Kanaya sedang berkonsentrasi melukis saat ponselnya bergetar. Ah, pasti Safa yang memanggil. Nomor ponselnya yang baru ini memang hanya diketahui oleh lima orang. Kedua orang tuanya, Safa, Pak Kholil pengacaranya dan Bik Surti. Ibunya baru tadi pagi meneleponnya. Sedangkan Pak Kholil sudah jarang meneleponnya sejak kasus perceraiannya dibatalkan. Sementara Bik Surti lebih suka mendatanginya langsung dari pada menelepon. Buang-buang pulsa katanya. Jadi kemungkinannya hanya satu yaitu Safa. Kanaya menarik sehelai tissue basah untuk mengelap tangannya yang penuh dengan noda cat. Setelah itu barulah ia meraih ponsel di atas meja. Kening seketika berkerut saat melihat ada nomor yang tidak dikenal meneleponnya. Aneh! Siapa si penelepon ini? Karena penasaran Kanaya pun mencoba mengangkatnya.
"Hallo," Kanaya memberi salam dengan hati-hati.
"Kamu sekarang silahkan ke rumah utama. Kami semua menunggu kehadiranmu di sini."
Suara Haikal. Tumben Haikal memanggilnya ke rumah utama. Ada apa gerangan? Kanaya bertanya-tanya dalam hati. Satu hal lagi, dari mana ia bisa mendapatkan nomor ponselnya? Kanaya bingung.
"Untuk apa saya ke sana, Mas?" tanya Kanaya heran. Haikal ini sedang mabuk atau malah ngelindur. Biasanya melihat wajahnya saja, ia alergi. Ia mendadak ingin ditemui. Aneh!
"Datang saja dulu ke sini. Nanti kamu akan tau apa dan kenapa kamu dipanggil."
"Tapi, Mas,"
"Se-ka-rang."
Dan panggilan pun ditutup dengan begitu saja. Kanaya memandangi ponsel dengan perasaan bimbang. Bingung dengan undangan tiba-tiba Haikal. Apalagi mengingat kata kami semua. Siapa yang dimaksud dengan sebutan kami semua? Kanaya sungguh penasaran jadinya. Kanaya menekan salah satu kontak di ponsel. Bermaksud menelepon Bik Surti untuk mendapatkan sedikit bocoran. Dan sayangnya ponsel Bik Surti dalam keadaan tidak aktif.
Ogah-ogahan Kanaya mengeluarkan sehelai gaun katun bermotif floral dari lemari.
Mengganti celana tiga perempat dan kaos oblong penuh noda catnya dengan gaun. Saat hendak mencuci tangannya yang masih terasa lengket karena hanya diseka sekedarnya dengan tissue basah, Kanaya memandang pantulan dirinya di wastafel. Wajahnya terlihat kusam dan berminyak. Rambutnya juga kucel karena hanya diikat asal menyerupai sanggul longgar. Kanaya mencuci muka agar sedikit lebih segar. Melapisinya tipis-tipis dengan bedak padat dan diakhiri dengan seulas lipstick merah muda. Lumayan. Setidaknya wajahnya tidak terlalu kusam lagi.
Setelah menguncir rambutnya tinggi-tinggi seperti buntut kuda, Kanaya merasa sudah cukup layak untuk menemui Haikal. Baiklah ia akan menemui Haikal. Apa yang terjadi, terjadilah. Ia sudah siap dengan segala konsekuensinya. Paling juga ia diminta untuk angkat kaki dari perkebunan ini. Tidak masalah. Ia bisa kembali ke Jakarta dan memulai hidup baru di sana. Toh sekarang Ghifari bukan apa-apanya lagi. Setidaknya kemungkinan anaknya akan diklaim oleh keluarga Albani bisa sedikit diminimalisir. Memikirkan itu semua, kakinya menjadi lebih ringan saat melangkah menuju rumah utama.
Kanaya tadinya sudah berjalan memutar menuju pintu utama kediaman Baihaqi. Namun ia mengurungkan niatnya. Sebaiknya ia masuk melalui pintu belakang saja. Setidaknya ia bisa mendapatkan informasi dari Bik Surti mengenai semua orang yang dikatakan oleh Haikal tadi. Mengendap-endap ia menghampiri pintu belakang. Mencoba peruntungan dengan memutar handle pintu perlahan. Mudah-mudahan saja Bik Surti tidak menguncinya. Berhasil! Syukurlah ternyata Bik Surti tidak menguncinya.
"Kamu ini tidak sopan sekali. Bertamu ke rumah orang bukannya melalui pintu utama, ini malah mengendap-endap seperti maling. Apa maksudmu bertingkah tidak wajar seperti ini, Nay?"
Astaghfirullahaladzim! Kanaya berkali-kali mengelus d**a karena kaget. Haikal berdiri tegak di hadapannya dengan segelas air dingin di tangan. Sepertinya Haikal haus dan bermaksud mengambil segelas air dari dalam kulkas.
"Eh saya--saya mau bertemu dengan Bik Surti terlebih dahulu," sahut Kanaya gugup. Sial sekali dirinya. Bermaksud menghindari Haikal malah orangnya kini berdiri tepat di hadapannya. Nasib... nasib.
"Untuk apa bertemu dengan Bik Surti? Kamu ingin mengorek informasi darinya sebelum bertemu saya? Culas sekali kamu," dengkus Haikal sinis. Kanaya hanya bisa bersabar. Menghadapi Haikal memang dibutuhkan kesabaran ekstra.
"Mas mau bertemu saya ada keperluan apa?" Kanaya berusaha mengganti topik pembicaraan. Ia tidak nyaman berdekatan dengan Haikal lama-lama. Semakin cepat urusan di antara mereka selesai, tentu saja semakin baik. Haikal bersiul.
"Straight to the point, heh? Ok. Mari kita selesaikan semuanya di ruang keluarga." Haikal mendahuluinya berjalan menuju ruang keluarga.
"Eh tunggu dulu, Mas." Kanaya menahan pergelangan tangan Haikal. Langkah Haikal pun terhenti.
"Siapa yang Mas maksud dengan semua orang tadi? Tolong jelaskan dulu, Mas. Lagi pula apa tujuan Mas membawa saya ke sana? Ada hubungan apa antara saya dengan semua orang itu?" Kanya memberondong Haikal dengan berbagai macam pertanyaan. Ia tidak peduli dianggap tidak sopan. Masa bodoh. Ia tidak mau menjadi kucing dalam karung. Menanggapi berondongan pertanyaannya Haikal hanya menjawab singkat.
"Ayo kita langsung ke sana saja. Satu yang pasti. Malam ini kamulah bintang utamanya." Mendengar kalimat ambigu seperti itu, Kanaya makin tidak tenang. Apa maksud dan tujuan Haikal ini? Makin dipikirkan Kanaya semakin ngeri. Perasaannya menjadi tidak enak.
"Saya nggak ma--"
"Ayo. Jangan membuang-buang waktu." Haikal dengan sigap segera menarik pergelangan tangannya kala melihatnya membalikkan tubuh. Setengah menyeretnya menuju ruang keluarga. Haikal sama sekali tidak memperdulikan rontaannya.
"Mas jangan me--" Kanaya kehilangan kata-kata saat tiba di ruang keluarga. Di sana, di sofa letter L berwarna coklat tua, duduk kedua orang tua Haikal, Yusuf dan Hasnah Baihaqi. Kedua orang tua Astri, Om Faisal dan Bu Nuraini serta tidak ketinggalan Astri. Kanaya seperti mengalami dejavu. Kejadiannya sama persis dengan sepuluh tahun yang lalu. Saat di mana ia dengan lantang mengatakan bahwa Haikal telah merusaknya dan membuangnya begitu saja. Kanaya mendadak berkeringat dingin. Ia grogi sekaligus ketakutan.
"Kanaya? Kamu Kanaya 'kan? Kenapa kamu bisa berada di sini?" Astri berdiri dari sofa. Sepertinya Astri kaget melihat kehadirannya.
"Iya, Mbak Tri. Saya Naya. Saya ada di sini karena... karena..." Kanaya kebingungan harus menjawab apa. Ditodong tiba-tiba seperti ini membuat pikirannya ngeblank. Ia tidak tau harus menanggapi seperti apa pertanyaan Astri.
"Naya berada di sini karena ingin refreshing saja kok, Tri. Ia bosan dengan sumpeknya udara ibukota. Iya kan, Nay?" Kanaya menarik napas lega saat Tante Hasnah lah yang menjawab pertanyaan Astri. Safa memang telah memberitahukan keadaannya secara garis besar kepada kedua orang tuanya. Makanya ia berani tinggal sementara di sini. Karena sang tuan dan nyonya rumah telah menyetujui. Tetapi baik Om Yusuf atau pun Tante Hasnah, mereka tidak tau kalau dirinya sedang mengandung. Safa memang tidak menceritakan soal kandungannya ini. Karena menurut Safa, itu adalah masalah pribadi.
"Berhubung Naya sudah ada di sini, ayo gabung saja bersama kami, Nay. Sudah lama juga kita tidak bercengkrama ria 'kan? Ayo duduk di sini, Nay," lanjut Bu Hasnah sembari menepuk-nepuk sofa lembut di sampingnya.
"Kamu juga duduk, Kal. Naya 'kan sudah kita anggap seperti keluarga kita sendiri. Tidak apa-apa 'kan kalau ia ikut mendengarkan semua ini?" ucap Bu Hasnah lagi. Jujur saat melihat Haikal muncul secara bersamaan dengan Kanaya, membuat hatinya lega. Sepertinya putra sulungnya itu sudah memaafkan Kanaya.
"Tidak apa-apa dong, Bu. Memang sudah seharusnya Naya ada di sini. Ayo duduk, Nay." Perintah Haikal santai. Ragu-ragu Kanaya duduk di samping Tante Hasnah. Dan Haikal menyusul duduk tepat di sebelahnya.
"Malam ini kamulah bintang utamanya. Memang sudah seharusnya Naya ada di sini."
Kalimat ambigu Haikal terus berputar-putar di benaknya. Apa maksud dari ucapan Haikal ini? Entah mengapa Kanaya merasa Haikal sedang merencanakan sesuatu. Hanya saja ia tidak bisa menebak, apa rencananya itu.
"Baiklah. Kita lanjutkan saja pembicaraan kita yang sempat terputus tadi," ucap Tante Hasnah. Kali ini pandangannya tertuju pada Haikal.
"Nak, Ibu dan Ayah sengaja mengundang Om Faisal, Tante Nuraini dan Astri kemari, demi satu niat baik. Ayah dan Ibu ingin kamu mulai membina rumah tangga. Kamu sudah berusia 35 tahun sekarang. Sudah lebih dari pantas untuk menikah. Lagi pula Ayah dan Ibu sudah kepingin menimang cucu darimu," tukas Bu Hasnah hati-hati. Ia tau Haikal orangnya tidak bisa dikerasi. Semakin keras dipaksa, Haikal akan semakin berontak. Haikal ini modelnya harus dibujuk.
"Lantas?" sahut Haikal acuh.
"Ya lantas kamu setuju tidak kalau Ayah dan Ibu meminang Astri untukmu. Astri sudah resmi bercerai dari Thoriq. Jadi sekarang Astri wanita yang bebas."
"Wanita yang bebas? Janda maksud Ibu?" lugasnya kalimat Haikal membuat semua yang ada dalam ruangan terdiam. Haikal memang tidak pernah memilih-milih mana kalimat yang lebih enak didengar.
"Ya, kalimat lainnya memang janda. Ibu memilih Astri bukan tanpa pertimbangan, Nak. Ibu tau, selama sepuluh tahun ini kamu tidak pernah dekat dengan gadis manapun. Makanya Ibu berkesimpulan kalau kamu masih mencintai Astri. Betul tidak, Nak?" Kanaya bisa melihat kalau pipi Astri memerah mendengar kesimpulan Tante Hasnah kalau Haikal masih mencintainya.
"Ibu salah. Semenjak Astri mengatakan bahwa ia tidak menginginkan Haikal lagi, maka semua hubungan yang di antara kami sudah berakhir. Titik. Oh ya, mengenai cucu, Ibu tidak usah khawatir. Tidak lama lagi cucu Ibu akan segera lahir ke dunia. Kalau tidak salah sekitar delapan bulan lebih lagi 'kan, Nay?" ucap Haikal santai.
"Apa?!" seruan kaget menggema di udara. Kanaya mendadak merasa jantungnya seperti berhenti. Kini ia mengerti apa arti kalimat bahwa kamu adalah bintangnya dan memang seharusnya kamu ada di sini. Haikal ingin membalasnya! Dulu ia pernah memfitnahnya mentah-mentah dan kini ia balas memfitnahnya. Hanya saja Haikal lupa kalau status mereka beda dengan sepuluh tahun lalu. Saat ini ia telah menikah dan baru saja bercerai. Dengan Haikal mengumumkan kehamilannya, itu sama saja dengan Haikal mengatakan bahwa ia telah berselingkuh dalam keadaan masih menjadi istri orang. Haikal benar-benar menghancurkan nama baiknya. Menginjak-injak harga dirinya.
"Naya ini 'kan istrinya Ghifari Albani. Bagaimana mungkin ia bisa mengandung anakmu, Kal?" sergah Astri bingung. Ketidakpercayaan jelas terpancar dari kedua bola matanya.
"Tidak lagi. Ghifari dan Naya sudah bercerai. Dan saat ini Naya sedang mengandung buah cinta kami. Titik. Lagi pula coba kalian pikir, mengapa Naya sekarang ada di sini? Tentu saja karena ia ingin dekat dengan ayah bayinya. Benar tidak?" tanya Haikal cuek. Kanaya menggigit bibir. Selain malu, hatinya sakit sekali. Apalagi kedua orang tua Astri dan Astri sendiri memandangnya dengan tatapan jijik dan merendahkan. Pasti mereka semua menuduhnya sebagai seorang penzinah. Balas dendam Haikal sungguh keterlaluan. Haikal telah menelanjanginya di hadapan semua orang!
"Kalau begitu kamu diceraikan Ghifari karena telah mengandung benih laki-laki lain ya, Nay? Ok. Noted." Astri mengangguk-anggukkan kepalanya. Merangkai-rangkai potongan kejadian versinya sendiri.
"Ternyata setelah sekian tahun kamu masih belum bisa moved on dari Haikal ya, Nay?" sindir Astri sinis.
"Baiklah. Selamat deh, Kal, Naya. Sekali lagi selamat untuk kehadiran bayi ajaib kalian berdua." Ucapan selamat dari Astri yang membawa-bawa nama bayinya, membuat mata Kanaya perih menahan air mata. Bayinya yang tidak tau apa-apa telah dijadikan bahan sindiran. Kanaya sadar, mulai sekarang dan seterusnya, ia dan bayinya akan terus menjadi bahan perbincangan hangat akibat fitnah Haikal. Haikal sungguh kejam!
"Sudahlah, Tri. Kamu tidak perlu memberi ucapan selamat kalau kamu tidak tulus mengucapkannya. Saya geli mendengarnya," imbuh Haikal cuek.
"Saya--saya permisi dulu semuanya. Selamat malam." Kanaya tidak sanggup lagi berada di ruangan penghakiman ini. Dijadikan bahan lelucon oleh Haikal, dan dianggap penzina oleh semua orang. Kedua orang tua Haikal maupun Astri memang tidak mengatakan apapun. Namun tatapan mereka sudah menjelaskan semuanya. Mereka menganggapnya sampah!
Setengah berlari, Kanaya menelelusuri jalan setapak. Ia muak terus dijadikan objek pelengkap penderita oleh para laki-laki. Setelah Ghifari, kini Haikal. Demi Tuhan, ia jadi benci kepada kaum adam yang seharusnya melindungi kaumnya yang lebih lemah. Bukannya terus menindas dan mengambil keuntungan darinya. Suara langkah kaki di belakangnya membuat Kanaya waspada. Seseorang mengikutinya.
"Kanaya, tunggu! Jangan berlari-lari, Sayang. Ingat kandungan kamu. Mas tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan pada bayi kita." Kanaya memejamkan mata sejenak. Lagi-lagi Haikal bermaksud mempermalukannya. Kerasnya suara teriakan Haikal pasti bertujuan agar semua orang mendengar ucapannya. Dasar b******n!
"Berhenti! Berhenti saya bilang!" teriakan Haikal diikuti dengan cengkraman di tangannya. Memaksa langkah Kanaya agar berhenti.
"Lepaskan! Lepaskan saya bilang. Mas mau apa lagi, hah? Mas masih belum puas mempermalukan saya?" Kanaya berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman Haikal. Air matanya terus mengalir bagai keran bocor. Hatinya sakit tidak terperi.
"Nggak perlu, Mas. Kata-kata Mas tadi sudah sukses membuat saya dipandang seperti sampah. Bukan hanya saya, Mas. Tapi bayi saya yang tidak tau apa-apa juga," Kanaya menghentikan kata-katanya sejenak. Perutnya terasa sedikit kram. Ia mengaduh pelan dan refleks berjongkok.
"Kamu kenapa, Nay? Perut kamu sakit? Mau saya antar ke dokter?" Kanaya tidak kuasa menjawab pertanyaan Haikal. Ia merasa perutnya mengetat dan mengganjal. Ia hanya bisa mengangkat satu tangannya sebagai isyarat kalau ia tidak ingin didekati.
"Saya--saya tidak apa-apa, Mas. Saya mohon tinggalkan saya sendiri. Saya--saya sudah berkali-kali meminta maaf bukan? Sudahi semua ini, Mas. Saya minta ampun. Jangan--jangan terus menyakiti saya lagi ya Mas? Tolong, kasihanilah saya."
Dengan kalimat terbata-bata dan keringat membanjir, Kanaya berusaha meminta ampun pada Haikal. Dalam posisi separuh bersimpuh, ia merangkapkan kedua tangan di d**a. Memohon dengan setulus hati agar Haikal tidak lagi menyakitinya. Hanya saja pandangannya tiba-tiba menggelap. Ia mengerjab-ngerjabkan mata. Berusaha membuang kegelapan itu dari matanya. Namun kegelapan itu belum jua hilang dari pandangan. Bukan hanya itu, kali ini ia bahkan merasakan kepalanya mendadak ringan. Detik berikutnya, ia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
"Astaga. Kanaya! Nay, kamu kenapa Nay?"