Sakit Tapi Tak Berdarah

1873 Kata
Sinar matahari pagi mulai menyelinap masuk melalui celah-celah jendela kamar hotel yang gordennya sudah dibuka oleh Evans, cahaya hangatnya mampu menerpa tubuh Daania yang masih tertidur di sofa, hingga ia terjaga dari tidur lelapnya semalam. Beberapa kali Daania mengerjapkan matanya, lalu ia segera duduk dan mengedarkan pandangan ke area sekelilingnya untuk mencari keberadaan Evans yang sudah tak ada di ranjang, sampai akhirnya mata Daania menangkap sosok yang ia cari, Evans terlihat berada di luar kamar dan sedang memandang keindahan laut di luar sana. Setelah berhasil mengumpulkan seluruh kesadarannya, Daania bangkit dan mulai melangkahkan kaki keluar kamar untuk menghampiri suaminya di sana. "Evans, apa kamu mau sesuatu? Biar aku ambilkan apa yang kamu inginkan," ucapnya mencoba menawarkan dan melayani Evans sebaik mungkin. "Aku lapar, aku ingin makan! Bawa 3 macam menu breakfast untukku. Waktumu hanya 30 menit untuk memasak, jangan sampai lebih dari 30 menit atau kau akan aku hukum!" titah Evans dengan suara baritonnya. Perkataan Evans sontak membuat Daania kebingungan, wajahnya terlihat memucat karena permintaan Evans adalah hal yang tidak bisa dan tidak pernah Daania lakukan selama 23 tahun ini. "Kenapa diam? Waktumu sangat singkat, hanya 30 menit terhitung sejak aku memberimu perintah!" tanya Evans sambil menatap tajam ke arah mata Daania. "Hmm, se-sebenarnya a-aku..." Daania gugup bukan main, ia bingung harus bagaimana cara menyampaikan maksudnya kepada Evans agar tidak marah. "Kau tidak masak?" tanya Evans menebak dengan tepat. Daania menganggukkan kepalanya dengan cepat. "I-iya Evans, maaf aku belum sempat belajar cara memasak, karena selama ini aku selalu memesan makanan dari restoran." Daania dapat mendengar dengan jelas suara gemeltuk gigi Evans yang sengaja Evans gertakkan karena merasa kesal padanya. Daania tidak berani menatap wajah suaminya saat ini, karena ia takut Evans akan menamparnya atau bahkan memukulnya. "Dasar istri tidak berguna! Lalu untuk apa kau menawarkan diri agar aku menikahimu, padahal Ayahmu awalnya menjodohkan Diandra yang bisa segalanya untuk aku nikahi?!" tanya Evans penuh amarah yang membara, ia mendorong tubuh Daania dengan kasar, hingga tubuh wanita itu mundur lima langkah dari posisi semulanya. Daania memejamkan mata rapat-rapat, bulir air mata terjatuh begitu saja di hadapan Evans tanpa diperintah, bibirnya bergetar hebat karena ketakutun untuk menjawab perkataan suaminya yang sedang dibalut oleh amarah. "Kau sadar tidak sih Daan, kau itu tidak pantas untuk aku nikahi, karena yang harusnya menjadi istriku adalah Diandra, dia bisa masak, dia pintar, dia berpendidikan tinggi dan dia bisa melakukan apapun!" Daania hanya bergeming, wajahnya terus menunduk dengan mata yang terpejam erat. Hatinya begitu sakit saat Evans membandingkan dirinya dengan Diandra. Evans begitu kesal karena tidak mendapat jawaban apapun dari wanita yang sudah membuatnya emosi di pagi hari. Ia melangkah dengan cepat untuk dapat meraih rahang Daania dan mencengkramnya dengan erat. Saat wajah Daania sudah menengadah, kini Evans dapat melihat dengan jelas rona wajah wanita itu yang mulai memutih karena pucat menahan rasa takut yang luar biasa. "Heh, apa kau bisu tidak dapat menjawab pertanyaanku?" tanyanya dengan sorot mata yang begitu tajam. Daania segera membuka matanya dan dapat melihat jelas wajah Evans yang kini jaraknya sangat dekat dengannya, namun wajah tampan Evans terlihat begitu menyeramkan karena kesalahan yang ia perbuat. Pandangan mata keduanya saling beradu, namun suasana seolah mencekam bagi kesalamatan Daania. "A-aku minta maaf, aku janji akan les memasak secepat mungkin, agar aku bisa menjadi istri berguna untukmu." "Ucapanmu terdengar tidak meyakinkan sekali, mana mungkin wanita manja sepertimu akan bisa menjadi berguna untukku?" tanya Evans seraya menampilkan senyuman mengejek. "Aku janji Evans, aku akan melakukan apapun untukmu, sekarang tolong lepaskan wajahku dari tangan kamu yang kuat ini. Sakit, Evans!" mohon Daania sembari menyentuh tangan Evans dengan perlahan. Air mata Daania tak berhenti menetas hingga wajahnya sudah sangat basah karena bulir-bulir kesedihan. Evans hanya menampilkan seringai yang begitu menakutkan, ia malah semakin mengeratkan cengkramannya pada rahang Daania beberapa saat sebelum ia melepaskannya. Kemudian Evans melepaskan cengkramannya dengan kasar hingga tubuh Daania kembali mundur beberapa langkah, namun kali ini tubuh wanita itu terbentur dinding kamar hotel yang begitu kokoh. Hati Daania benar-benar terluka atas sikap Evans, ini semua membuatnya begitu sakit dan merasa hancur. Daania menutupi mulutnya dengan telapak tangan sekuat mungkin agar suara isak tangisnya tidak sampai terdengar oleh Evans yang sudah berlalu pergi dari hadapannya. "Ya Tuhan, rasanya sakit sekali diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang baru kemarin mengikrarkan janji untuk menjaga dan melindungiku, namun sekarang dia malah menyakitiku. Tolong aku Tuhan, tolong kuatkan aku dan hatiku dalam menghadapi sikap suamiku yang seperti tidak menghargaiku sebagai istrinya." Di saat emosi masih menguasai diri Evans, tiba-tiba saja terdengar suara pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Evans melangkahkan kaki menuju pintu untuk membuka dan melihat siapa yang datang. Ternyata yang datang adalah Luna bersama seorang pelayan restoran hotel yang mendorong trolley makanan dengan berbagai menu breakfast di atasnya untuk makan Daania dan Evans pagi ini. "Selamat pagi anak Mommy yang handsome, kok sudah bangun jam segini?" tanya Luna dengan raut wajah penuh kebahagiaan. "Pagi Mommy. Aku kan memang biasa bangun pagi, kok Mommy malah kaget gitu sih?" jawab Evans kemudian balik bertanya. "Iya sih biasanya, Mommy kira kalau jadi pengantin baru akan bangun siangan dikit," jawab Luna yang sengaja menggoda anaknya, karena ia mengira bahwa semalam Evans sudah melewati malam pertamanya bersama Daania. "Oh ya, dimana Daania, apa calon menantu Mommy yang cantiknya kebangetan itu sudah bangun?" tanyanya sembari mengedarkan pandangan meneliti setiap sudut ruangan kamar Evans. Lalu Luna menerobos masuk ke dalam kamar saat Evans tak menjawab pertanyaannya, ia melangkah dengan perlahan untuk mencari keberadaan Daania, sampai pada akhirnya ia menemukan sosok yang ia cari, ternyata wanita itu tengah berenang di private pool. "Pak, makanannya simpan di atas kolam saja ya, pokoknya harus ditata dengan rapi sampai terlihat manis khusus untuk Daania dan Evans!" titah Luna pada pelayan yang memang menunggu perintah darinya. "Baik Nyonya!" jawab pelayan itu dengan sigap. Pelayan itu masuk dan berjalan menuju private pool, menghidangkan menu breakfast di atas kolam sesuai dengan perintah Luna. Setelah pekerjaannya selesai, ia berlalu pergi untuk kembali ke restoran lagi. Daania terus memasang senyum bahagia ketika mengetahui Luna datang ke kamar, dan ia semakin memperlebar senyumnya ketika Luna melangkah mendekati Daania yang baru mendarat dan duduk di tepian kolam. "Daan, kenapa kamu renangnya pakai lingerie? Kan Mommy sudah letakkan beberapa bikini di dalam laci lemari untuk kamu pakai renang," tanya Luna berusaha menahan gelak tawanya saat melihat wajah Daania yang memerah karena salah tingkah. Luna merasa heran melihat Daania yang berenang memakai pakaian yang tidak seharusnya, ditambah wajah merona Daania saat ini semakin terlihat jelas karena memendam rasa malu. "Eh, i-iya Mom. Habis aku sudah nggak tahan banget pengen berendam di air dingin," jawab Daania berbohong, padahal saat ini tubuhnya tengah menggigil karena kedinginan. "Karena semalam habis olahraga panjang ya?" tanya Luna memelankan suaranya agar tidak terdengar oleh Evans. Daania tersenyum dengan rona merah yang semakin bertambah di kedua pipinya. Luna menangkap bahwa putranya dengan Daania sudah melewati malam pertama penuh kebahagiaan semalam. Luna tak memaksa Daania untuk menjawab pertanyaannya yang terlalu vulgar. Ia mengusap bahu Daania dengan lembut sebelum kembali pergi meninggalkan private pool. "Ya sudah, kamu sarapan dulu ya bareng Evans, Mommy juga mau sarapan bareng Daddy di resto hotel." Daania mengangguk seraya tersenyum manis. "Iya Mommy, terima kasih ya untuk kiriman makanannya." Luna hanya menjawab dengan senyuman, kemudian ia melangkah pergi menuju kembali masuk ke dalam kamar untuk menghampiri Evans yang kini tengah asik memandangi kedua wanita yang berbincang dari balik kaca kamarnya. "Vans, gimana malam pertama kamu? Lancar kan, pasti sukses dong. Mommy lihat wajah Daania memancarkan aura yang sangat bahagia setelah menikah denganmu. Mommy tunggu kabar baik dari kalian berdua ya," bisik Luna yang super kepo. "Kabar baik apa lagi sih, Mom?" tanya Evans dengan mengerutkan kedua alisnya. "Kabar baik tentang kehamilan Daania dong!" celetuk Luna tanpa rasa malu. "Mom ini apaan sih, aku kan baru semalam menikah, mana mungkin Daania langsung hamil," ketus Evans karena masih masih merasa kesal pada Daania, karena kejadian tadi. "Iya Mommy tahu itu, mungkin bulan depan Mom dan Dad sudah bisa menerima kabar baik dari kalian berdua kan. Sudah ya, kalian sarapan dulu deh, lanjutkan masa-masa romantis kalian berdua setelah menikah. Mom tidak ingin mengganggu waktu berharga kalian terlalu lama. Bye sayang!" ucap Luna, kemudian melangkah keluar dari kamar. Semburat emosi Evans yang semula terpancar di wajahnya seketika meredup saat Luna sudah menemuinya, ia sungguh seorang anak lelaki yang begitu sayang pada Ibunya, tapi tidak dengan wanita yang baru dinikahinya itu. Daania masih terdiam dan duduk di pinggir kolam dengan kaki yang masih berada di dalam air, matanya memandang kosong ke arah hamparan laut berwarna biru muda, sebiru matanya yang kini memancarkan aura tidak bahagia. Bangunan hotel mewah ini memang berhadapan dengan pesisir pantai dan kamar yang mereka tempati saat ini langsung mengarah ke hamparan laut yang indah. "Evans tahu aku tidak bisa masak saja marahnya seperti tadi, apalagi kalau dia tahu soal yang lainnya?" batin Daania dalam lamunannya. "Daania!" suara bariton Evans yang memanggil namanya seketika langsung membuyarkan lamunan wanita yang sedang merenungi nasibnya. Daania segera bangkit dan berjalan dengan tergesa untuk menghadap ke arah Evans, yang tengah terduduk di kursi yang berada di balkon kamar hotel mereka. "Iya Evans, ada apa?" tanya Daania memasang wajah serius. "Suapi aku makan. Aku lapar!" titah Evans dengan olketus. "Hmm, ta-tapi Evans..." belum sempat Daania menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja Evans langsung memotong ucapan Daania dengan cepat. "Tapi apa? Jangan bilang kau juga tidak tahu bagaimana cara menyuapi aku!" "Aku bisa menyuapi kamu makan, tapi aku ganti baju sebentar ya." "Tidak perlu, siapa yang suruh kau berenang sepagi ini? Jadi tanggung sendiri dingin yang kau rasakan saat ini!" Benar kata Evans, saat ini tubuh Daania tengah menggigil karena kedinginan, karena sebelumnya ia tidak pernah berenang di pagi hari seperti tadi, ditambah air kolam yang terasa sangat dingin membuatnya sampai meriang. Alasan Daania masuk kolam renang adalah untuk menyembunyikan kesedihannya di hadapan Luna, sesuai permintaan Evans yang memintanya agar terlihat bahagia di hadapan keluarganya. Daania tidak ingin menjawab perkataan Evans yang terasa menyakitkan hatinya. Ia mengambil menu sarapan suaminya dan mulai menyuapi Evans dengan perlahan. "Bahkan di saat aku sudah menjadi istrinya, dia bersikap tidak peduli terhadapku. Dia malah asik dengan handphonenya tanpa memperdulikan aku yang tengah kedinginan." Ternyata menjadi istri yang tidak diinginkan rasanya sangat tidak enak, sama sekali tidak dihargai dan dianggap ada. Dan Daania baru menyadari semua itu sekarang. Tidak ada lagi raut kebahagiaan di wajah cantik Daania, biasanya dia adalah sosok wanita yang sangat ceria ketika bisa mendapatkan apa yang ia inginkan, kini Daania sudah mendapatkan Evans namun ia tidak merasakan kasih sayang yang tercurah dari dalam diri Evans untuknya. Ini semua membuat batin Daania tersiksa walaupun ia berada di dalam sangkar emas sekalipun. Setelah tugas Daania selesai menyuapi Evans sarapan pagi, ia beranjak pergi untuk masuk ke dalam kamar. Daania bergegas masuk ke dalam bathroom setelah mengambil dress dari almari, lalu ia mengganti lingerie yang masih menempel di tubuhnya dalam keadaan sudah kering karena diterpa angin selama menyuapi Evans makan di balkon kamar, padahal lingerie itu semula sangat basah kuyup. Wajah Daania terlihat pucat tanpa rona merah di kedua pipi seperti biasanya. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa setelah mengambil selimut tebal yang berada di dalam almari untuk menutupi tubuhnya yang terasa sangat dingin. Daania merasakan suhu tubuhnya meningkat, meriang yang menyerangnya semakin membuat Daania tidak enak badan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN