Minggu yang membosankan. Pagi-pagi Ayah kemasukan jin. Dia tiba-tiba saja mengajakku senam di depan rumah. Ayahku yang suka banget mager itu tiba-tiba ingin menggerakkan tubuhnya. Aku yang sejak kelas XI semester dua berhenti taekwondo agar bisa fokus OSK ( Olimpiade Sains tingkat Kabupaten ) pun akhirnya mengiyakan ajakan ayah yang mungkin saja hanya sekali seumur hidup.
"Masih gelap Yah," kataku sembari menunjuk langit yang memang masih gelap.
"Iya, kepagian," kata ayah mengiyakan ucapanku. "Yaudah balik aja yuk!"
"Hah? Kita cuma di depan rumah ini, Yah," protesku.
Si ayah nyengir.
"Niat nggak sih senamnya?" tanyaku mulai kesal.
"Iya, jadi," jawab ayah sembari mulai menggerak-gerakkan tangannya. "Yaudah pemanasan dulu!"
"Oke," sahutku setuju.
Kami pun melakukan pemanasan sendiri-sendiri. Kulihat ayah yang begitu antusias, entah kenapa senang melihat ayah begitu bersemangat.
"Jangan liatin Ayah mulu, ntar jatuh cinta," sindir ayah.
"Dih sapa yang liatin ayah, GR!" elakku.
"Jangan berdusta, Ayah ini bisa membaca pikiran wanita!" kata ayah lalu terkekeh pelan.
"Terserah," sahutku malas.
"Yups, selesai!"
"Bah, cepat gila, Yah,” kataku cukup terkejut.
Ayah nyengir lagi membuatku hanya geleng-geleng kepala melihat ayah yang sudah selesai melakukan pemanasan dan hanya berdiri sambil kedip-kedipin mata kayak lampu tujuh belasan.
"Nah, Nanas yang mimpin senamnya," usul ayah setelah beberapa detik bengong.
"Oke," kataku setuju.
"Jadi, pertama begini…" kataku lalu mulai melakukan senam.
Setelah cukup lama melakukan senam, sekitar sepuluh menit, aku menoleh pada Ayah yang ternyata sudah lenyap dari sampingku.
"Lho?"
Aku celingak-celinguk mencari ayah dan mendapati ayahku yang longor itu tengah berbaring di teras, meringkuk kayak ayam sakit.
"Ayah!!!" teriakku sebagai tanda protes.
Aku berlari mendekati Ayah dan hanya bisa berdecak kesal saat dia malah memejamkan mata.
"Ngapain, Yah?" tanyaku.
"Menikmati lantai depan rumah," jawab ayah masih sambil merem.
"Nggak dingin?" tanyaku.
"Dingin, sih," kata ayah dengan nada menggantung. "Tapi ayah suka."
"Nanti sakit lho kalau tidur di lantai yang dingin," kataku mengingatkan.
"Nggak apa-apa lantainya dingin, asal sikapmu jangan," kata ayah lalu tertawa cekikikan.
"Eaa, gombalan Ayah keren kan?" kata Ayah memuji diri sendiri.
Aku hanya menepuk jidat, mendadak merasa malu.
"Udah, bangun! Kalau nggak niat olahraga nggak usah ngajak. Kalau mau molor pindah ke dalem sana," omelku.
Ayah manyun.
"Ayah kan cuma pengen olahraga sama putri Ayah," kata Ayah dengan raut muka yang disedih-sedihin.
"Dih apa sih, dari zaman batu juga Ayah nggak pernah ngajak olahraga. Kenapa mendadak pengen?" tanyaku penasaran.
"Oh, soalnya Sari dan Lilik katanya suka olahraga bareng. Jadi ayah pengen nyoba," jawab ayah menjelaskan.
"Ah, kalau Sari dan emaknya kan emang suka olahraga, Yah, biar berat badannya tetap stabil. Kalau Ayah mau olahraga biar apa?" tanyaku.
Ayah diam, mikir bentar.
"Entah, nggak mau mikir. Bikin pusing," jawab ayah lalu bangun.
Ayah longorku itu pun berjalan masuk ke dalam rumah. Pas di depan pintu Ayah menoleh padaku.
"Nas," panggilnya.
"Apa?" sahutku.
"Mau cium nggak?" tanyanya.
"Hah?"
"Ayah habis garuk p****t!!" pekik ayah girang sambil nunjukin kedua tangannya.
"Heh??!! Ayah!!! Jorok!!!" teriakku.
Ayah ngakak lalu berlari kabur ke dalam rumah saat aku hendak mengejarnya. Aku bahkan mendengar suara pintu yang ditutup dengan keras, Ayah ngumpet, ngurung diri dalam kamar.
"Dasar," dengusku kesal.
Aku menghela napas panjang lalu mengarahkan pandanganku ke langit yang masih sedikit gelap.
Olahraga bareng Ayah hari ini… adalah yang pertama kali.
"Makasih, Yah," gumamku lirih sambil menyunggingkan senyum.
***
Aku tarik lagi ucapan makasihku sama Ayah. Pasalnya dia tega nyuruh aku beli sate malam-malam naik sepeda. Sebenarnya aku nggak keberatan Ayah minta dibeliin sate, masalahnya Ayah ngebet pengen sate Kang Ujang yang warungnya berada di depan sekolah. Alhasil, dengan penuh keringat aku sampai di warung Kang Ujang. Apes, harus antre lagi.
"Panjang banget," keluhku saat melihat antrian para pembeli sate yang panjang banget.
Sate Kang Ujang terkenal karena enak dan terjangkau jadi wajar saja jika banyak peminatnya. Bahkan jika berlangganan, bisa dapat diskon 30% atau gratis mentimun dan lobak.
"Merepet aja, Na."
Teguran itu membuatku menoleh ke belakang dan cowok yang aku kenal menyunggingkan senyum manisnya.
"Adam!" pekikku.
Adam mengangkat tangan kirinya untuk menyapaku.
"Hai," sapanya
"Hai juga,” jawabku.
“Ngantre sate juga?" tanyaku.
Adam mengangguk.
"Iya, dong. Nggak mungkin ngantre sembako di sini kan?" jawab Adam setengah bergurau.
"Jauh amat beli satenya. Rumahmu kan jauh banget dari sini," kataku heran.
"Emang kenapa? Kau pun jauh amat beli satenya," balas Adam.
"Ayah ngidam, jadi kepaksa ngontel ke sini," kataku beralasan.
"Owalah ayahmu, aku pikir kau yang ngidam," goda Adam.
"Dih nyebelin amat," gerutuku kesal.
"Ngomong-ngomong, sendirian aja, Na?" tanya Adam sambil celingak-celinguk.
"Iya, sendiri. Kenapa? Kangen Damai ya?" jawabku setengah menggodanya.
“Nggak, kok. Heran aja dia nggak ngekor,” jelas Adam.
“Damau sibuk belajar, persiapan buat OSK,” terangku.
"Oh gitu. Ngomong-ngomong, kau juga ikut OSK kan?" tanya Adam.
Aku mengangguk mengiyakan.
"Ekonomi lagi?" tebak Adam.
Sekali lagi aku mengangguk.
"Kamu ikut?" tanyaku balik.
"Ikut, dong."
"Mapel (mata pelajaran) apa?" tanyaku penasaran.
"Fisika," jawab Adam.
"Hah?!!" seruku kaget setengah mati.
"Alay amat, Na! Emang kenapa kalau Fisika? Aneh? Kok sampe kaget berlebihan gitu," protes Adam.
Aku hanya menautkan alisku lalu tanpa sadar menyentuh rambut Adam dan memeriksanya dengan seksama.
"Kenapa, Na?" tanya Adam sambil menepis tanganku dari rambutnya.
"Ngecek, Dam," jawabku.
"Ngecek apa?" tanya Adam heran.
"Ngecek kau botak tengah atau nggak," jawabku.
Adam memanyunkan bibirnya.
"k*****t," dengus Adam kesal. "Sumpah, otakku sudah eror karena nggak bisa move on dari cewek model kayak kamu."
Aku hanya ngakak mendengar pernyataan Adam.
"Lah suruh siapa nggak move on, move on," godaku.
Adam menekuk mukanya.
"Iya, salahku, salahku. Puas?" katanya sembari menggigit bibir bawahnya.
Aku terdiam, mendadak mata cowok ganteng itu berkaca-kaca.
Dia nggak lagi mau nangis kan? Ya kan?
"Lho?! Dam, aku…"
Dua bulir bening itu jatuh dan si Adam langsung balik badan.
"Aku pulang duluan," pamitnya lalu berlari pergi.
"Heh?!!"
"Dam!! Adam!!" panggilku. "Nggak jadi beli satenya?!!" teriakku keras.
Adam nggak peduli, terus berlari pergi, naik ke sepeda motor lalu hilang dari pandanganku. Pulang.
"Dek, jadi beli satenya?"
Teguran itu membuatku yang berniat untuk mengejar Adam mengurungkan niatku. Giliranku sudah tiba ternyata.
"Jadi, Pak," sahutku.
"Berapa?"
"Satenya dua bungkus, Kang," jawabku.
Kang Ujang mengangguk lalu mulai membuatkan sate pesananku. Tak lama kemudian sate pesananku kelar, aku pun segera berjalan menuju sepedaku setelah membayar sate itu.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi tepat di saat aku sudah naik dan hendak mengayuh si Mamat—sepeda ontel kesayanganku. Rupanya dari ayah.
"Halo, Yah?" kataku saat tombol hijau sudah ditekan.
"Nas, satenya satu lagi ya," kata Ayah.
"Huh?"
"Menantu datang berkunjung, beliin juga ya."
"Hah? Tapi Yah, Nanas sudah mau pu.."
Tut.. Tut.. Tut..
Telpon diakhiri tanpa basa-basi.
Aku menghela napas panjang dan melirik antrean Kang Ujang yang lebih panjang dari ular Naga. Sial.
Bersama angin malam yang berhembus menertawaiku, aku turun dari sepedaku dan mengantre sate kembali selama tiga puluh menit hanya demi sebungkus sate untuk calon menantu ayah. Huft.