bab 2

1107 Kata
Hari ini, Ayana pulang ke rumah orangtuanya. Sudah dua minggu dia tidak pulang. Padahal kampus dan tempatnya bekerjak masih berada dalam satu kota. "Tumben, pulang," sindir Ciho yang sudah duluan tiba di rumah. Ayana hanya diam, matanya melirik sinis kakak ceriwisnya itu. Ia berjalan ke kamar dan merebahkan tubuhnya. Perjalanan klinik menuju rumah, cukup jauh, memakan waktu sekitar dua jam. Namun, bukan itu yang membuatnya lelah. Kabar pernikahn dr. Andres menyisakan luka di hatinya. Walau mereka sudah berpisah baik-baik, bukan berarti Ayana tidak terluka. "Kirain udah nggak ingat pulang." lanjut Ciho nenyindir sembari sibuk merangkai bunga pesanan pelanggannya. "Minggu lalu lembur, jadi nggak bisa pulang." sahut Ayana merebahkan tubuhnya di aras tempat tidur. "Kok bisa lembur?" "Teman ada yang sakit," "Owh," sahut Ciho kembali fokus pada rangkaian bunganya. "Ci, bulan depan dr. Andres menikah dengan gadis pilihan orangtuanya." ujar Ayana sedih. "Dr. Andres mau menikah? Alhamdulillaaah. Berarti kalian sudah putus?" tanya Ciho menyelidik. "Hm, puas?" tanya Ayana kesal. Ciho tersenyum kecut. "Puas sih enggak, Ay, hanya bahagia." sahut Ciho. Sebagai kakak, ia merasa bertanggung jawab dengan pergaulan Ayana. "Tapi Ay, mungkin ini saatnya kau berubah. Mau sampe kapan kau terus seperti ini?" ujar Ciho dengan raut wajah sedih. Kening Ayana berkerut, "Berubah bagaimana maksudnya? Lagi pula apa yang salah padaku sampai harus berubah?" tanya Ayana. Matanya bulat menatap Ciho. "Nggak ada yang salah sama kamu, kecuali kamu terlalu acuh dengan agamamu!... Ay, aku cuma mau mengingatkan, sisakan waktumu untuk mengaji." Ayana menghela napas, "Aku nggak sempat, Ci. Kerja sambil kuliah, sudah menguras waktuku habis," ujarnya beranjak menunju dapur. Saat berada di rumah, Ayana selalu menyempatkan diri memasak. Sebab, memasak adalah salah satu hobinya. Dikeluarkannya bahan-bahan mentah dari kulkas dan meletakkannya di atas nampan. Lalu membawanya ke depan tivi. Ia duduk bersila di samping sofa. Jemarinya lincah mengiris cabe hijau, bawang merah, bawang putih, dan beberapa bumbu dapur lainnya. Kali ini, ia akan memasak taucho udang, makanan kesukaan keluarganya. "Asik, Kak Ayana pulang, saatnya makan enak!" Teriak Lintang yang baru keluar dari kamarnya. Ayana tidak menjawab, ia fokus merajang cabe dan bawang. Sesekali matanya menatap layar kaca di depannya. Lintang tiduran di sofa sembari ikut menonton tivi acara yang di pilih Ayana. "Li, ambilkan dulu minum kakak di dapur." perintah Ayana. Lintang mengucek-ucek kepalanya sendiri, "Nggak bisa lihat orang tenang!" gumamnya sembari berjalan ke dapur. Ayana pura-pura tidak mendengar grutu adiknya itu. Sesaat kemudian Lintang kembali membawa segelas air putih. "Ini." ujarnya menyerahkan gelas. "Terima kasih, adikku sayang," ujar Ayana meraih gelas dari tangan Lintang, lalu meneguknya. Ciho ke luar dari kamar lalu duduk di samping Lintang, "Kalian tahu itu, apa?" tanya Ciho menunjuk ke atas jendela. Disana tergantung benang yang menyerupai jaring-jaring. Lintang dan Ayana bersamaan menoleh ke atas jendela. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Ciho. Lintang kembali menonton tivi, Ayana meneruskan mengiris cabe. "Kita harus buang jaring itu! Apa kalian akan membiarkan bapak berada dalam kesyirikan? Kita harus yakinkan bapak, kalau bukan jaring itu yang melindungi rumah ini dari kejahatan, tapi Allah." ujar Ciho bersemangat. "Gila! Memangnya kau berani buang jaring itu dari sana? Bapak percaya pada kekuatan di jaring itu." ujar Ayana mengingatkan. "Justru itu, makanya Kita harus buang jaring itu jauh-jauh. Kasihan bapak. Bagaimana kalau saat dia masih dalam kesyirikannya tiba-tiba bapak mati? Di dunia ini, setiap yang bernyawa pasti mati. Dan kita tidak pernah tahu kapan ajal akan menjemput." ujar Ciho panjang lebar. Lintang dan Ayana bergantian menatap jaring itu. Lalu keduanya saling pandang. "Sudahlah, Ci, jangan cari keributan! Biarin saja jaring itu disana. Lagi pula itu cuma jaring nggak mengganggu juga, kan?" ujar Ayana mengernyitkan dahi. "Memang jaring itu tidak mengganggu. Tapi keyakinan bapak yang terganggu. Kau paham nggak sih?" grutu Cihi pada Ayana. "Nggak!" jawab Ayana datar. Matanya kembali beralih pada acara di tivi. "Makanya ngaji!" grutu Ciho kesal. Ayana memajukan bibirnya satu senti. Lalu kembali sibuk mengiris bawang. Ciho gemas melihat Ayana yang tidak peduli dengan rasa khawatir di hatinya. Ia menatap Lintang seolah meminta persetujuan. "Jangan lihat aku, aku nggak berani, bisa bisa bapak marah besar kalau jaringnya itu dibuang." "Biarin aja bapak marah, yang penting jaring itu tidak di sana lagi. Kita lakukan itu karena kita sayang sama bapak!" "Kakak ajalah yang buang sendiri! Kenapa mesti ngajak-ngajak?" protes Lintang. Ciho diam, wajahnya cemberut. Buang sendiri? Bisa-bisa dia digantung sama bapak. Dia harus mencari dukungan atas tindakannya, setidaknya saat bapak marah padanya, ada yang membelanya. Tapi melihat sikap Lintang dan Ayana, Ciho menyerah. Ia tahu, yang harus dilakukannya saat ini adalah mendekati adik adiknya agar mau mengaji. Tapi bagaimana caranya? Bahkan setiap kali mereka bertemu selalu bertengkar. "Ci, ayo bantu masak, biar cepat selesai!" pinta Ayana. "Ah, Males! Kau masak saja sendiri." jawab Ciho sambil duduk santai menonton tivi. Ayana melirik sebal. Sejak dulu hingga sekarang, kakaknya itu tidak berubah. Dia tidak pernah mau terjun ke dapur untuk memasak. Dia lebih memilih kelaparan dari pada harus masak di dapur. "Dasar egois!" grutu Ayana kesal. Selesai mengiris semua bahan, Ayana membawa nampan ke dapur. Kemudian mulai menumis bumbu. Aroma khas taucho mulai tercium. Udang basah yang telah di cuci bersih, dituangkannya di dalam belanga bercampur dengan bumbu. Setelah matang, ia menghidangkannya di meja makan. Bersama tahu dan tempe goreng. Saat jam makan siang, keluarga kecil itu berkumpul di meja makan, menyantap makanan yang terhidang. Sudah menjadi tradisi keluarga ini, jika saatnya makan semua akan berkumpul bersama. Lintang terlihat sangat lahap menghabiskan nasi dan lauk di piringnya, begitu pun pak Ben dan buk Alem, meraka tampak lahap. Berbeda dengan Ciho, ia terlihat tidak tenag memakan makanannya. Kepalanya tidak bisa berhenti berpikir mencari cara agar Ayana dan Lintang mau mengaji. "Ay, bagaimana pundakmu, masih sakit?" tanya pak Ben usai makan. "Sudah berkurang, Pak. Kalau ditekan, baru terasa sakit." "Syukurlah, kalau begitu. Masih diminum obat yang di kasih dokter?" "Sudah habis, Pak. Kata dokter nggak usah diminum lagi obatnya." jawab Ayana sembari mengupas kulit udang di piringnya. Selesai makan siang, Ayana kembali merapikan meja makan dan mencuci prabotan yang kotor. Ia tidak ambil pusing dengan sikap Ciho yang tidak peduli dengan urusan dapur. Ciho meninggalkan Ayana yang sibuk membereskan dapur. Ia melanjutkan pekerjaannya merangkai bunga yang sudah setengah jadi. Mahasiswi semester delapan itu, memang hobi merangkai bunga. Bahkan, rangkaian bunga yang dibuatnya, sudah laku terjual. Saat ini pun, ia merangkai bunga pesanan pelanggannya. Usai membereskan dapur, Ayana kembali ke kamar. Ia membuka buku Haematologi. Besok, akan ada ulangan di kampus. Ciho meliriknya, "Hebat! Lagi patah hati masih sempat belajar!" ujarnya kembali fokus pada rangkaian bunganya. "Sudah lewat patah hatinya," sahut Ayana santai. "Berapa ember habis air matamu?" "Nggak ada setetes pun! Ngapain juga nagis?" sahut Ayana terus fokus menatap buku pelajarannya. Ciho, tersenyum melihat Ayana yang sok kuat, padahal jelas-jelas badannya bertambah kurus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN