Menerima sebuah kenyataan yang pahit tidaklah mudah. Kebersamaan Gibran dan Selma yang sudah mereka bangun sejak lama, harus menerima kehancuran karena kejadian ini. Selma sudah menyadarkan dirinya, tidak ada hubungan lebih antara dirinya dengan Gibran. Namun jika memang seperti itu, apa arti kepedulian Gibran selama ini?
Selepas melihat kejadian beberapa jam lalu, Selma merasa tak memiliki selera untuk berbuat apapun. Ia hanya bisa diam didalam kamarnya. Hari sudah menunjukan pukul lima sore, lebih baik Selma pulang ke rumah menggunakan taksi, taka pa walaupun perjalanan jauh.
Selma membenarkan jilbab hijau yang ia kenakan, mengambil tas kecil yang berisi ponsel dan dompet, lalu ia pun turun kebawah untuk pulang.
Di ruang tamu, ternyata ada Nafasya yang tengah membaca buku sendiri. Nafasya yang tersadar dengan keberadaan Selma, ia langsung menutup bukunya.
“Selma? Kamu mau kemana sore-sore seperti ini?” tanya Nafasya.
Selma dengan senyum manisnya, menjawab pertanyaan Nafasya. “Aku mau pulang, Na. Ada yang harus aku urusi.”
“Ini sudah sore. Tapi, sebentar biar aku telpon Kak Gibran,” katanya yang langsung membuka ponselnya.
“Eh enggak perlu, aku bisa naik taksi. Di depan sering ada taksi lewat kok,” kata Selma yang menolak, saat ini ia tidak ingin bertemu dengan Gibran.
“Kak? Kamu dimana?” tidak mendengarkan ucapan Selma, Nafasya malah berbicara dengan Gibran yang berada di ujung telpon.
“Aduh, kamu kenapa harus sama dia sih? Kalau umi abi tanya, aku harus jawab apa?” kata Nafasya dengan nada gusar.
“Selma mau pulang, ini udah sore, kamu kenapa harus pergi-pergi bareng dia sih? Halo? Kak Gibran?”
“Yah, malah dimatiin,” kesal Nafasya.
Selma tersenyum getir kearah Nafasya. “Aku pulang sendiri saja, salam umi abi,” kata Selma yang langsung meninggalkan rumah.
Nafasya merasa tidak ada yang beres dengan gelagat Selma, tidak biasanya Selma pulang secepat ini, dan lagi pun ini sudah petang. Jalanan dari sini menuju rumah Selma sangatlah jauh dan terlihat seram.
Nafasya pun mengantarkan Selma sampai naik taksi, karena supirnya mengantarkan Umi dan Abi yang belum juga pulang.
“Hati-hati, Sel. Sampai rumah hubungi aku atau umi,” kata Nafasya.
Selma mengangguk pelan. “Assalamualaikum, Na. hati-hati di rumah.”
“Waalaikumsalam, iya Selma.”
Taksi pun melaju untuk mengantarkan Selma pulang. Selma menengokkan kepalanya kearah belakang, masih ada Nafasya yang memperhatikannya, seketika air matanya turun begitu saja. Rasa sesak yang ia rasakan sejak siang, akhirnya menetes dengan deras.
Bayangan tentang Gibran dan perempuan itu terus melintas dipikirannya. Untuk apa kebersamaan mereka selama ini? Untuk apa Gibran peduli kepadanya? Untuk apa Gibran selalu ada? Mengapa Gibran menanggapi kehadiran wanita itu? Masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dikepalanya.
“Mbak, baik-baik saja?” tanya supir taksi yang melihat Selma menangis.
Selma tersenyum dan mengangguk. Supir taksi itu pun memberi satu kotak tisu kearah Selma dan Selma terima dengan baik.
…
Malam hari, di Islamic national center hujan kembali turun dengan sangat deras, disertai petir yang bersahutan. Nafasya dan Fatma tengah duduk di ruang tamu sambil mengobrol.
“Selma belum mengabari aku, sekarang sudah jam sepuluh malam,” kata Nafasya yang gusar.
“Tidak biasanya Selma pulang. Memangnya Gibran kemana?” tanya Fatma yang baru saja pulang ke rumah.
“Emm … Umi,” Nafasya gelagapan tidak tahu harus menjawab apa.
Fatma yakin, Nafasya pasti menyembunyikan sesuatu darinya. “Kenapa? Hari ini Gibran libur kerjakan?”
“Kak Gibran, pergi dengan Lisa,” ucap Nafasya yang mengecil diakhir kalimat.
“Lisa? Teman kantornya atau?”
“Kak Lisa, Umi,” ulang Nafasya yang membuat Fatma terkejut.
“Astagfirullah, buat apa mereka bertemu kembali. Umi tau tujuan Lisa itu untuk apa, makanya Umi tidak menyetujui hubungan Gibran dengan Lisa. Ya Allah …”
Fatma menggeleng tidak percaya dengan perbuatan Gibran, dan sudah malam pun, Gibran belum kembali juga.
“Aku mau telpon tante Rinta. Perasaanku tidak enak dengan Selma, Umi.”
Fatma mengangguk. “Tanya Rinta, apa Selma sudah berada di rumah.”
Nafasya pun mengangguk dan mulai menelpon.
Dari arah pintu, Gibran datang membawa jaketnya dan mengacak-acak rambutnya yang basah karena kehujanan.
“Assalamualaikum, Umi,” salam Gibran sambil mencium tangan Fatma.
Fatma mengangguk. “Waalaikumsalam.”
“Umi, Selma belum pulang,” kata Nafasya dengan nada khawatir.
“Jam segini belum pulang? Padahal seharusnya jam tujuh dia sudah sampai di rumah,” ucap Fatma yang juga khawatir.
Gibran yang tidak tau apa-apa hanya diam melihat kedua wanitanya berwajah khawatir.
“Kamu habis dari mana?” tanya Fatma.
“Ada perlu dengan Putra,” ucapnya dengan santai lalu duduk di depan Fatma.
“Tidak perlu berbohong dengan Umi,” kata Fatma yang menatap serius kearah Gibran.
Gibran melirik kearah Nafasya yang tengah memainkan ponselnya. “Kamu tidak bisa menjawab? Umi anggap kamu berbohong.”
“Kamu bertemu dengan Lisa?” tanya Fatma kembali dan Gibran hanya bisa diam.
“Umi tidak merestui kedekatan kalian, karena Umi mau yang terbaik buat kamu. Buktinya sekarang kamu lihat, kamu dekat lagi dengan dia, kamu sudah berani berbohong dengan Umi. Bagaimana nanti, Nak.”
“Maaf, Umi,” hanya itu yang bisa ia keluarkan dari dalam mulutnya.
“Umi tidak perlu lagi mengajarkan kamu seperti anak kecil. Umi yakin, kamu tau mana yang baik dan mana yang salah. Selma pulang dan belum sampai, Umi tau bagaimana perasaan kamu kepada Selma, dan sebaliknya. Selma pulang dengan tiba-tiba mungkin dia tidak tahan dengan sikap kamu yang plin plan.”
“Umi, Gibran tidak bermaksud membohongi Umi.”
“Umi cukup kecewa dengan sikap kamu. Tanpa kamu sadari kamu sudah menyakiti hati seseorang. Umi istirahat duluan,” ucap Rinta yang langsung pergi dari sana. Rinta yakin Selma pergi karena sudah tau kedekatan Gibran dengan Lisa.
Gibran menatap lesu punggung Fatma yang menghilang dibalik pintu kamar. Ada rasa sedikit kecewa dihatinya karena ulahnya sendiri.
Nafasya yang masih mencoba menghubungi Selma, merasa diperhatikan oleh seseorang. Nafasya yang tahu sedang diperhatikan oleh Gibran langsung menengokkan kepalanya.
“Ya Allah, Kak … kenapa bisa gini,” ucap Nafasya yang cukup jengah dengan Gibran.
“Kamu memberitahu umi?” tanya Gibran.
“Iya, aku gamau mempersulit masalah yang ada. Kalau aku ikut berbohong masalah akan semakin rumit.”
“Selma pergi karena sudah melihat Kak Gibran yang sebenarnya. Mau Kak Gibran seperti apa? Dulu kamu terus berusaha untuk dekat dengan Selma dan kamu juga yang berusaha merubah diri Selma. Tapi kenapa, ketika datang masalalu kamu, dengan gampangnya kamu menerima itu semua kembali. Kakak taukan? Hubungan kalian dari dulu sudah tidak direstui.”
“Jangan sampai Kak Gibran mengambil jalan yang salah.”
“Harus bagaimana, Na?” tanya Gibran. Dirinya pun tak tau harus bagaimana. Namun pikirannya saat ini dipenuhi oleh Selma yang juga belum pulang kerumah.
“Aku pun bingung bagaimana harus memberitahu Kak Gibran.”
Tak ingin basa-basi karena pikirannya dipenuhi oleh Selma, Gibran bangun dari duduknya dan berlari keluar rumah. “Aku cari Selma,” ucap Gibran dengan sedikit berteriak kearah Nafasya yang membuat hati Nafasya sedikit lega.
“Kak Gibran … bikin hati orang pusing aja, mau kamu bagaimana sih?” gumam Nafasya.
…
Gibran melajukan mobilnya penuh dengan kecepatan, menelusuri jalan yang pastinya dilalui oleh Selma untuk bisa sampai dirumahnya. Hujan masih setia turun dengan sangat deras, dan petir pun masih bersahutan.
Sudah lebih satu jam, Gibran memacu mobilnya namun tidak menemukan tanda-tanda Selma berada, ponsel Selma pun mati tidak bisa dihubungi.
Gibran butuh waktu untuk memulihkan pikirannya, mencoba mengingat tempat yang sering Selma kunjungi. Ia menepikan mobilnya, mencengkram ponsel yang ada digenggamannya.
“Selma … kamu kemana?” gumam Gibran dengan nada frustasi.
Seketika sebuah tempat muncul dipikirannya, tanpa ragu Gibran memutar balik arah mobilnya untuk bisa sampai ditempat itu. Hujan besar dan jalanan yang cukup licin sudah tidak ia hiraukan, untung saja jalanan saat ini sepi pengendara.
Hanya butuh waktu 15 menit untuk bisa sampai di tempat ini, sebuah bangunan yang besar dan menjulang tinggi di tengah kota, yakni perusahaan Adam, ayah dari Selma.
Gibran memarkirkan mobilnya di depan pos penjaga. Seorang satpam menghampiri dirinya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Gibran?” tanyanya.
“Melihat Selma?’ tanyannya dengan tergesa-gesa.
Tanpa ragu bapak itu pun emngangguk. “Non Selma ada sejak pukul enam, Pak.” Gibran mengangguk dan tersenyum, lalu lari masuk kedalam gedung tersebut.
Hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang di sini, Gibran langsung masuk kedalam lift untuk bisa sampai di rooftop perusahaan ini.
Gibran melihat jam tangan yang ada dipergelangannya. Jam sudah menunjukan pukul 23.30, sudah larut malam seperti ini, ia belum juga menemukan keberadaan Selma.
Dentingan lift berbunyi, dan pintu pun terbuka. Tak menghiraukan suasana gedung yang sangat sepi menakutkan seperti ini, Gibran berlari kearah tangga untuk bisa sampai di atas gedung ini.
Gibran pun membuka pintu untuk bisa sampai di sana, terpaan angin yang besar menyambut dirinya. Dirinya sedikit lega ketika melihat punggung seorang wanita yang tengah mematung sendiri di sini, ia sangat yakin jika itu adalah Selma.
Gibran berjalan dengan cepat untuk bisa menghampiri Selma, hujan mulai mereda, namun kilatan petir masih sedikit terdengar. Ketika dirinya berada di belakang Selma, Gibran membuka jaketnya, dan menyampirkan jaket tebal itu ke bahu Selma.
Selma membalikkan tubuhnya karena terkejut. “K—kak Gibran, ngapain ke sini?” katanya dengan suara bergemetar.
“Sudah berapa lama kamu di sini?” tanya Gibran dengan ekspresi wajah yang menahan marah.
Selma terdiam dan menggeleng pelan. Gibran sangat miris melihat keadaan Selma seperti ini, dengan wajah yang putih pucat, baju yang sudah basah kuyup dan mata yang sayu.
“Kita pulang,” kata Gibran sambil memegang bahu Selma.
Selma menjauhkan dirinya dari Gibran, ia pun melepaskan jaket yang diberikan oleh Gibran. Dengan mata sayu yang sudah menghitam, ia pun berucap, “Kak Gibran gak perlu cari aku sampai segitunya, aku tidak apa-apa.”
“Umi, Nafasya, Bunda khawatir mencari kamu.”
Selma tersenyum getir. “Aku masih punya kaki untuk bisa pulang ke rumah.”
Gibran sudah tak yakin dengan kondisi Selma yang semakin buruk. Kemungkinan besar Selma berdiri di sini hampir lima jam dengan kondisi badan yang di terpa hujan dan angin.
Selma kembali berjalan mundur dengan sempoyongan di saat Gibran mencoba menghampiri dirinya.
“Untuk apa Kak Gibran bersikap seperti ini denganku? Apa aku hanya mainan di saat Kak Gibran merasa sepi? Apa arti kedekatan kita selama ini, Kak? Dan sekarang, untuk apa Kak Gibran kembali bersikap seolah-olah peduli denganku?” ucap Selma dengan menggebu-gebu.
Hati Gibran sedikit teriris mendengar pertanyaan-pertanyaan Selma. “Lebih baik sekarang kamu pulang, aku bisa pulang sendiri,” kata Selma, ia pun berbalik memunggungi Gibran.
Air matanya yang tidak bisa ia tahan luruh begitu saja. Lebih baik ia menatap pemandangan kota yang dihiasi oleh lampu-lampu yang cantik, dari pada harus melihat Gibran.
Tak pantang mundur, Gibran kembali menyimpan jaketnya di bahu Selma dan membantu Selma untuk bisa pakai jaket itu. “Tanpa penolakan,” ucapnya.
Sambil membantu Selma memakai jaket, Gibran pun berkata. “Kenapa kamu tiba-tiba berbicara seperti ini. Kamu dan dia berbeda, saya hanya butuh waktu untuk menetapkan hati saya.”
“Aku tidak perlu mendengar penjelasan apapun dari Kakak, aku bukan siapa-siapa.”
Selma merasakan saat ini kepalanya sangat berat sekali, tangannya pun sudah bergetar, air mata yang jatuh terasa sangat panas dipipinya.
“Maaf jika saya sudah membuat kamu seperti ini.”
“Tadinya aku hanya ingin membuat kenangan indah di sini, sebelum akhirnya aku pergi jauh. Tapi ternyata … Allah berkehendak lain. Semoga kamu selalu bahagia bersama dia, ya, Kak,” ucap Selma.
Gibran memperhatikan wajah Selma yang menatap kosong kearah depan dengan air mata yang terus berjatuhan tanpa isakan.
“Seharusnya aku dulu tidak berharap lebih dengan Kakak. Harusnya aku tahu diri, orang licik dan sok suci seperti aku tidak pantas bersanding dengan kamu. Aku pulang,” kata Selma yang berbalik dan berjalan dengan pelan-pelan.
Sakit dikepalanya semakin menjadi-jadi, dan kini pengelihatannya berkunang-kunang.
“Kamu sakit, Selma.” Hanya itu kalimat terakhir yang Selma dengar sebelum akhirnya ia jatuh pingsan.
Dengan sigap Gibran menahan belakang tubuh Selma agar tidak terjatuh membentur tembok yang keras. Gibran melihat sekelilingnya, tidak ada siapa-siapa di sini, ini keadaan yang darurat, Gibran harus segara membawa Selma kerumah sakit.