08

1066 Kata
"Kamu selingkuh di belakangku?" suaranya pecah. "Apa aku bisa percaya sama kamu sekarang?" Isabella menggeleng pelan, matanya tak berkedip. "Kenapa marah? Katanya ingin segera punya anak?" Datar. Tanpa emosi. Matteo menghancurkan vas bunga di meja dengan satu pukulan. "Diam! Bukan seperti ini yang aku mau!" Tangannya menunjuk ke atas—ke arah kamar dimana Leonardo pernah meniduri istrinya. "Aku minta kamu berkorban, bukan bersenang-senang! Kamu tahu bagaimana aku menahan cemburu saat si b*****t itu menikmati tubuhmu?" Isabella tak gentar. "Aku sudah katakan, Matt. Kita bisa konsultasi ke dokter. Kita bisa usahakan berdua. Kenapa melibatkan Leo?" Matteo membeku. "Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Isabella melangkah mendekat. "Tidak ada!" Matteo memalingkan muka. "Itu karena aku ingin cepat, karena—" "Karena apa, Matt?" Ruangan berputar. Matteo terjatuh ke kursi, wajahnya tiba-tiba menua sepuluh tahun. "Dengar, Belle sayang..." Tangannya gemetar meraih tangan Isabella. "Aku minta tolong Leonardo karena... selama tiga tahun kita berdua sudah mencoba. Tapi tidak ada hasil." “Tapi, kita bisa mencobanya lebih keras, Matt….” “KIta sudah….dan lagi, kamu tahu, orang tuaku sudah tidak ada kesabaran, jadi aku melakukan ini….ini menyiksaku, Belle!” Isabella menatapnya dalam-dalam. Apakah ini kebenaran? "Tapi kamu tidak boleh terbuai rayuannya," Matteo menangkup pipi Isabella. "Leo... kau tahu, kenapa dia tidak pernah menikah? Dia tidak pernah mencintai wanita. Dia hanya ingin menaklukkan." Air mata Isabella jatuh. Benarkah? Tapi kenapa sentuhan Leonardo terasa begitu... tulus? Isabella ingin menyangkal apa yang diucapkan oleh suaminya tapi bibirnya seperti terkunci. Untuk saat ini, dia mencoba percaya. "Maafkan aku, Matt," isaknya. "Setelah ini, kita coba lagi. Tanpa orang lain." Matteo menariknya ke pelukan. "Aku juga minta maaf, Belle. Aku menyakitimu." “Seharusnya aku memang tidak melakukan ini, itu semua karena orang tuaku yang terlampau mendesak. Aku tidak tahan dengan desakan mereka, ancaman Papa untuk memisahkanmu dariku….” Mendengar pengakuan Matteo, tentu saja Isabella yang mencintai Metteo dengan tulus jadi kasihan dan merasa serba salah. “Matt….ini ruamah tangga kita, tidak seharusnya Kau mengundang orang lain masuk kedalamnya dan mencicipi milikmu. Karena itu sama saja kamu dengan menyerahkan milikmu pada orang lain….”lirih suara Isabella. “Aku tahu…aku tahu…maafkan aku, Belle! Aku tidak ingin kehilanganmu…” Sementara itu di saku gaun hitamnya, kunci kamar hotel Leonardo terasa panas membakar kulit. Matteo melonggarkan pelukannya, lalu dia mengikis jarak, menekan bibirnya ke mulut Isabella dengan putus asa, seolah bisa mengubur bekas ciuman Leonardo di sana. Tangannya meremas pinggang istrinya, mencoba membangkitkan api yang dulu pernah ada. Isabella menutup mata, membiarkan suaminya mengambil apa yang diinginkannya. Tapi saat Matteo menggigit lembut bibir bawahnya—persis seperti yang selalu Leonardo lakukan—tubuhnya malah kaku. Bukan seperti ini. Leonardo melakukannya dengan lebih... "Ah!" Isabella tersentak ketika pikiran terlarang itu menyelinap. "Ada apa?" Matteo menarik diri, matanya berbinar harap. "Tidak... tidak apa-apa," Isabella memaksakan senyum, menarik Matteo kembali ke pelukannya. Tapi semakin Matteo menyentuh, semakin terasa kekurangan itu. Saat jari-jari Matteo menyusuri tulang rusuknya—terlalu hati-hati, tidak seperti Leonardo yang berani dan pasti. Saat mulut Matteo mengecup lehernya—terlalu pelan, tidak seperti gigitan Leonardo yang meninggalkan bekas. Saat tubuh Matteo menindihnya—terlalu terburu-buru, tidak seperti ritme Leonardo yang membuatnya menjerit. Sepanjang percintaan Isabella terus menerus membandingkan suaminya dan Leonardo, dan dia merasa kalau suaminya yang selama ini sempurna di matanya ternyata memiliki banyak kekurangan. Isabella tak puas. Setelah hampir satu jam mereka bercinta, Isabella langsung menyembunyikan dirinya di kamar mandi. Seharusnya pikirannya langsung plong dan lebih baik setelah bercinta tapi tidak kali ini. Di kamar mandi, Isabella menatap bayangannya sendiri di cermin. Air dingin mengalir di wajahnya, tapi tidak bisa mendinginkan ingatan akan sentuhan Leonardo. "Kau membenciku, tapi tubuhmu mencintaiku." Kata-kata itu bergema di kepalanya. Dia meremas handuk sampai jari-jarinya memutih. "Aku istri yang buruk," bisiknya pada bayangannya sendiri. Tapi ketika matanya jatuh ke handuk yang melilit tubuhnya, ingatannya kembali pada malam di gudang anggur—pada cara Leonardo melepas gaunnya tanpa menyentuh kain itu, seolah dia bisa membuka Isabella hanya dengan keinginan. "Tidak..." Isabella menekan tangan ke cermin, menatap mata sendiri yang gelap. "Aku hanya manusia. Wajar saja aku tergoda…." Di luar, Matteo memanggil: "Belle? Aku pesan makan malam favoritmu." Suara penuh penyesalan. Suara suami yang mencoba memperbaiki segalanya. Tapi kepala Isabella penuh dengan bayangan Leonardo. Senyum menyeringai yang dingin dan mendominasi dan juga cara dia menyentuh seakan ingin menguasai. Itu sangat membangkitkan gairahnya. Kamar tidur utama di Villa Ruzzo telah disulap menjadi ruang pemeriksaan sementara. Cahaya matahari menyelinap melalui tirai beludru, menerangi tempat tidur dengan seprai putih bersih yang terasa dingin di bawah punggung Isabella. Dokter Bianchi—seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek keperakan—memandangnya dengan mata analitis sambil mengenakan sarung tangan lateks. "Relaks, Nyonya Ruzzo," suaranya datar saat alat USG dingin menyentuh perut Isabella. "Ini hanya pemeriksaan rutin." Tapi rasanya seperti interogasi. Ah, bukan! Tapi, meja eksekusi! Dokter Bianchi adalah dokter senior, dia pasti sudah sangat hafal dengan berbagai macam reaksi pasiennya. Setiap sentuhan dokter, setiap tatapan Ivy Ruzzo yang duduk di sudut ruangan—semuanya berteriak: "Kami sedang menilai apakah kau layak." "Ovarium sehat," gumam Dokter Bianchi, menggeser alat. "Tapi endometrium agak tipis. Apakah menstruasi teratur?" Isabella menggigit bibir. "Ya... teratur." Ivy menyilangkan kaki, sepatu hak tingginya mengetuk lantai. "Meskipun hasilnya bagus, kami masih akan lakukan pemeriksaan yang lain, Belle." Alat USG bergerak lebih dalam. Isabella mengepalkan tangan di samping tubuhnya, mencoba tidak membayangkan bagaimana Leonardo akan menertawakan situasi ini. Sebenarnya sebagai perempuan, Isabella sangat tersinggung diperlakukan seperti ini. Kenapa hanya dia yang diperiksa? Seharusnya suaminya juga. Bukankah proses pembuahan itu butuh s****a bukan cuma sel telur? Namun, dia tidak mau mencari ribut jadi menurut saja. Terkadang menurut juga bukan karena lemah dan cengeng, kok! Toh, kekuatan sejati sering bersembunyi di balik kesabaran, batin Isabella sambil menatap langit-langit kamar yang steril, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih belum stabil pasca pemeriksaan. Tiba-tiba— Kreek... Pintu kamar terbuka perlahan, menyisakan celah cukup untuk seorang lelaki bertubuh atletis berdiri di ambang pintu tanpa melangkah masuk. "Maaf mengganggu." Suara velvet yang dibalur es itu membuat jantung Isabella berhenti berdetak. Dari posisinya yang terbaring, ia bisa melihat Leonardo berdiri tegap di ambang pintu, kemeja putih lengan panjangnya menggantung sempurna di bahu bidangnya. Cahaya dari koridor membentuk siluet maskulin yang membuat ruang pemeriksaan tiba-tiba terasa sempit. "Ma, Papa meminta dokumen ini." Leonardo mengangkat sebuah map coklat tebal, tetap berdiri di tempat seperti tahu batasannya. Dokter Bianchi yang sedang memegang alat USG mengangkat alis. "Itu suaminya?" tanyanya pada Ivy, matanya menelusuri tubuh Leonardo yang terpotong oleh pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN