(13) Way Of Love

1876 Kata
Suara Gemuruh petir begitu kencang dengan disertai kilatan-kilatan cahaya yang sangat terang. Selma sedang berada di tempat yang akan memberangkatkannya ke Mesir esok hari. Baru saja ia di beri arahan dan petunjuk bersama 5 temannya yang dari Indonesia untuk pertukaran pelajar ke Mesir. Selama 7 jam ia dan teman-temannya di beri arahan mengenai semua peraturan disana. Di tempat yang seperti sebuah kantor ini, Selma diam berdiri menunggu hujan reda. Ia menutup matanya dan berdoa di dalam hati disaat ada kilatan petir yang bergemuruh. Ingin sekali ia pergi dari tempat ini, namun bagaimana lagi, hujan terus mengguyur daerah tersebut dengan sangat deras. "Assalamualaikum, ukhti," sapa seseorang dari arah belakang Selma. Selma berbalik dan tersenyum. "Waalaikumsalam," jawab Selma. "Nunggu hujan?" tanyanya. "Iya hujannya deres banget," kata Selma. "Mau bareng saya? Pulangnya?" tanya lelaki tersebut. Selma mengerutkan dahinya. "Afwan ukhti, bukan maksud saya," kata laki-laki itu tidak enak. "Tidak apa-apa terimakasih atas tawarannya," senyum Selma. Selma tau lelaki itu, sepertinya ia adalah salah satu temannya yang akan pergi ke Mesir juga. "Perkenalkan, nama saya Nandra." Nandra menyatukan kedua tangannya di d**a. Selma juga melakukan hal serupa. “Salam kenal Nandara, saya Selma." "Bolehkah kita jadi teman?" ucap Nandra pelan. "Tentu saja, kenapa tidak." Nandra mengajak Selma untuk pergi dari tempat tersebut. Karena hujan semakin deras. Nandra mengajak Selma menuju kantin yang ada di belakang kantor ini. Ditemani dengan dua mangkuk siomay, mereka mengobrol dan tertawa lepas. Ada fakta yang baru Selma ketahui, bahwa Nandra ini adalah seorang Guru muda yang ingin melanjutkan pendidikannya di Mesir sana. Umurnya masih lumayan muda hanya terpaut 5 tahun dari umur 19 tahun Selma. "Kak Nan, kenapa gak di lanjut di Oxford aja?" tanya Selma. Nandra tertawa atas panggilan Selma. “Jangan kak Nan dong nanti kiri," tawa mereka bersautan. Tak menjadi masalah bahwa mereka baru saja bertemu dan langsung saling akrab. "Ya panggilnya apaan dong? Pak Nan?" canda Selma. "Yah, yang Selma omongin kaya anak SMP manggil saya Pak Nan," Senyum dia. "Terus Selma panggil apa dong?” "Panggil Nandra aja." "Ga enaklah, Kak." "Yaudah deh terserah Selma saja." Nandra mempunyai wajah yang Tampan. Dengan hidung mancung, alis tebal dan bibir pink. Tak lupa dengan lesung pipi yang terlihat di saat ia tersenyum. Sungguh manis batin Selma. "Hallo, Selma kenapa?" tanya Nandra yang melambai-lambaikan tangannya di wajah Selma. "Emm enggak apa-apa, Kak." Senyum Selma. "Mau saya antarkan pulang?" Logat itu. Seperti suara seseorang yang dulu pernah hadir. Selma menggelengkan kepalanya menghalang semua pikiran tentang dia. "kayanya gak usah, Kak. Biar Selma minta jemput abang saja." "Engga apa-apa, Sel, tidak merepotkan kok." Selma melihat sekitarnya, dan hujan sedikit reda. Namun gerimis besar masih merintik. Suara petir kembali terdengar lebih jelas dipendengaran Selma. Selma menutup matanya. Mencoba untuk tidak takut dengan petir lagi. "Selma, kamu nggak apa-apa?" tanya Nandra. Ya, Nandra mempunyai kata panggilan seperti Gibran Saya-Kamu.  Namun jika dipercakapan Gibran dan dirinya, Gibran tidak pernah memakai embel-embel nama Selma untuk berbicara karena sudah sifatnya terlalu to the point. Sedangkan Nandra, dia mempunyai ciri khas sendiri di saat berbicara. Yaitu menyebut nama seseorang lawan bicaranya. Jika Gibran bisa di hitung selama hidupnya untuk memanggil nama 'Selma'. "Ng—nggak apa-apa, Kak," kata Selma yang menggeleng. Ia tak mau ketakutannya terhadap petir diketahui orang lain. "Ayo saya antarkan Selma pulang," kata Nandra terdengar lembut. Seperti tidak ada paksaan ataupun kata-kata dingin yang keluar dari mulut Nandra. Bisa dikatakan Nandra ini adalah orang yang ramah. Selma mengangguk lantas berdiri dan ingin membayar makanannya tapi di tahan oleh Nandra "Nggak usah di bayar, biar saya saja." "Tapi itu yang mak--" "Ngga apa-apa Selma, anggap saja sebagai awal pertemanan kita." Selma mengangguk lantas memberi Nandra jalan untuk menuju penjual siomay tersebut. Selma mengikuti Nandra dibelakangnya yang berjalan terlebih dahulu. Sesampai di mobil berwarna hitam, Nandra berhenti dan membuka pintu depan untuk Selma. "Silahkan masuk Selma," ucapnya sambil tersenyum. "Terimakasih, Kak." … "Assalamualaikum , Tante," sapa Gibran kepada Rinta yang membukakan pintu rumahnya. "Gibran, Waalaikumsalam, masuk-masuk," ajak Rinta yang menyuruh Gibran masuk kedalam rumahnya karena di luar rumah hujan sangat deras. Gibran mengangguk dan berjalan mengikuti Rinta menuju sofa. "Ada keperluan apa, Nak?" tanya Rinta setelah mereka duduk. "Saya mau ketemu Se—Robby, Tante," kata Gibran yang hampir saja keceplosan. "Robbynya dari siang tidur. Sana kamu samperin ke atas bangunin. Nanti tante bikinin minum nya," kata Rinta. "Saya keatas ya." Rinta mengangguk dan menyuruh Gibran untuk ke kamar Robby. Gibran berjalan pelan ke lantai atas rumah Robby. Ia hapal rumah keluarga Adam karena Gibran sudah lama bersahabtan dengan Robby, sejak mereka SMA yang pastinya sudah tahu seluk beluknya. Di saat ia melewati sebuah pintu kamar yang ia yakin itu adalah kamar Selma. Ingin sekali Gibran mengetuk pintu itu namun, kegengsiannya menutup semua niatnya. Gibran sudah sampai di depan kamar Robby dan membuka pintu kamar sahabatnya itu yang ternyata tidak di kunci. Benar, Robby sedang tidur bergelung dengan selimutnya. Gibran menutup pintu kamar Robby secara pelan, dan berjalan kearah dimana Robby tertidur. Gibran mendekatkan wajahnya ketelinga Robby. "BANJIR WOYY!!" teriak Gibran. "Aaaaa … tolong, tolong gue! Syabilla tolong gue!" Robby berdiri di atas kasurnya dan meloncat-loncat dangan keadaan mata yang melotot. Gibran sudah tertawa terbahak-bahak melihat kelakuan yang tak masuk akal dari sahabatnya itu. Mendengar ada suara tawa, Robby diam, dan berbalik kearah siapa yang tertawa. "Si setan, mampus aja lo," kata Robby yang kembali tidur. "Tolong-tolong Syabilla tolong," ledek Gibran dengan mencibik-cibikan mulutnya. "Brisik ngapain lo kesini? Kalau gue perawan, masih aja lo masuk kamar orang," kata Robby yang memperhatikan Gibran berjalan menuju rak-rak buku yang ada dikamarnya. "Sayangnya lo bukan perawan, dan udah gak perjaka," kata Gibran dengan santai. Robby melempar boneka kearah Gibran dan mengenai kepala Gibran. "Sembarangan lo ngomong kakek cangkul!" "Boneka lo?" kata Gibran yang menahan tawanya melihat boneka berwarna pink dengan pita yang tergeletak tanpa salah. "Bukanlah, itu boneka adik gue, udahlah ngapain lo kesini?" kata Robby yang berjalan kearah kamar mandi. "Pengen main aja," kata Gibran santai, yang melihat Robby keluar dari kamar mandi. "Bang, ini minumnya," panggil Rinta dari luar. Robby menghampiri ibunya dan mengambil nampan yang berisi dua gelas jus serta beberapa toples camilan. Robby pun membawa menuju meja. Robby mengambil segelas jus jambu dan berjalan kearah balkon kamarnya, lalu diikuti oleh Gibran. Gibran berdiri sambil bersandar di tepi pagar kamar Robby, rintik hujan masih membasahi bumi. Robby duduk di sofa balkon kamarnya sambil mengeluarkan sebatang rokok. "Lo ngerokok?" tanya Gibran. Robby memberikan bungus rokoknya kearah Gibran, namun di tolak Gibran. "Kalau lagi banyak Pikiran aja," kata Robby. Mereka terlalut dalam obrolan. Obrolan mereka berhenti di saat ada deru mobil yang berhenti di depan pagar rumah Robby. Robby dan Gibran sedang sama-sama memperhatikan siapa yang keluar dari mobil hitam itu. Selma dan seorang lelaki yang terlarut dalam tawa, lalu berakhir Selma melambaikan tangan kepada lelaki yang sudah masuk kedalam mobil. Selma menepi dan menunggu mobil itu berjalan. Setelah mobil melesat pergi, Selma masuk kedalam pagar rumahnya dengan senyum berseri diwajahnya. Tanpa disadari, Robby memperhatikan gerak-gerik Gibran yang meremas kuat gelas yang ada digenggamannya. "Masih ada celah untuk mengambil hati Selma, Bran. Sebelum Selma melupakan lo sepenuhnya." "Apa gue bisa?" tanyanya dengan dingin. Robby menganggukan kepalanya. "Bisa. Gue percaya sama lo. Tapi, kalau lo nyakitin hati Selma lagi, jangan harap lo balikan sama dia," kata Robby penuh dengan penekanan. Gibran diam. Setelah mendengar ucapan Robby, membuatnya berpikir dua kali. Apakah Dia bisa menjalankan semua amanah ini? Apakah Ia bisa memperlakukan Selma dengan baik? Apakah Ia bisa membuat Selma bahagia dengan perlakuannya? Ataukah Selma sudah lupa dengan Gibran?.Pertanyaan itu terus melayang-layang dipikirannya. "Udah, kasian gelasnya," ucap Robby dengan arah mata yang terarah menuju gelas yang tak berdosa diremas kuat oleh Gibran. Gibran sadar atas kelakuannya, Ia menaruh gelasnya di meja samping dan duduk bersama Robby. "Kenapa lo pengen balikan sama dia?" tanya Robby. Gibran tersenyum kecil. "Entah. Gue gatau," jawabnya dengan enteng. "Gue jadi ragu, buat ngasihin Selma sama lo." "Kenapa?" "Dari omongan lo, gue udah tau, kalau lo cuma main-main sama Selma." "Gue udah dewasa, Rob. Jadi, untuk apa gue main-main." "Lo siap terima datangnya Selma dikehidupan lo?" "Kalau dia siap kenapa enggak? Bahkan gue siap buat ke KUA besok." Tantang Gibran. Robby tersenyum kecut. "Harapan lo yang ini mungkin gabakal terkabul." Gibran terheran dengan omongan yang dikatakan oleh Robby. Apa maksud omongan itu? Gibran siap jika memang besok Ia akan membawa Selma menuju Penghulu dan berikrar di depan Adam dan Allah, jika memang itu bisa menggantikan kata maaf untuk kesalahannya dan itu pun bisa menjadi ajang Gibran untuk memiliki Selma seutuhnya. Namun, mendengar kata-kata Robby membuat semangatnya menurun. "Memang ken--" ucapan Gibran terhenti di saat Robby bangkit dari kursinya, dan menaruh Gitar di sisi sofa. "Gue mau ke bawah dulu bentar," ucap Robby dan berlalu dihadapan Gibran. Gibran mengambil Gitar yang tadi di simpan oleh Robby dan memetiknya dengan nada-nada yang sangat mengalun indah dipendengarannya. Tanpa menggunakan Nyanyian, Gibran terus memetik Gitar yang ada dipangkuannya.   "Bang Rob …" Selma datang dengan membawa-bawa Boneka pink dipelukannya. Senyum cerah yang memanggil kakaknya, kini berganti dengan wajah sendu. Mimik muka yang ditunjukan Selma untuk Gibran menjadi rasa sakit tersendiri di hati Gibran. "Oh, maaf," cicit Selma dan berbalik menuju pintu balkon. Namun suara dingin itu mengintruksi Selma untuk diam. "Selma,” panggil Gibran. Selma menutup matanya rapat-rapat. Baru kali ini Ia mendengar panggilan lembut dari Gibran menyebut namanya tanpa paksaan. Selma tidak mau kekuatan yang Ia jaga harus runtuh. Selma meremas Boneka yang ada dipelukannya. Niatnya menuju kamar Robby karena mendengar suara gitar yang sangat syahdu di dengar, dan juga Ia ingin bercerita tentang bertemu orang baru yang sangat asyik menurutnya. Namun Ia malah bertemu dengan seseorang yang harusnya ia hindari. "Kenapa kamu pergi saat bertemu saya?" Pertanyaan yang baku kembali lagi Selma dengar. "Kamu sudah lupa dengan saya?" "Bagaimana keadaan kamu sekarang?" "Kenapa kamu menghindar?" Ingin sekali Selma menjawab pertanyaan terakhir yang dilontarkan oleh Gibran. Namun niatnya kembali Ia urungkan. Gibran menghadap punggung Selma yang berdiam di pintu. "Saya ingin berbicara dengan kamu," ucap Gibran seperti permohonan. Gibran melangkah lebih dekat kearah Selma berdiri. "Saya sudah menyesal atas perbuatan yang saya lakukan ke kamu, Sel." "Saya sadar atas semua perilaku saya. Terhadap wanita itu." Selma berpikir, mana Gibran yang dingin? Mana Gibran yang tidak peka? Mana Gibran yang nyebelin? Kini nama Gibran sudah berganti menjadi orang yang mengejar-ngejarnya. "Sudah sadar atas perilaku yang sudah anda buat kepada saya?" tanya Selma yang berbalik kearah Gibran. "Saya butuh berbicara dengan kamu." Selma mengeluarkan senyum termanisnya. "Maaf, waktu saya berharga untuk berbicara masalah yang tidak penting!" "Tapi Saya ingin …." "Apa yang anda inginkan?" tanya Selma, tak lupa dengan senyumannya. "Beri saya waktu untuk berbicara dengan kamu, “ mohon Gibran. Selma melirik jam yang ada dipergelangan tangannya. "3 menit." Selma berjalan kearah sofa balkon berada, Ia duduk dan memeluk bonekanya. Gibran ingin duduk, namun di tahan oleh Selma. "Tapi …." "Waktu berjalan," kata Selma cuek. Gibran mengangguk Ia memulai permintaan maafnya pada Selma. Di susul pengakuan atas penyesalannya. Selma tidak ingin memotong ucapan Gibran, Ia terus saja mendengarkan kata apa saja yang keluar dari bibir Gibran. "Saya sanggup jika besok saya harus berakad di depan penghulu, om Adam dan Allah. Saya sanggup Sel, jika itu syaratmu untuk memaafkanku." Kalimat formalnya sudah tak ada lagi di ujung ucapan Gibran. Selma teringat bahwa esok Ia sudah tak ada lagi diIndonesia, dan mungkin bisa terhitung jam, berapa lama lagi waktu yang harus Ia habiskan untuk diIndonesia dan akan kembali lagi dengan jangka waktu yang tak lama. Setelah mengeluarkan ucapan itu Gibran diam. Ia menunggu reaksi yang dikeluarkan oleh Selma. "Apakah anda seserius itu ingin mempersunting saya?" tanya Selma. Bukan berarti Selma kegeeran, tatapi Ia hanya ingin menguji saja bagaimana keseriusan seorang Gibran Abraham. "Aku serius. Aku ingin kamu jadi milikku. " Selma tersenyum kecil, tak habis pikir dirinya dengan Gibran yang menggombal seperti ini. "Saya tidak bisa. Jika anda ingin berakad esok hari dengan saya," kata Selma memelan. "Kenapa? Apa aku telat?" "Bukan, K—ak. Tapi jarak yang harus memisahkan kita.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN