(11) Way Of Love

1541 Kata
Segala kehendak manusia hanya Allah yang mengatur, dan hanya Allah yang tau segalanya. Hidup di dunia ini pun Allah yang menentukan dan Allah yang mengakhiri. Kita sebagai ciptaannya yang lemah, harus patut bersyukur bisa merasakan pahit manis hidup di dunia ini. Walaupun kita tak tau apa yang akan terjadi kedepannya. Mungkin Allah menguji seluruh umat-Nya untuk tetap ingat kepada-Nya, dengan menegur kita dalam berbagai hal yang Allah kehendak. Kita hidup di dunia ini hanya sebatas jengkal, entah kita menang dalam permainan di dunia ini ataukah kita gugur dan akan mendapatkan balasan-Nya di akhirat. Jalan manusia pastilah berbeda-beda. Allah akan memberi keistimewaan dalam kehidupan umat-Nya. Berbagai cobaan, rintangan, kesenangan, Allah beri kepada seluruh umat-Nya dengan cara apapun itu. Lalu kini Selma semakin percaya, bahwa Allah tengah mengujinya kekuatan hatinya. Apakah ia sanggup atau tidak menghadapi ujian-Nya. Tapi ia tetap berserah diri kepada Allah karena ia berpikir bahwa semuanya akan kembali kepada yang maha kuasa. Dua hari lagi kepergiannya menuju Mesir akan diberangkatkan. Semakin hari ia telah lupa kepada seseorang yang telah menyakitinya. "Bang, mainin laptop terus," kata Selma dan duduk di sebelah Robby dengan membawa segelas jus ditangannya. "Lagi ngerjain tugas,” ucap Robby tanpa mengalihkan pengelihatannya. Selma mengangguk lalu menyeruput jusnya. Robby melihat kearah Selma yang tengah meminum jus dengan mata yang terus melihat kearah TV.  "Ya ampun, lo bikin jus cuma buat lo doang gitu? Lo enggak inget sama gue?” ucap Robby yang terlalu lebay. "Hehehehe … kamu minta sana, Bunda lagi di dapur,” balas Selma. Robby menggelengkan kepalanya. “Punya adek kaga ada peka-pekanya.” "Mana ada aku ga peka? Dianya aja kali gak peka.” Robby ingin menyemburkan tawanya, namun ia tahan."Pftt … lo curhat atau gimana nih? Dia siapa yang enggak peka? Sini biar gue bilangin sama orangnya. Hahaha … “ dan akhirnya tawa Robby pun keluar. "Bang Robby … nyebelin!" kesal Selma yang langsung menyimpan gelas diatas meja dengan tidak santai. Tak lama Rinta datang membawa 1 gelas jus serupa dengan Selma. "Kenapa sih, Dek? Kok teriak-teriak?" tanya Rinta yang menaruh gelas dihadapan Robby dan langsung di munum. "Abang tuh nyebelin." Selma melipat tangannya di d**a, dan duduk menjauh dari Robby. "Robby! Jangan ganggu adiknya terus," tegur Rinta. Robby Yang di tegur malah cengengesan. "Minta maaf!" Suruh Rinta. "Ya Allah, Bun. Robby bercanda.” "Minta maaf gak bikin kita lemah, Bang. Cepetan minta maaf.” Rinta menggeleng kepalanya, ia seperti sedang mengurusi anak umur lima tahun. Padahal anak-anaknya itu sudah sangat-sangat dewasa. Robby bergeser kearah adiknya. Rinta sudah berlalu menuju dapur. "Dek, maafin Abang ya?” kata Robby. Selma enggan menengokkan wajahnya kearah Robby. “Dek,” panggil Robby. "Mau ikut gak?" tanya Robby. Hati Selma sedikit goyah atas penawaran Robby. "Bener nih gak ikut?" mata Selma melirik sedikit-sedikit kearah Robby. "Oke kalau gak mau ikut." Robby kembali ketempatnya dan membereskan semua peralatan belajarnya tadi. "Bener nih? Gue mau ke Time Zo__" "SELMA IKUT!!" katanya dan langsung berdiri dihadapan Robby. "Hahaha … diboongin mau aja lo." Robby berlalu dihadapan Selma dan menaiki tangga. Mata Selma hampir keluar. “Bang Robby!” teriaknya kesal. Moodnya sudah hancur. Ia membulak-balikan chanel-chanel TV tanpa arah. Tak lama terdengar suara langkah ditelinganya. Robby turun dari tangga sambil menggunakan jaket. "Ayo cepet kita cus,” ucap Robby. Selma mengangkat bahunya. "Bener, ini udah pake jaket loh." Sedikit-sedikit ia menengok kearah Robby dan senyum cerah muncul diwajahnya. Selma langsung bangkit dari sofa dan berjalan kearah Robby. "Bener? Enggak ngebohongkan? Aku capek loh dibohongin terus,” ucap Selma dengan lesu. Hari ini ia benar-benar ingin mencuci otaknya dengan cara jalan-alan. "Enggak bohong Adek manis … ayo buru.” "Izin Bunda?" "Iyalah, " kata Robby. "Bunda … Selma sama Bang Robby mau keluar ya," kata Selma yang kebetulan Rinta keluar dari dapur. "Pulangnya jangan terlalu malem! Robby jagain adiknya!" perintah Rinta seperti memberitahu bocah sekolah dasar. "Iya, Bunda ….” Mereka berjalan kearah Rinta dan mencium tangan sang Bunda, tak ,upa mereka memberi salam dan keluar dari rumah. Setelah masuk kedalam mobil Robby, mereka pun mulai keluar perkarangan Rumahnya. Suasana malam hari di komplek perumahan begitu ramai di tambah ini adalah malam sabtu, banyak anak muda yang nongkrong di taman komplek atau pun di pinggir-pinggir jalan. Mobil Robby menyatu dengan kepadatan di jalan raya. Lampu-lampu jalan yang berjejeran mempercantik jalan yang dilewati mereka. "Bang, aku lupa bawa dompet. Hehehe …." "Udah gak aneh,” kata Robby. "Dapet pahala loh, Bang. Apalagi kamu nyenengin adiknya. Kalau nanti Abang pasti kangen sama aku,” kata Selma dengan suara yang di buat imut-imut, bikin Robby bergidik amit-amit. "Iii gausa lebay lo, geli gue." Hanya itu respon Robby yang membuat Selma tertawa. Di tengah menyetir mobil, Robby melirik kearah Selma yang sedang tertawa. Pasti ia sangat rindu dengan semua kejenakaan adiknya itu. Dua hari lagi yang harus ia habiskan bersama Selma selagi ia masih berada di Indonesia. Mungkin ia kembali merasakannya saat 3 atau 4 tahun kemudian. Tak lama mereka telah sampai di tempat parkir Mall yang akan mereka jadikan untuk tempat bermain. Selma dan Robby turun dari mobil. Lalu berjalan kearah lift. Kurang lebih 20 menit mereka berkeliling di lantai 2 tanpa tujuan arah. "Ngapain sih, kita keliling-keliling, Dek?” kata Robby yang sudah lelah mengikuti Selma. "Selma juga gatau, heheh ….” "Kirain gue, lo mau beli sesuatu. Yaudah mending kita langsung main aja,” usul Robby yang diangguki oleh Selma. Mereka kembali berjalan untuk bisa sampai ditujuan mereka. "Eh-eh bentar deh, Bang.” Kata Selma yang menghentikan Robby. "Apaan?" tanya Robby. "Enggak usah main deh, mending kita makan aja. Laper nih ….” Kalau soal makanan, Robby mengalah dengan Selma. "Hemm … ayo deh, lo yang cari tempatnya.” Selma melangkahkan kakinya dan berjalan duluan. Ia berjalan di stand-stand yang banyak menyediakan makanan. Ia berhenti di depan restoran jepang. Tanpa persentujuan Robby, Selma masuk kedalam tempat tersebut. "Sini, Bang. Masuk cepetan jangan sungkan-sungkan.” Dengan malas Robby duduk dihadapan adiknya. Mereka memesan makanan dengan porsi yang terbilang cukup banyak. Robby yang mengetahui itu hanya geleng kepala melihat adiknya yang maniak terhadap makanan. "Kenapa diem? Kerasukan lo?” tanya Selma. "Iye, kerasukan jin iprit!” ucap Robby dan tawa Selma pun keluar, karena lucu melihat wajah Robby yang sepertinya badmood. Tak lama makanan pun datang. Tidak ingin menunggu-nunggu karena nunggu itu lama, Selma langsung melahap makanannya dengan santai. "Tenang, Dek. Kalau abis tinggal pesen. Sekalian dapurnya kita pindahin ke rumah.” "Bener ya, Bang. Janji loh mau bawa dapurnya ke rumah.” Makanan sudah berpindah keperut Robby dan Selma. "Alhamdulilah … aku kenyang banget, Bang.” "Suruh siapa pesen kok gak kira-kira.” "Bentar, Bang. Baru juga beres makan.” Robby memainkan ponselnya. Tanpa memperdulikan Selma yang tengah celingukan sendiri. "Ayo deh kita pulang. Eh … apa kita main dulu ya?” "Nggak, kita balik aja.” "Bang … main dulu bentarlah …” bujuk Selma. "Hemm." Selma tersenyum senang, dan berjalan mendahului kakaknya yang sedang berjalan menuju kasir. Setelah itu mereka berjalan santai menuju tempat-tempat yang diinginkan Selma. Robby melihat ada yang tidak beres dengan adiknya. Selma terbengong kearah depan dimana ia melihat Gibran bersama Nafasya keluar dari toko. Ternyata Gibran dan Nafasya pun sedang melihat objek yang sangat di benci oleh Gibran. Yaitu melihat Lisa bersama seseorang yang pernah Gibran lihat lewat ponsel Robby. Gibran bertindak ia berjalan dengan menenteng paperbag kearah Lisa dan diikuti oleh Nafasya dengan berlari kecil dibelakangnya. Lisa yang tengah mengobrol bersama laki-laki itu pun terkejut melihat Gibran datang menghampirinya. "Jadi ini kelakuan kamu?" tanya Gibran dingin. Nafasya sudah was-was takut dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Selma dan Robby diam meminggir dan menyaksikan dari jauh drama yang akan mereka mulai. Sebenarnya Selma sudah muak dengan semua ini, namun bagaimana lagi, Robby menahannya untuk pergi. "Please, Dek. Kamu harus liat semuanya," kata Robby yang menatap Selma. Selma tersenyum jahat, drama yang sangat-sangat murahan menurutnya. “Sakit, Bang,” kata Selma. Robby mengerti apa yang dirasakan oleh Selma, namun ini untuk memperjelas semuanya agar tidak ada kesalahfahaman lagi do hubungan mereka. "Anda siapa?" tanya lelaki yang cukup berumur tengah menggandeng Lisa. "Tanyakan pada kekasih anda!" kata Gibran dengan menatap kecut kearah Lisa. "Kekasih? Dia istri saya!" ucap lelaki itu. Hati Gibran bagai di sambar petir. Setelah mengetahui yang sebenarnya. Lisa yang hanya menunduk, ia takut melihat wajah Gibran penuh dengan amarah. Nafasya memegang punggung Gibran. Gibran berbalik kearah adiknya itu. Nafasya mengangguk memberi kode kepada kakaknya untuk mengikhlaskan semua. "Ini istri anda? Saya tidak menyangka ya? saya kira wanita itu pelacur.” Lelaki itu tersulut emosi melihat kelakuan Gibran kepada Lisa. "Jaga bicara anda. Dia memang istri saya." "Kamu benar Lisa?" tanya Gibran melemah. Sambil menunduk Lisa mengangguk. "Saya kira kamu berubah." senyum jahat Gibran muncul. "Maafkan aku, Gibran.” "Perlu saya kasihani?" tanya Gibran. Amarah Gibran mungkin sudah meledak jika ia tidak menahannya. Ia cukup sadar bahwa ini adalah tempat umum. "Tolong jaga istri anda, agar tidak mengusik kehidupan orang!" kata Gibran penuh dengan penekanan lalu ia berjalan meninggalkan mereka. Nafasya menyeimbangi jalannya dengan kakaknya itu. Ia mengerti perasaan kakaknya sekarang. "Gibran!" teriak Lisa yang melihat Gibran pergi begitu saja …. "Please, Bang …" mohon Selma dengan mata yang sudah memerah. Argumen yang dilakukan Gibran belum selesai. Ia sudah tak ingin melihat semuanya lagi. Ia takut kejadian yang sudah ia pendam kembali lagi. Tau kejadiannya seperti ini, tak ingin Selma pergi keluar rumah. Robby melihat Selma yang sudah tak karuan. Padahal ia ingin melihat bagaimana kelanjutannya, tetapi melihat keadaan Selma seperti itu membuat ia berpikir dua kali. "Bang," lirih Selma. Robby mengangguk, ia menggenggam tangan Selma yang sudah berkeringat dingin. Berjalan menuju tempat parkir berada. Setelah sampai di tempat parkir. Selma tidak cepat-cepat masuk kedalam mobil,  ia bersandar di pinggir pintu mobil Robby. Tak terlintas dibenaknya akan ada kejadian seperti ini. Sungguh di luar dugaan. ….   "Kak, turunkan emosimu, dulu," nasihat Nafasya yang melihat napas Gibran memburu di dalam mobil. Gibran seperti mengenali objek yang ada dihadapannya yang tengah bersandar di pintu mobil. Nafasya memperhatikan juga apa yang di lihat oleh kakaknya itu. "Temui dia, Kak. Selagi ada waktu,” kata Nafasya. Gibran mengangguk berjalan keluar mobil dan memanggil perempuan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN