil itu tersenyum getir ketika mengatakannya. "Apa... yang sudah terjadi sebenarnya?" tanya Delvin merasa sedikit limbung. Gadis kecil itu memegang leher untuk mengatur suara yang akan keluar dari tenggorokan. Dan mulai bercerita, "Jadi, tadi aku baru . . . " +++++++ Pagi itu usai Saki melakukan home schooling. Danas mendatangi dirinya seorang diri. Seperti ketiban durian runtuh gadis itu didatangi dengan ramah tanah oleh sang ibunda yang biasa hanya pernah marah-marah saja padanya. Ia merasa sangat bahagia. Dan bodohnya... kebahagiaan itu membuat ia jadi sedikit lupa diri. Danas mengajak Saki ke dapur. Kali itu ia ingin mengajari putrinya keterampilan memasak. "Bagaimanapun juga di masa depan nanti Saki akan menjadi pendamping dari pria terhormat yang memiliki kedudukan tinggi. Saki harus bisa memasakkan semua makanan favorit pria itu ketika waktunya tiba," ucap Danas ramah sambil memasangkan celemek kecil berenda putih di tubuh sang putri kecil. Kedua mata gadis kecil itu begitu berbinar. "Apa yang akan kita masak, Bu?" tanyanya semangat. "Hari ini kita akan belajar memasak makanan favorit Ayah. Saki sayang kan sama Ayah?" tanya wanita itu. Tersenyum dengan sangat lembut. Si gadis kecil langsung menganggukkan kepala dengan cepat. "Sangat sayang. Aku juga sangat sayang sama Ibu. Terutama Kak Delvin," jawabnya semangat. Auto melupakan semua luka yang pernah (baik sengaja maupun tidak) tertambat di jiwa maupun raga. "Yak, yak, yak," Danas mengangkat kedua lengan pakaian dengan semangat empat lima. "Hari ini kita akan masak masakan favorit Ayah, Delvin, dan Saki. Apa itu?" tanyanya seraya menaruh satu telapak tangan di belakang salah satu daun telinga. "Mie oseeeng jowo saus tiram!" jawab Saki setengah berteriak ceria. Situasi saat itu benar-benar seperti mimpi untuknya. Mimpi yang terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan. Gadis itu sangat bahagia. Semua terasa tidak nyata. Sampai mau mati saja rasanya. “Baiklah kalau begitu. Ibu senang kalau Saki merasa semangat untuk belajar hari ini,” ucap wanita itu tersenyum ramah. Ia mengeluarkan peralatan memasak dari laci kitchen set dapur. Dan juga berbagai macam bumbu serta berbagai macam bahan masakan dari dalam lemari pendingin. Setelah itu ia meminta sang putri mencuci sayuran. Lalu, memotong beberapa bagian yang tak diperlukan. Sementara ia sendiri memanaskan air dan menyiapkan bumbu yang lain. "Kamu tau tidak, Nak? Waktu Ayah kuliah di Jepang itu. Dia sangat menderita karena tidak bisa menikmati mie oseng jowo saus tiram yang paling ia suka. Karena itu untuk pelampiasan Ayah jadi kembung kuah dan sama udon, deh," cerita Danas dengan suara yang sangat lembut. Kedua bola mata anak gadis kecil itu langsung berbinar mendengar cerita masa lalu dari orang tuanya. Orang tua yang selama ini selalu sulit untuk ia jangkau. "Hee, apa saat itu Ibu tidak memasak untuk Ayah?" tanya Saki lugu. Danas tersenyum kecut. "Khu khu khu, waktu itu Ibu belum bisa masak, Nak. Setelah melahirkan Delvin dan Saki di Jepang. Baru deh Ibu dipulangkan kembali ke Indonesia. Katanya disuruh belajar masak dulu yang benar agar tidak buat suami menderita. Khi khi khi. Kamu nanti jangan sampai jai seperti Ibu ya, Sayang," nasihatnya seraya mencoel ujung hidung berukuran sedang putrinya. "Wahh, aku belum pernah dengar cerita soal hal itu. Aku harap Ayah dan Ibu selalu bahagia," doa Saki tulus. "Iya. Biar pengalaman buruk Ibu tidak terulang di kamu. Kamu harus belajar masak dan jadi istri yang serba bisa. Tapi, saran aja, nih. Kalau cari suami jangan yang selera makannya aneh, ya. Khi khi khi," saran wanita itu diiringi tawa kecil. "Aneh itu apa... maksudnya?" tanya Saki tak paham. "Ya jangan cari suami yang suka makan kalajengking, bekicot, atau ular berbisa. Mau kamu disuruh memasak hewan-hewan mengerikan seperti itu?" tanya Danas geli sendiri. Saki menutup mulut dengan punggung tangan. Ia bertanya, "Khi khi khi, emang ada ya orang yang mau memakan hewan seperti itu, Bu?" "Ada sangat banyak, Nak," jawab Danas. Selama proses memasak. Danas hanya memberi instruksi. Semua ia minta Saki melakukan sendiri. Dari sana ia mengambil kesimpulan: Saki tidak seburuk itu untuk digelari anak i***t. Apalagi anak tidak punya otak. Masih ada banyak hal yang bisa diharapkan dari anak satu itu. Mie oseng jowo saus tiram ala Saki pun jadi. Visualnya tidak terlalu buruk. Tapi, Saki sendiri tidak yakin untuk mencobanya. "Ini dikasih orang aja ya, Bu," pinta Saki. Ia sangat sangat sangat tak percaya diri pada hasil masakan pertamanya. "Coba dulu, dong. Masa langsung main kasih ke orang lain," sahut Danas. Dimasukkan sesuap mie ke mulutnya. Hap! "Ko, Kok enak, Bu?" tanya Saki sampai kehilangan kata-kata. Danas langsung bersorak, "Yeee! Saki hebat. Kapan-kapan kita masak lagi, ya. Setelah itu akan kita minta Kak Delvin sama Ayah untuk ikut mencoba," usul Danas. Saki mengangguk cepat. "Iya, Bu," sahutnya semangat. Mereka berdua pun menghabiskan masakan mie oseng jowo saus tiram itu. "Setelah ini apa lagi, Bu?" tanya Saki. Danas mengajak Saki menuju ke “boudouir” miliknya. +++++++ Boudouir Room pribadi milik Danas. Semua wanita dari kalangan atas klan Senna sudah pasti memiliki tempat semacam itu di kediaman mereka masing-masing. Ruangan untuk merawat dan mempercantik diri sendiri. Ruangan krusial yang menjadi amunisi penting mereka untuk memuaskan pasangannya entah dalam hal visual dan maupun yang lebih intim. Tubuh Saki bergetar saat pertama memasuki boudoir milik ibunya. Ruangan mewah bernuansa merah dan ungu itu dipenuhi oleh berbagai macam wadah kosmetika dan beragam benda untuk mempercantik diri. Mesin kursi pijat manual. Tempat tidur untuk luluran. Meja rias super bagus. Beauty case mahal. Kuas-kuas make up dari berbagai merek ternama. "Di masa depan nanti Saki akan memiliki juga ruangan seperti ini. Mulai sekarang kamu pakai saja dulu punya Ibu, ya," ucap Danas ramah. Gadis kecil itu menyentuh kedua pipinya. Membatin, mulai saat ini? Jadi, kebahagiaan ini masih akan berlanjut? Ini benar-benar bukan mimpi kan, Shaquille Vromme Senna? "Ibu, apa itu benda yang disebut sebagai gincu?" tanya gadis itu seraya menunjuk sebuah Guerlain Rouge G. Jewel Lipstick Compact yang tergeletak dengan estetik di atas meja. "Iya, Sayang. Karena Saki masih kecil. Lebih baik coba lipstik yang biasa dulu," ucap Danas lembut menyerahkan sebuah gincu biasa yang mudah ditemukan di d**g store. "Bagaimana cara memakainya, Bu?" tanya Saki. Danas lantas mengeluarkan sebuah lipstik murah (lain) dari dalam laci. Dan mengenakan di bibirnya sendiri. "Setelah dipakai begini kamu tempelkan tissue ke bibir kamu. Agar lipstiknya lebih tahan lama." Danas membuang sehelai tissue yang habis ia gunakan. "Bu, Ibu kan bisa memakai satu tissue itu beberapa kali. Kenapa Ibu harus langsung membuangnya?" tanya si gadis kecil Saki tiba-tiba. Kedua mata Danas terbelalak kala mendengar pertanyaan dari sang putri. "Dari satu pohon berusia 6 tahun saja hanya bisa menghasilkan dua pack tissue. Padahal dengan satu pohon bisa menghidupkan sebanyak tiga orang. Bukannya itu sangat sayang, Bu?" tanya Saki dengan mata memelas. Mendengar ucapan “lancang” dari sang putri. Wanita itu langsung menampar pipi Saki. Plaak. Ia sudah sangat sangat sangat berusaha dengan baik. Untuk membesarkan anak bungsunya dengan cinta. Dengan kasih sayang. Hal yang selalu ia damba dan harapkan sebagai seorang ibu. Namun, apa yang salah dengan gadis itu? Kenapa ia selalu tak bisa memasang sikap sebagaimana seorang pemilik nama Senna sejati. Bukan perkara besar “tentu saja”. Jika yang Danas nikahi bukan Senna dari keturunan garis lurus darah seorang Adi Pramana William Sastro Mihardjo Senna seperti Aristide Alterio Senna. Tapi, anak yang hidup dengan pemikiran seperti orang menyedihkan ini . . . Sangat sulit dipahami. Terlalu sulit untuk dimengerti! Langsung ia seret pergelangan tangan kurus gadis mungil itu menghampiri kedua pelayan pribadinya. "Veole, Nadia, kurung anak ini di gudang!" perintah Sang Nyonya. Saki hanya terdiam dengan mata yang deras meneteskan air mata. "Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu! Ibu!" panggilnya terhadap punggung Danas yang terus menjauh. Memohon belas kasihan. Dari rasa sayang yang tampa sengaja sempat ia sia-siakan. Suara-suara dalam kepalanya berkata, "dasar kamu anak bodoh", "dasar anak tidak tau diuntung", "dasar anak j*****m", "dasar anak terkutuk", "dasar anak s****n", "dasar anak sampah", "anjing babi setan tidak seharusnya kamu ada di muka bumi ini, bangsattt!!!" +++++++ "Apakah Ibu benar-benar... melakukan hal seperti itu, Saki?" tanya Delvin. Merasa “takjub”, namun di saat yang sama juga merasa sedikit ngeri. "Iya. Karena itu yang membuat aku bisa berada di sini saat ini adalah murni kesalahanku. Aku malah akan bingung sampai keluar dan berpapasan dengan Ibu. Apa yang harus aku lakukan untuk menebus kesalahan ini? Apa yang bisa membuat aku dimaafkan? Aku benar-benar anak yang tidak tahu diri, Kak Delvin. Kakak tidak boleh sampai jadi anak yang sama seperti aku. "Kakak harus jadi anggota keluarga inti Senna yang selalu memenuhi ekspektasi," pesan anak gadis kecil itu. Delvin terdiam. Ia taruh pelipis sang adik yang dingin di atas pundaknya. Awalnya gadis itu sedikit menolak. Ia merasa tak pantas berada di sisi kakaknya yang “mulia” di mata seluruh anggota keluarga klan Senna. Ia merasa dosa yang ia lakukan sudah terlalu besar. Sampai tak akan bisa lagi untuk mendapat barang sedikit saja ampunan. Karena sudah (tanpa sengaja) berani terlahir ke dunia ini. Anak lelaki itu malah tersenyum manis. Dengan bibir mungil di wajahnya yang amat mirip dengan sang adik. "Ayo kita rasakan dingin dan kegelapan ini bersama, Sayamg,” ucapnya. Seraya mendekap tubuh gadis itu. Sebenarnya gadis kecil yang memiliki kepercayaan diri sangat rendah itu ingin menolak lagi. Tapi, tubuhnya yang terasa sangat lemas tak memberi banyak kemungkinan untuk suatu aksi penolakan. "Kita ini berbeda, Kak!" ucapnya. Berusaha “memperingatkan” kedudukan mereka dalam susunan piramida “dunia”. Delvin memeluk tubuh adik perempuannya dengan semakin lembut. Ia bertanya, "Bedanya di bagian mana? Kita ini kan sama saja, Shaquille." Saki belum menyerah, "Tapi, Kak Delvin itu . . ." "Kalau kamu bersikap seperti itu terus aku bisa marah, ya. Apa kamu mau ya sampai buat aku marah juga?" tanya Delvin dengan wajah jahil sambil mencubit hidung mungil adiknya yang polos. "Ngghhaakk mahuu... !" jawab Saki dengan raut wajahnya “jelek”. “A ha ha ha ha ha ha ha ha ha! Dek Saki itu lucu banget, deh,” ucap Delvin seraya memeluk tubuh adik yang paling ia kasihi. “Apakah Kak Delvin... sayang sama aku?” tanya gadis itu. Delvin menganggukkan kepalanya mantap. Menjawab, “Tentu saja, dong. Sayang banget. Sayang sekali. Adik paling hebat yang Kak Delvin miliki di dunia ini,” balasnya seraya mendusel-dusel pipinya di rambut sang adik. Saki tersenyum kecil. Merasakan kehangatan yang tidak ada duanya di dunia. Membalas, “Terima kasih banyak, Kak. Saki juga sayang sekali sama Kak Delvin.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN