05

1068 Kata
Isabella terjatuh ke kasur, pipanya terbakar oleh pukulan Matteo yang pertama dalam tiga tahun pernikahan mereka. Darah mengalir di sudut bibirnya, tapi dia... tersenyum. "Akhirnya kau menunjukkan emosi," desisnya, menjilat darah itu. "Sayang sekali baru sekarang." “Apa maksudmu, Belle?” “Seharusnya, Kau pikirkan ini dari dulu sayang…” jawab Isabella sambil tersenyum mengejek dan tanpa emosi. Matteo menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Kau gila. Aku melakukan semua ini untuk kita." Matteo berdiri, menarik tangan Isabella dengan kasar saat wanita itu berjalan hampir melewatinya. “Kamu pikir aku mau membagikan tubuhmu dengan si b******k, Leo! Aku melakukannya ini karena terpaksa! Demi kita, Belle!” "Tidak." Isabella tertawa, suaranya pecah. "Kau melakukannya untuk warisan, untuk jabatan, untuk menyenangkan ayahmu. Yang mana yang untuk kita, Matt?." “Aku sudah mengatakan padamu, Belle. Kalau kamu gak hamil, Papa akan mengirim wanita lain untuk aku nikahi dan aku tidak mau itu terjadi, karena aku mencintaimu! Kamu tahu betapa besar pengorbananku demi pernikahan ini?!” tanyanya dengan sangat emosional. Isabelle menarik nafas panjang, menahan emosi yang hampir meledak. “Dan aku? Kamu pikir menyerahkan tubuhku pada lelaki yang bukan suamiku itu bukan pengorbanan? Apa aku ini hanya candaan bagimu, Matt?” “Aku mencintaimu, Belle! Aku mencintaimu!” Ucap Matteo dengan tangan tetap di pergelangan tangan Isabella. “Bohong! Kalau kamu cinta, kamu gak akan biarkan aku disentuh laki-laki lain!” suara Isabelle mulai meninggi. “Aku juga ga mau itu terjadi, Belle! Lagipula itu Leo, dia kakakku!” “Kamu percaya sama dia? Kamu ga takut kehilangan aku?” tanya Isabella, menarik tangannya. Dia mengambil handuk dan berjalan ke kamar mandi, tapi berhenti di depan cermin tubuh penuh. "Oh ya," dia menoleh, sengaja menunjukkan bekas cinta Leonardo di pahanya. "Leonardo bilang besok malam dia akan datang lagi. Katanya... dia belum selesai." Matteo menghancurkan vas bunga kedua di kamar itu. Tapi Isabella sudah masuk ke kamar mandi, menyalakan air pancuran untuk menyamarkan suara tangisnya—tangis kemenangan yang pahit. Pancuran air masih mengalir deras ketika Isabella menekan tangan ke dinding kamar mandi, tubuhnya berguncang oleh isak tangis yang tertahan. Di balik suara air, tercium sisa aroma kayu sandalwood dan seks yang masih menempel di kulitnya—bau Leonardo. Tangannya menggosok kulit dengan kasar, mencoba menghilangkan jejak lelaki itu, tapi yang terhapus hanya lapisan permukaan. Kenangan tentang bagaimana tubuhnya merespons setiap sentuhan Leonardo tetap membara di bawah sadarnya. "b******n," Isabella mendesis, meninju dinding marmer hingga buku-buku jarinya memar. “Aku benci diriku sendiri! Aku benci diriku sendiri!” tangisnya pecah di antara guyuran air shower yang membasahi tubuhnya. Di luar, suara benda pecah berdentang dari ruang kerja lantai bawah. Suara Matteo yang mengamuk. Dentuman keras mengguncang rumah. Suara kristal pecah berhamburan dari ruang kerja lantai bawah, diikuti teriakan Matteo yang melengking penuh amarah. Isabella membeku, air dingin mengalir di punggungnya yang merinding. Suara itu—suara yang sama yang dulu membuatnya jatuh cinta, suara hangat yang selalu memanggilnya "principessa"—kini berubah menjadi cemoohan menyakitkan yang menghancurkan sisa-sisa harga dirinya. Dengan nafas tersengal dan pandangan berkunang-kunang oleh amarah, Matteo menghantamkan pintu mobil Mercedes hitamnya. Rasa cemburu yang membara bercampur dengan getir kekalahan menggerogoti dadanya. Tangannya yang gemetar memutar kunci kontak dengan kasar. Mesin V8 meraung keras ketika ia menginjak gas dalam-dalam, ban berdecit di aspal sebelum mobil melesat seperti anak panah di kegelapan malam. Kecepatan terus ia tingkatkan - 80 km/jam... 100... 120 - melebihi semua batas yang wajar. Jalanan yang sepi menjadi samar dalam pandangannya yang kabur oleh air mata. Setiap tikungan ia sergap dengan brutal, hampir kehilangan kendali beberapa kali. Dalam kabin yang pengap, bayangan Isabella dan Leonardo terus menghantuinya. Tangannya mencengkeram kemudi sampai buku-buku jari memutih. "b*****t!" teriaknya, menghantam kemudi dengan telapak tangan yang gemetar. Tidak sampai sepuluh menit - rekor waktu yang mustahil untuk jarak yang biasanya ditempuh 30 menit - Mercedes hitamnya berhenti mendadak di depan rumah Leonardo, ban mengeluarkan suara jeritan panjang di jalanan. Matteo melompat keluar, wajahnya merah padam, dengan langkah-langkah besar menuju pintu rumah yang ia kenal terlalu baik. Dengan satu tendangan keras, pintu kayu mahoni itu terbanting terbuka. "LEONARDO!" raungnya, suaranya pecah antara amarah dan kepedihan. Di rumah mewah itu, hanya gema yang menjawabnya pertama kali, sebelum akhirnya langkah kaki terburu-buru terdengar dari lantai atas. Matteo mendatangi rumah Leo setelah adu mulut dengan Isabella, dia merasa menyesal telah menuduh dan memarahi Isabella. Bagaimanapun juga wanita itu Matteo sangat mencintai Isabella. Itu alasan dia dulu menentang orang tuanya untuk menolak perjodohan dengan salah satu anak bangsawan dagang di Venice demi menikahi Isabella, seorang mahasiswi lulusan terbaik dari Istituto Marangoni, yang merupakan salah satu sekolah fashion tertua dan bergengsi di Florence. Dalam kasus ini yang patut disalahkan adalah Leonardo, karena dia sudah melenceng dari perjanjian awal mereka. ‘Menyumbangkan Benih’ bukan bercinta dalam arti yang sesungguhnya. Matteo mendapati Saudara angkatnya di ruang kerja yang sedang duduk santai sambil menikmati Whiskey di tangannya. “Kenapa teriak-teriak, Matt?” Tanya Leonardo dengan nada suara yang rendah. “Karena aku ingin membunuh dan memukuli b******n seperti kamu, Leo!” gertaknya yang kemudian diikuti dengan Matteo menghancurkan segelas whiskey di dinding ruang kerjanya ketika Leonardo masuk dengan santai, seolah sudah menunggu untuk dihadang. "Kau pikir Isabella p*****r?!" Matteo menyerang, meninju Leonardo yang dengan gesit menghindar. “Hey…kenapa kau marah-marah begini, Matt? Seharusnya Kau berterima kasih padaku. Kau ini benar-benar tak tahu terima kasih!” tuduh Leonardo kesal. Terima kasih, katamu? Apa aku harus berterima kasih padamu yang sudah menikmati tubuh istriku dengan seenaknya? Kau pikir Isabella p*****r?” "Tentu saja bukan," Leonardo menyeka pecahan kaca dari bahunya. "Dia wanita yang patut dirayakan—dan itu yang kulakukan." Senyumnya lebar, sengaja memamerkan bekas gigitan Isabella di lehernya. Matteo menghempaskan dokumen ke meja. "Kita sepakat kau hanya memberikan s****a, bukan bercinta seperti binatang!" "Aku lelaki normal, Matt," Leonardo duduk di kursi kulit, kaki disilangkan. "Sangat bodoh kalau aku tidak menikmati tubuhnya." Terlihat kobaran emosi dari sorot mata Matteo mendengar jawaban Leonardo. “Dia sangat indah, Matt! Kamu gila membiarkan lelaki lain menikmati tubuh istrimu yang sangat indah itu! Sepertinya aku mulai kecanduhan terus menginginkannya!” “BIADAB!!” “BUG” Umpatan beserta pukulan mendarat di wajah tampan Leonardo, lumayan sakit karena Matteo melakukannya segenap tenaga. Tapi, Leonardo hanya menggosoknya pelan. “Cari wanita di luar sana, beli jalang untuk memuaskanmu, jangan sentuh istriku!” “Nggak, Matt! Kamu tahu aku tidak sembarangan tidur dengan wanita. Aku ini termasuk lelaki yang melankonlis, hanya bisa tidur dengan wanita yang aku cintai”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN