8

1385 Kata
Aku hanya tiduran sambil selonjoran di sofa ruang tamu dengan malas. Sejak kemarin aku belum mandi dan bisa kurasakan badanku yang mulai lengket dan berbau kurang asin, tinggal kasih garam. Aku mager. Hari Kamis dan sudah pukul 10.00 WIB. Aku nggak sekolah, bukan terkena skorsing karena kejadian kemarin, melainkan alasan lain. Kemarin aku diduga sudah melakukan 'p*********n' pada pacar dan selingkuhannya. Begitulah gosip yang beredar, entah siapa yang memulai gosip nggak jelas itu. "Hm, enak!" Gumaman keras itu membuatku mencium aroma mie kuah pake telur mata sapi setengah matang yang ditambah dengan sayur sawi dan juga mentimun. Menggoda banget. Aku melirik ayah yang baru saja buat mie. Baunya menggoda dan pengen banget minta. Namun diurungkan, aku dan ayah lagi hiatus ngomong satu sama lain. Si ayah lagi ngambek sama aku. Alasannya bukan karena aku sudah nyerang Damai-menantu kesayangannya tapi ada alasan lain. Alasan yang sungguh konyol. Kemarin—setelah proses p*********n selesai, aku yang disadarkan dengan cara Iqbal dan Fahri yang memegang tanganku, akhirnya dibawa ke kantor kepala sekolah. Sementara Damai dan Kafi dilarikan ke UKS sekolah untuk mendapat perawatan atas luka-luka mereka. Karena lukanya cukup parah-sampai berdarah-darah, akhirnya dipanggillah orangtua masing-masing yang terlibat. Aku sebenarnya nggak masalah jika harus dihukum, asal nggak dikeluarin aja. Hanya saja, rasanya kurang puas 'ngehajar' Damai yang memang ngeselin pake banget itu. Kesabaranku melayang dan entah mengapa aku sempat kepikiran buat gantiin dia sama Adam atau cogan lain. "Jadi, Nana tolong jelaskan motif kamu melakukan p*********n pada Damai dan Kafi?" kata pak Kepala sekolah. Kepala sekolahku cowok, namanya Pak Isis—bukan  nama aliran sesat atau organ pencernaan Perawakannya tinggi tegak, udah nyaris mirip sama Pithecanthropus Paleojavanecus, manusia Kera zaman purba dari Trinil. Tapi wajahnya lumayan ganteng, cukup bijaksana sebagai kepala sekolah. "Nana, ditanya malah bengong. Piye toh?" tanya pak Isis dengan logat Jawanya yang kental. "Ah, maaf, Pak," jawabku agak kaget. "Jadi, kenapa sampe nyerang Damai, bukannya dia pacarmu?" tanya Pak Isis. Aku hanya nyengir, kepala sekolah pun ternyata sudah tahu aku pacaran sama Damai. Yang dikatakan pak Komar ternyata benar. Dari kepala sekolah hingga tukang kebun sepertinya memang sudah tahu kalau aku pacaran sama Damai. "Saya khilaf, Pak," jawabku sekenanya. "Khilaf kok sampe nyakar, gigit dan ngejambak sih?" pak Isis nggak percaya. "Ya kan namanya khilaf, Pak! Mana saya sadar, saya ngapain?" sanggahku. "Lah iya, tapi pemicu kamu khilaf itu apa?" tanya Pak Isis lagi. "Saya kesel, Pak!" "Kesel kenapa?" tanyanya menuntut penjelasan lebih. "Ya kesel aja sama Damai, Pak" jawabku enggan menjelaskan lebih jauh. "Trus kok Kafi kenapa kamu tonjok kalau keselnya sama Damai?" tanya Pak Isis heran. "Kalau itu nggak sengaja kehantam pas dia mau nolong Damai, Pak! Kalau saya beneran nonjok, yang berdarah pasti hidung atau matanya bukan giginya!" jelasku. Pak Isis manggut-manggut. "Iya juga sih," gumamnya setuju. Bu Tiwuk, wali kelasku masuk. Dari ekspresi wajahnya aku yakin banget guru Ekonomiku itu pengen banget narik aku keluar dari sana trus dikubur hidup-hidup. "Nana, ketua kelas kok bikin onar, malu-maluin," omelnya begitu duduk. "Apa hayo alasanmu bikin ulah? Kamu ini, sudah dijelasin, wali kelas ipa-1 itu Bu Tina, sahabat ibu. Kalau kau bikin ulah sama kelas mereka, muka ibu mau ditaruh dimana huh?" Bu Tiwuk mulai marah-marah. Ngapain ditaruh bu? Muka ya pasti nempel, kalau ditaruh entar jadi manusia muka ratalah. Bu Tiwuk pun mengoceh indah dan aku hanya bisa melamun jauh agar semua ucapannya nggak kedengeran. Pak Isis pun hanya diam, membiarkab bu Tiwuk menggantikan beliau mengomeliku. "Permisi." Suara itu membuatku yang lagi ngelamun langsung sadar. Aku mengenalinya. Itu suara ayah Damai!! "Ah, orangtuanya Damai ya?" kata pak Isis menyambut ramah ayah Damai. "Iya, saya disuruh ke sini. Ada apa ya?" tanya ayah Damai heran. "Nanti kami jelaskan. Kami sedang menunggu orangtua Nana dan Kafi. Silahkan masuk." Pak Isis mempersilahkan ayah Damai masuk. "Oh Mantu, ngapain di sini? Sini cium tangan ayah dulu," katanya sambil mengulurkan tangannya begitu melihatku. Aku terpaksa mencium tangan ayahnya Damai, salaman, meski malu. Aku sebenarnya juga enggan melakukannya. Bukan karena udah nggak suka Damai lagi, tapi kalau dia tahu anaknya kuaniaya pasti dia bakal ngegantung aku di pohon nangka dan jadilah aku hantu daun nangka. Tak lama kemudian datang seorang wanita paruh baya yang cukup gembul, sepertinya orangtuanya Kafi. "Ada apa ya, Pak? Saya sibuk ini, nggak punya waktu banyak!" keluh ibunya Kafi yang terus saja bertanya alasan dirinya dipanggil sejak pertama kali datang. Pak Isis pun akhirnya menjelaskan apa yang terjadi meski ayahku belum tiba. Entah apa yang terjadi pada ayah longorku itu, sudah ditunggu satu jam nggak juga datang. "Heh, keluarin aja dari sekolah. Anak nggak tahu diri!" Ibunya Kafi marah waktu mengetahui anaknya nggak sengaja aku hantam. "Lah, kok ngomongnya gitu, Bu? Dia menantu saya. lho!" Ayah Damai nggak terima. Aku hanya melongo, nggak nyangka dibelain. Padahal kupikir ayahnya Damai bakal marah dan nggak nerima aku jadi menantu lagi. "Lah, bapak gimana sih? Anaknya jadi korban p*********n kok malah ngebelain pelakunya?" tanya ibunya Kafi heran. "Saya tahu menantu saya kayak apa, kalau Nana sampai nyerang Damai dan anak ibu, itu artinya mereka udah bikin kabel sabar menantu saya putus!" jawab ayah Damai. "Kabel? Emangnya dia ini rangkaian listrik? Lagian dimana-dimana nyari menantu itu yang selevel lah, masak iya Damai yang gantengnya sejagad itu bapak jodohin sama cewek kayak dia? Masih mending sama anak saya," ibunya Kafi ngomel. "Apa? Punya menantu anak ibu? Ogah gila kalau mertuanya Damai kayak ibu. Bisa-bisa anak saya yang udah dididik ala pangeran itu jadi pembantu!" sahut ayahnya Damai. "Heh? Sembarangan! Jadi menantu ideal bapak kayak dia? Preman pasar ini?" Ibunya Kafi emosi. "Preman pasar? Dia ini juara taekwondo. Jangan asal bicara ya bu, saya nggak suka!" balas ayahnya Damai yang juga mulai emosi. "Sudah, saya memanggil bapak dan ibu kesini buat menyelesaikan masalah, bukan malah ribut sendiri," lerai Pak Isis. Ayah Damai dan ibunya Kafi pun mulai tenang setelah dilerai pak Isis. "Jadi, Nana ayo minta maaf," suruh Pak Isis. "Lah tunggu dulu, Nana minta maaf kenapa?" Ayah Damai mencegahku yang udah mau ngomong maaf kepada ibunya Kafi. "Saya nggak sengaja ngehantam mulut Kafi hingga berdarah, Om," jelasku. "Waduh, kok dihantam?" tanya ayah Damai lagi. "Nggak sengaja. Pas nyerang Damai, si Kafi narik tangan saya om, jadinya reflek saya hantam, Om," jelasku. "Oh gitu, nggak apa-apa itu, nggak sengaja. Nggak usah minta maaf, udah dimaafin," kata ayah Damai sambil senyum. "Tapi ibunya Kafi kan belum tentu mau maafin saya, Om," kataku ngerasa kurang enak melihat ibunya Kafi yang udah memelototiku sejak tadi. "Udah nggak usah dipikirin. Kalau dia nggak mau maafin, akan om larang Damai bicara sama anaknya lagi!" kata ayahnya Damai. Ayah Damai pun menatap lekat ke arah ibunya Kafi. "Dimaafin kan?" tanyanya rada nyolot. "Kalau nggak dimaafin, awas!" Ayah Damai sedikit mengancam. "Dih, serem! Cocok dah, menantu dan mertua sama-sama preman," dengus ibunya Kafi kesal. "Bodohlah, dimaafin tuh!" "Makasih, Om," kataku terharu. "Sama-sama, Sayang," jawab ayah Damai yang langsung membuatku mendadak merinding. Sikapnya jauh lebih horor dari mukanya. Terlebih ungkapan 'sayang' dari ayahnya Damai entah kenapa beban banget daripada kata 'menantu'. "Oh iya, saya minta maaf sudah nyerang Damai, Om," kataku merasa nggak enak. "Nggak apa-apa. Udah kesel banget ya?" Aku mengangguk. "Nggak apa-apa, lain kali kalau dia bikin Nana kesel, bilang sama om. Om bakal ngasih Damai hukuman!" "Jangan dimarahin," kataku khawatir Damai bakal diceramahin. "Nggak, paling suruh belajar lebih banyak trus sering didaftarin lomba!" Aku bergidik ngeri. Itu hukuman paling nyusahin zaman now Rapat orangtua murid dan kepala sekolahku serta bu Tiwuk memutuskan aku nggak bersalah. Kafi dan Damai yang juga bergabung di menit terakhir pun mengatakan mereka sudah baik-baik saja. Aku diampuni, nggak dihukum. Setelah emua pada bubar-tiba-tiba ayahku nongol. "Nas, ayah ketiduran," kata ayah dengan wajah yang masih belek.an. "Udah selesai, sana pulang!" "Lah terus gimana?" tanya ayah. "Udah selesai ayah, ayahnya Damai ngebelain Nanas makanya Nanas nggak jadi dihukum. Sudah pulang!" kataku setengah mengusir ayah. Ayah manyun. "Mentang-mentang dibelain mertua, ayah dibuang!" Ayah BT. "Lah, bukan dibuang, Ayah. Tapi rapatnya memang udah kelar. Sana pulang, tidur lagi," kataku mencoba ngejelasin. "Kesel, kesel, kesel!!" gerutu ayah sambil menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. "Lah, kok kesel sih? Harusnya makasih anaknya dibelain. Nanas udah nyerang Damai lho, dibelain Ayahnya Damai setelah melakukan itu harusnya ayah bersyukurlah," "Tauk! BT!" kata ayah nggak mau denger. "Besok nggak boleh sekolah, kau dihukum!" kata ayah menimpali lalu pulang dengan ngoceh sepanjang jalan. Jadi begitulah, alasan aku nggak masuk sekolah hari ini. Si ayah rupanya pengen banget ngebelain aku sama seperti waktu itu. Dimana pertama kalinya, aku mulai melihat ayah sebagai ayahku. "Yah," panggilku. "Nggak mau jawab," kata ayah masih marah. "Lah itu dijawab," ledekku. "Nggak!" Ayah bersikeras. "Nanas sayang ayah," kataku. Si ayah melirikku diam-diam meski ketahuan. "Mau mie?" katanya menawarkan. "Tapi udah tinggal kuahnya," lanjut ayah lalu nyengir. Aku  hanya tersenyum geli. "Boleh." Aku dan ayah baikan dengan menyantap kuah mie bersama. Saat itu pula aku menyadari kalau sebaik apapun ayah mertuaku kelak, ayah pasti akan selalu ingin jadi yang pertama untuk membelaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN