Bab 7

998 Kata
Bima Sanjaya melangkah masuk ke dalam kamar Hera sambil membawa sarapan untuk wanita itu. Pria berusia 37 tahun itu menatap istrinya yang tengah duduk di tempat tidur dengan novel sebagai teman bacaannya. Pria itu berdeham guna menyadarkan Hera akan kehadirannya hingga perempuan dengan tubuh yang teramat kurus itu menoleh dan tersenyum padanya. "Selamat pagi, Mas. Maaf, aku terlalu asyik membaca buku," katanya tersenyum manis. "Tidak masalah." Bima meletakkan nampan berisi sarapan pagi di atas meja samping tempat tidur sang istri. "Sarapan untukmu," katanya datar. Melihat makanan yang di buat khusus untuknya membuat Hera tersenyum. "Mas, bagaimana dengan keinginanku? Bisa kamu menurutinya?" Bima menghela napas berat karena lagi dan lagi Hera membahas hal yang sama dengannya. Hal yang sulit untuk ia lakukan. "Kamu tahu aku tidak akan bisa melakukan itu, Hera," gumam Bima menatap tajam istrinya. "Mas." Hera memasang ekspersi melas yang membuat dirinya tampak semakin tidak berdaya di hadapan laki-laki yang berstatus sebagai suaminya. "Baiklah. Aku akan menikah sesuai dengan permintaamu. Aku harap kamu tidak akan menyesal atas permintaanmu kali ini," ujarnya tegas. Setelah itu Bima keluar dari kamar Hera meninggalkan wanita itu yang menatap sedih punggung suaminya. "Aku melakukan itu agar kamu tidak kesepian, Mas. Juga, untuk menebus dosa masalaluku," lirihnya tersenyum sendu. Sementara Bima masih memikirkan akan perempuan mana yang akan ia nikahi. Bima tidak ingin dirinya menikahi perempuan sembarangan yang tidak jelas asal-usulnya. Apalagi jika istri keduanya nanti memiliki hati yang jahat terhadap anak-anaknya. "Papa!" Bima mendongak dan menemukan bocah SD berusia sekitar 11 tahun baru saja terlihat dengan menenteng sebuah tas dan seragam sekolah yang tidak dimasukkan. "Arkello, kenapa seragam kamu berantakan seperti itu?" tegur Bima pada putra bungsunya. Seragam berantakan dan kerah yang di naikkan membuat Arkello atau kerap di sapa Kello lebih mirip dengan preman pasar dari pada bocah SD. Kello tersenyum miring menatap papanya santai. Ia melangkah berjalan menghampiri papanya dan berdiri di hadapan sang papa yang menjulang tinggi di hadapannya. "Ini silison namanya, Pa. Bagaimana? Keren 'kan?" Kello mengusap rambutnya ke atas sambil menatap papanya. Kening Bima mengerut dalam mendengar kata silison yang disebut putranya. Bima tidak tahu artinya dan ia tidak ingin bertanya. "Kello, rapikan pakaianmu atau papa enggak akan kasih kamu uang jajan." Bima menatap tajam putranya yang kini bola matanya sudah melebar menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Papa enggak seru. Main ancam segala," gerutu Kello kesal. Namun, tak urung ia tetap membalikkan badannya melangkah masuk kembali guna merapikan kembali seragam sekolahnya. Bima memijat pelipisnya memikirkan Kello yang dari hari ke hari semakin rajin membuat ulah. Bima menghembuskan napasnya sebelum akhirnya ia memilih untuk pergi ke ruang makan dan menemukan putra nomor duanya sudah sarapan lebih dahulu tanpa menunggu yang lain. "Jillo, kenapa kamu makan enggak tunggu papa, kakak, dan adikmu?" tegur Bima. Pria itu mengambil posisi duduk di kursi kepala keluarga khusus untuknya. Di tatapnya dengan serius Arjillo--Jillo-- yang tengah melahap sarapannya dengan terburu-buru. "Jillo harus jemput Cilla, Pa. Makanya Jillo buru-buru. Jillo enggak mau kalau sampai Cilla pergi duluan dan selingkuh di belakang Jillo," jawab Jillo terburu-buru. Lagi dan lagi Bima memijit pelipisnya mendengar jawaban Jillo. Anaknya baru berusia 14 tahun dan baru kelas delapan SMP. Tapi, mainnya bukan gundu atau layangan melainkan cinta-cintaan. "Jillo, berapa kali sudah papa katakan, jangan main cinta-cintaan. Kamu masih terlalu kecil buat mikirin perempuan. Belajar sana yang benar." Bima menegur keras putranya yang sejak SD sudah mengklaim anak tetangganya sebagai kekasih. "Jillo enggak main-main, Pa. Jillo serius mau jadikan Cilla istri Jillo. Jillo juga sekarang udah mulai nabung dan belajar jualan makanan sama mainan dan hasilnya buat di tabung." Jillo berkata santai. Wajah bocah itu datar dan tidak terintimidasi sama sekali dengan tatapan Bima. "Nabung? Buat apa kamu nabung?" "Buat acara nikahan dengan Cillla dan juga buat nanti jadi modal usaha setelah menikah," jawab Jillo serius. Dia tidak pernah main-main dengan hatinya dan hidupnya. Jillo sudah punya perencanaan yang matang untuk masa depannya. Termasuk memperistri Cilla. "Astaga, Jillo. Kamu masih terlalu kecil untuk memikirkan pernikahan. Kamu harusnya pikirin bagaimana caranya supaya dapat nilai yang bagus dan sekolah yang benar. Pernikahan tidak sesederhana pemikiran anak kecil seperti kalian." Napas Bima mulai memburu. Tatapan setajam elang ia layangkan pada putra nomor duanya ini. "Jillo tahu kehidupan kok, Pa. Jillo tahu semua hal buruk dan baik dalam pernikahan. Tanpa papa ajari, Jillo sudah tahu. Makanya Jillo sudah punya rencana dan tatanan kehidupan buat Jillo di masa depan," tegasnya. Setelah itu ia turun dari kursinya dan melangkah keluar begitu saja meninggalkan Bima yang kini pikirannya sudah kacau karena tingkah anak-anaknya. Sepertinya Bima harus segera mencari istri baru yang memiliki sifat tegas untuk membimbing anak-anaknya kelak. Bima selalu disibukkan dengan pekerjaannya. Hera bahkan tidak bisa mengurus anak-anak dan juga meski dulu Hera dalam keadaan sehat sangat jarang mengurusi anak-anaknya. Jadi, satu-satunya jalan adalah mencari ibu baru yang bisa mendidik mereka. Entah mengapa pikiran Bima langsung tertuju pada sosok perempuan yang membuat onar di kantornya dan juga yang pernah ia lihat di klab malam. Perempuan yang Bima ketahui bernamanya Nia. Nia terlihat tegas dan bukan tipe perempuan lemah yang bisa di tindas. Terbukti dengan dia yang berani melabrak tunangan dan sahabatnya sendiri. Sepertinya gadis itu cocok untuknya. Lagi pula jika boleh jujur, Bima juga sedikit tertarik dengan tubuh perempuan itu. "Argano, kamu ikut tawuran lagi?" Bima mendongak menatap putra sulungnya yang memiliki wajah lebam di sekitar pipi, dekat mata, dan sekitar bibir. "Biasa, Pa, kalau enggak ikut tawuran atau berantem, namanya bukan cowok sejati." Arga menyahut santai tanpa peduli dengan papanya yang akan marah mengetahui jika ia terlibat perkelahian dengan temannya lagi. "Astaga, Gano. Sudah papa bilang untuk berhenti berkelahi. Kamu masih saja berkelahi. Manfaatnya apa? Apa yang kamu dapat setelah berkelahi, hah?" seru Bima tajam. "Dapat kepuasan, Pa. Gano bahkan puas kalau lawan Gano babak belur." Arga nyengir dan tidak takut sama sekali. Gano adalah panggilan dari keluarga untuknya. Sementara Arga tentu saja merupakan nama panggilan dari kawan-kawannya serta guru di sekolah. "Argano!" Bima punya istri tapi kek gak punya istri. Anak-anak punya ibu tapi kek gak punya ibu. Intina mereka hidup ya gitu2 ae.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN