Bab 9

1041 Kata
Nia meremas tangannya yang sudah berkeringat dingin. Sementara tatapan matanya mengarah tajam pada sosok pria yang duduk dengan tenang di kursinya tanpa melirik ke arahnya yang sudah menahan amarah sejak tadi pagi. Bayangkan Nia baru bisa di keluarkan dari kantor polisi ketika malam menjelang dengan alasan pemeriksaan serta mengurus berkas laporan yang di cabut. Seumur-umur ia hidup, Nia tidak pernah sekali pun masuk ke dalam kantor polisi apalagi masuk sel tahanan. Nia tentu saja kalap dan langsung menerima saja tawaran Pak Haris untuk menandatangani surat perjanjian tanpa sempat membacanya. Pikiran pengecut Nia saat itu hanyalah bagaimana caranya ia bisa keluar dari penjara dengan cepat. Nia tidak ingin menyandang status sebagai mantan narapidana dengan kasus penyuapan terhadap salah satu karyawan Sanjay Group. Nia masih gadis. Jika kasus ini sampai terdengar orang banyak, maka akan menjadi aibnya. "Apa Anda puas sudah mendapatkan keinginan Anda?" tanya Nia akhirnya buka suara. Nia terlalu malas jika terlalu menunggu lama pria di hadapannya buka suara. "Menurutmu? Apa aku akan puas setelah mendapatkanmu untuk dijadikan istri kedua?" Laki-laki itu--Bima--tersenyum miring menatap Nia yang terlihat sekali sedang menahan amarah. Bima tidak peduli. Bagi Bima yang terpenting ia sudah mendapatkan apa yang ia mau, itu saja sudah cukup. Hanya untuk sekarang. "Bapak terlihat seperti seorang lelaki hidung belang yang mengincar wanita muda segar untuk bisa dijadikan pemuas nafsu," kata Nia tajam. "Oh?" Bima tersenyum miring. Tubuhnya bangkit dari kursi dan berjalan perlahan hingga berdiri tepat di hadapan Nia. Bima menunduk menatap tepat manik mata Nia dengan mata tajamnya. "Aku bukan hanya mencari wanita untuk dijadikan istri sebagai penghangat ranjangku. Tapi juga, pengasuh untuk ketiga anakku," desis Bima menatap tajam Nia. Nia sontak terbelalak menatap tak percaya ucapan Bima. "Dasar pria tua tidak tahu diri. Kasihan sekali istri dan anak-anakmu memiliki ayah sepertimu," sentak Nia dengan wajah merah menahan marah. "Tidak masalah bagiku. Mereka tidak akan menolak atau pun marah dengan keputusanku." Bima menegakkan tubuhnya dan mundur selangkah. "Jadi, yang harus kamu lakukan adalah mempersiapkan dirimu untuk aku perkenalkan pada anak-anak dan istriku. Bersiaplah." "Bapak benar-benar gila. Pria tanpa hati sepertimu lebih baik mati." "Sangat disayangkan, Tuhan menyayangiku sampai saat ini." Bima menatap Nia dengan binar geli yang terlihat jelas dari wajahnya. "Ke berapa?" tanya Nia membuat Bima menatapnya tak mengerti. "Maksudku, aku istri yang ke berapa? Mengingat betapa mudahnya Anda bersikap seperti ini, tidak menjamin kalau aku hanyalah istri nomor urut sekian." Bima terlihat berpikir sebentar sebelum pria itu menunjuk angka dua pada Nia. Nia tentu saja tidak percaya. Pria di hadapannya sudah cukup dewasa jika di lihat dari pembawaan serta umur. Meskipun wajah tampannya bisa menutup faktor usia. Dulu, Ramon sempat bercerita tentang CEO mereka yang memang ada turunan bulenya. Sudah memiliki istri dan tiga orang anak. Saat itu Ramon menceritakan tentang CEO mereka, Nia tidak terlalu peduli. Baginya CEO Ramon bukan urusannya. Tapi, sekarang Nia menyesal mengapa dulu ia tidak mendengarkan cerita tentang CEO satu ini hingga ia bisa tahu hal-hal mengenai pria yang tengah menatapnya dengan matanya. "Ke dua, tentu saja," jawab Bima jujur. "Sekarang sudah tengah malam. Saya antar kamu pulang. Kecuali, kalau kamu mau menghabiskan malam di sini dengan saya," katanya melirik Nia tajam. "Enggak! Saya bisa pulang sendiri." "Kalau ada kendaraan, tidak masalah. Tapi, apa kamu tahu sekarang ini sudah jam berapa, hm?" tanyanya menunjuk ke arah jam dinding. Nia mengikuti arah telunjuk Bima dan bola matanya terbelalak saat melihat jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Gila saja jam tengah malam dan pria itu masih di kantor. Dasar pria! Dengkus Nia dalam hati. Nia tidak ada pilihan lain selain menerima tawaran Bima. Dengan terpaksa ia harus satu mobil dengan pria tua tidak tahu diri di sampingnya. Sesampainya di depan rumah, tanpa kata Nia langsung turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gerbang rumahnya. Tidak ia pedulikan apalah Bima sudah pergi atau belum yang terpenting saat ini adalah dirinya pergi sejauh mungkin dari pria gila itu. Sementara Bima setelah memastikan Nia sudah masuk ke dalam rumah, ia langsung pergi dari kediaman perempuan yang menjadi calon istrinya. Tiba di rumahnya, Bima langsung menuju kamar Hera di lantai dua. Bima tahu Hera pasti belum tidur mengingat lampu kamar wanita itu masih menyala. "Aku akan memperkenalkan calon istri besok padamu." Hera yang tengah membaca novelnya segera menoleh saat mendengar perkataan Bima. Wanita yang terlihat kurus dan pucat itu mencoba menarik sudut bibirnya membentuk senyum. "Syukurlah kalau begitu, Mas. Aku harap perempuan itu bisa mengurus kamu dan anak-anak." Itu adalah kalimat yang ia ucapkan dengan tulus. Meski, kalau boleh jujur hatinya cukup sakit mengetahui jika sebentar lagi akan ada madu di rumah ini. Tapi, apa pun itu, Hera harus ikhlas karena memang suratan takdirnya memang seperti itu. "Kapan kamu akan menikahinya, Mas? Apa kamu sudah menyelidiki tentang gadis itu?" "Sudah secara lengkap." Bima menjawab tenang. "Mungkin bulan depan aku akan segera menikahinya sambil menungggu surat-surat selesai." Hera tersenyum dan mengangguk. Baginya tidak ada lagi harapan untuk hidup normal. Apalagi penyakit yang menggerogotinya. Wanita itu hanya berharap jika perempuan yang akan dinikahi Bima dan yang akan menjadi ibu untuk anaknya bisa melakukan hal yang tidak pernah ia lakukan. "Mas sudah memberitahu anak-anak?" tanyanya. "Belum. Mungkin besok." "Aku harap anak-anak tidak membuat ulah besok di depan calon mama tiri mereka." "Aku harap juga begitu." Bima bangkit dari duduknya dan pamit untuk keluar kamar pada Hera. Setelah tiba di luar kamar, Bima melangkah menuju kamar yang terletak di ujung dengan cat pintu warna hitam. Kamar ini adalah kamar putra sulungnya --Argano-- yang sekarang sudah beranjak dewasa. "Papa kira kamu sudah tidur," tegur Bima setelah masuk ke dalam kamar putranya. Ditatapnya sang anak yang tengah bermain PS yang tersedia di dalam kamar. "Sibuk, Pa. Makanya belum tidur," sahut Arga tanpa mengalihkan tatapannya dari layar. Mendengar itu Bima mendengus. Bima tengah mempersiapkan diri untuk menyampaikan keinginannya pada si sulung. "Papa akan menikah lagi," ucap Bima setelah keheningan yang cukup lama. "Oh." Sahutan Arga membuat Bima mengangkat alisnya tidak percaya dengan respons datar putranya. "Kamu tidak marah?" tanyanya hati-hati. Kali ini Arga menolehkan kepalanya menatap heran pada sang papa yang terdengar tak percaya dengan perkataannya. "Untuk apa marah? Itu urusan papa sendiri. Kalau semisal aku tidak suka dan larang papa, memangnya papa bakalan turuti laranganku?" Tanpa sadar Bima menggeleng sebagai tanggapannya, membuat Arga mendengus. "Udah tahu masih tanya," gumamnya kembali melanjutkan permainannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN