Part 8

1237 Kata
Part 8   Rhea tercenung. Ia terdiam sesaat, berusaha menetralkan rasa sesak yang tiba-tiba menjalar. Rhea melangkah lunglai menuju ruang tengah. Diletakkannya satu kotak kecil yang membuatnya uring-uringan di meja. Gavin terkesiap. Ia melirik Rhea yang menekuk wajahnya. “Aku menemukan kotak itu di saku jasmu,” ucap Rhea singkat. Rhea duduk dengan raut wajah yang lebih dingin. Gavin menyadari, kemungkinan Rhea telah membuka isi kotaknya dan mengira jika cincin itu akan diberikan untuknya. Namun setelah membaca huruf “S” di cincin tersebut, Rhea tahu jika cincin itu bukan untuknya. Dua-duanya saling diam. Gavin berpikir, apa ia perlu menjelaskan? Sementara Rhea tak bertanya apapun. Jika tiba-tiba ia menjelaskan dan ternyata Rhea dingin bukan karena cincin itu, dia yang akan malu. Rhea tahu menikah dengan Gavin hadirkan risiko besar yang harus siap ia terima. Gavin pria mapan, tampan, memiliki segalanya, tak sulit baginya mendapatkan perempuan. Apa arti dirinya yang hanya dinikahi karena perjodohan? Ia ingat satu hal, Gavin tidak mencintainya. Ia pun sudah berkali-kali mengingatkan diri sendiri untuk tak jatuh pada laki-laki itu. Dia tak mau terluka. Rhea tak tahan lagi. Ia ingat akan statusnya yang telah resmi menjadi istri Gavin. Ia berhak untuk bertanya, ia berhak untuk tahu apa saja terkait yang dilakukan suaminya. Bahkan ia berhak juga untuk marah jika memang Gavin terbukti masih mencintai mantan kekasihnya. Statusnya jelas dan diakui negara. Seharusnya ia memiliki power yang lebih unggul dibanding perempuan mana pun yang mencoba mendekati suaminya. Ia tak mau diperlakukan semena-mena dan ditindas. Ia harus kuat, terutama di hadapan Gavin. “Kata yang diawali huruf S itu apa saja?” pertanyaan Rhea sedikit ketus. Gavin tersenyak. Ia menatap Rhea yang menatapnya dengan tatapan tertajam. “Kamu mau ngajak aku main teka-teki?” Gavin memicingkan matanya. Rhea mencoba mendinginkan hatinya yang tengah memanas. “S itu Sunday, bisa juga surat, seruling, sayang, semangka, atau mungkin s**u. Mas suka banget minum s**u ya?” tatapan Rhea menancap tepat di kedua mata Gavin. Gavin bengong dan melirik Rhea yang cemberut. Mendengar kata “s**u”, pikiran Gavin berkelana ke hal lain apalagi belahan d**a sang istri tampak begitu menggoda. “Aku lebih suka s**u yang lain.” Mata Gavin tak lepas mengamati belahan d**a Rhea. Ia mengenakan dress dengan modal atasan tanktop berkerah rendah. Rhea menyadari pandangan Gavin tengah menelisik ke bagian dadanya. Rhea salah tingkah. Ia memang memberanikan diri tampil dengan pakaian mini di depan Gavin. Namun setiap pria itu menatapnya, tubuhnya seolah membeku, tak bisa berkutik. “Jadi huruf S yang ada di cincin itu artinya s**u, ya?” ujar Rhea tanpa berani menatap Gavin. Gavin sudah menduga, Rhea tengah mempermasalahkan inisial huruf “S” di cincin itu. Ia mengemukakan napas pelan. “Sandra tadi datang ke kantor untuk mengembalikan cincin itu. Cincin itu aku berikan untuknya sebelum kami putus. Dulu aku sempat melamarnya secara pribadi dengan cincin itu. Seminggu kemudian dia memutuskanku. Padahal aku sudah bersiap-siap untuk melamar ke keluarganya dan aku sudah berbicara pada orang tuaku.” Rhea terperangah mendengar penjelasan Gavin. Ia telah salah paham. Ekspresi dinginnya berganti lebih cerah. Ia tak tahu harus menanggapi apa, yang jelas dia merasa lega. Gavin meneliti raut wajah Rhea yang kembali cerah setelah sebelumnya mendung. “Kamu kenapa? Lega karena tahu cincin itu adalah cincin lama?” Rhea sedikit gelagapan dan tak merespons apapun pertanyaan Gavin barusan. “Kamu cemburu?” Gavin kembali menatap gadis itu dengan tatapan yang membius. Rhea membulatkan matanya. Segera ia menggeleng. “Nggak... Nggak... Aku nggak cemburu. Aku tahu diri kalau aku bukan orang yang penting buat Mas, jadi aku nggak berhak mengatur kehidupan Mas.” Rhea sedikit terbata. “Oh begitu, ya? Kalau misal malam ini aku hang out bareng Gladisa berarti boleh ya?” Gavin bicara dengan ringannya dan melirik Rhea sepintas. “Jangan!” Rhea mendelik dan mengeraskan suaranya. Setelah Gavin menatapnya dengan ekspresi wajah bengong, Rhea menyadari kekeliruannya. Dia terlalu berlebihan. “Maksudku jangan keluar malam karena seharian ini Mas udah capek kerja. Lebih baik istirahat saja di apartemen.” Rhea menunduk. Ia seperti setengah bergumam. Gavin menyeringai. Rhea begitu mahir mencari alibi. Ia bisa menangkap ada rasa cemburu yang tersirat. “Kalau aku mau tetap pergi, gimana?” Gavin semakin bernafsu untuk meledek. Sejauh mana Rhea sanggup menutupi perasaannya. Rhea membisu. Ia mencari-cari alasan yang tepat. “Aku takut sendirian di apartemen malam-malam.” Rhea pikir alasan ini bisa menjadi alasan yang tepat. “Tadi katanya aku harus istirahat di apartemen, sekarang kamu bilang takut sendirian di apartemen. Yang benar yang mana?” cecar Gavin. Rhea semakin gugup. Ia tak berani menjawab. “Kalau aku perginya bareng teman cowok boleh, nggak?” tanya Gavin lagi untuk menguji. “Iya, nggak apa-apa,” balas Rhea dengan memaksakan kedua bibirnya tersenyum. Ia terlalu polos untuk dapat mengetahui maksud Gavin menanyakan hal itu. “Berarti masalahnya bukan karena aku pergi malam. Tapi pergi bareng siapa yang bikin kamu keberatan aku keluar malam. Skakmat.. Rhea tak bisa lagi mengelak. Mendadak ia merasa bodoh karena menunjukkan kecemburuannya pada Gavin. Gavin beranjak dan mendekat pada istrinya. Ia menyandarkan sebelah tangannya pada punggung sofa dan menundukkan badannya. Rhea semakin gugup saat wajah tampan itu terpampang begitu dekat dengan wajahnya. “Akui saja kalau kamu cemburu?” embusan napas Gavin seakan menyapu wajah Rhea. Lagi-lagi Rhea bungkam. Gavin semakin mendekatkan wajahnya. Rhea deg-degan tak menentu. Rasanya ia belum siap jika Gavin menciumnya kali ini. Gavin meniup anak rambut yang menutupi dahi Rhea, “Aku mau mandi dulu,” ucap Gavin singkat lalu berjalan menuju kamar mandi. Debaran di d**a Rhea masih bertalu. Sungguh ia tak mau jatuh pada laki-laki itu tapi pesona Gavin terlalu kuat untuk ditolak. ****** Malam ini hujan mengguyur cukup deras. Seusai makan malam, Rhea melanjutkan mengetik novel, sedangkan Gavin mempelajari laporan-laporan tentang perkembangan proyek perhotelan yang sedang dibangun di Bandung. Ia seorang CEO yang berambisi dan selalu punya target untuk mengembangkan perusahaan. Sifat ambisius ini menurun dari ayahnya. Setelah cukup merasa lelah, Gavin masuk ke kamar dan merebahkan badannya. Ia melirik Rhea yang masih sibuk mengetik. Mengetahui sang suami telah menyudahi pekerjaanya, Rhea pun menghentikan pekerjaannya. Ia mematikan laptop dan melangkah menuju ranjang. Tatapan Gavin tak lepas mengawasi gerak langkah Rhea yang berjalan lambat. Sadar diri tengah diperhatikan sang suami, Rhea menyila rambutnya, menirukan gaya model dengan memasang wajah sensual. Saat duduk di ranjang, ia sengaja menyingkap gaunnya hingga mengekspos paha mulusnya. Gavin menelan ludah. Godaan apa lagi ini? Gavin tak berani menatap Rhea lebih dalam. Tatapannya bermuara pada langit-langit. Rhea berbaring, kali ini tidak memiringkan badannya. Ia terlentang dan pandangan matanya terfokus pada langit-langit. Ia tahu, Gavin menginginkannya tapi pria itu terlalu gengsi. Jauh dalam lubuk hatinya, ia menginginkan kehadiran buah hati. Hari-harinya akan semakin berwarna jika ia memiliki bayi. Rintik hujan menjadi musik pengiring. Keduanya memiringkan wajahnya hingga dua pasang mata itu bertabrakan. Entah siapa yang memulai memperpendek jarak, jarak antar mereka semakin terpangkas. Keduanya saling berhadapan. Gavin menelusuri pipi Rhea dengan jari-jarinya. Entah kenapa wajah itu terlihat semakin manis, cute, dan kulit tubuhnya yang eksotis justru menjadi daya pikat tersendiri. Gavin baru menyadari, istrinya tak kalah menarik dibanding perempuan-perempuan di luar saja. Gavin mendaratkan kecupan di bibir Rhea. Wanita itu membeku seketika. Selanjutnya Gavin mencium lebih dalam. Surprise untuk Gavin, Rhea bisa membalasnya. Gadis itu belajar memainkan insting. Malam semakin larut, hujan masih mengguyur. Keduanya larut dalam keromantisan yang tengah terbangun. Ada atau tidak ada cinta, mereka tak bisa membantah, mereka membutuhkan kehangatan dan status pernikahan itu telah menghalalkan keduanya untuk memenuhi kebutuhan itu. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN