Bab 6 : Memastikan Sesuatu

1357 Kata
Kemal menoleh ke arah Ben. "See," gumamnya tanpa suara. Dia semakin yakin melihat hal serupa kemarin malam. Keduanya bergerak maju bersamaan. “Put your hands up,” perintah Ben tegas, mengarahkan pistolnya ke sosok misterius itu. Sosok tersebut tampak membeku, perlahan berbalik sambil mengangkat kedua tangannya. “Pak? Seriously?” seru Kemal terkejut saat mengenali wajah Lukas yang baru saja melepas topinya. “Apa? Kenapa? Saya cuma mau memastikan keadaannya,” ucap Lukas dengan nada sedikit jengkel, meski ekspresinya terlihat salah tingkah. “Sampai kapan kalian mau menodongkan senjata ke arah saya? Hmm?” “It’s not you,” jawab Ben singkat, mengabaikan protes Lukas. Keduanya kompak menyimpan kembali senjatanya. Sekalipun mereka berada di lingkup pekerjaan yang menegangkan, kehidupan mereka tidak gelap. Wanita-wanita yang kerap mengelilingi Lukas hanyalah pelengkap acara bisnis, bukan sesuatu yang benar-benar menyentuh hati dan pikirannya. Bahkan, saat menyewa pendamping untuk jamuan klien, Lukas hanya menjalani peran. Hatinya seolah telah terkubur bersama kenangan Lea, wanita yang pernah menjadi pusat dunianya. “Saya ingin memastikan sesuatu. I don’t need sleeping pills anymore,” gumam Lukas lirih, mengenakan kembali topinya. “Bukannya semalam sudah memastikan, Pak?” tanya Kemal spontan, membuat Lukas yang baru saja membalikkan badan menoleh tajam. “Ehem! Silakan, Pak,” ujar Kemal dengan canggung, mempersilakan Lukas masuk ke kamar Anin sambil menarik Ben menjauh. *** Tiga hari berlalu sejak terakhir kali Anin melihat Lukas. Katanya, Lukas masih sibuk dengan serangkaian pekerjaannya. Namun, anehnya, ia masih merasakan kehadiran lelaki itu. Hari-hari Anin kini lebih sering dihabiskan di luar kamar. Ia tak henti-hentinya memutar otak, bertanya-tanya tempat macam apa ini. Hampir setiap sudut dijaga dengan ketat, membuatnya frustrasi karena belum menemukan celah untuk melarikan diri. “Apa jangan-jangan lelaki itu punya bisnis sampingan menculik gadis untuk dijual?” gumam Anin pelan, khawatir. Tiba-tiba, ingatannya tertuju pada satu kamar yang membuatnya penasaran. Ben pernah mengatakan Lukas melarang siapa pun mendekati kamar itu. Semakin dilarang, rasa ingin tahu Anin justru semakin besar. Sejak kemarin, ia berusaha mencari cara untuk masuk ke kamar tersebut. Mungkin saja, pikirnya, ada sesuatu di dalam sana—mungkin gadis lain yang bernasib malang seperti dirinya. Anin duduk di meja makan, tempat ini yang paling menenangkan di tengah situasi yang menghimpit. Selain bisa memanjakan perutnya, pelayan-pelayan di sini juga ramah padanya. Bahkan, ia sudah mengenal beberapa di antaranya. “Sedang apa, Bik?” tanya Anin pada Bik Rina, kepala asisten rumah tangga di vila ini. “Eh, Non Anin, mau saya buatkan sesuatu?” sahut Bik Rina dengan senyum hangat. Anin menggeleng pelan, matanya sibuk menjelajahi ruangan. Ia sedang mencari pelayan yang kemarin terlihat membersihkan kamar itu. Namun, sejak saat itu, pelayan tersebut seperti menghilang. Senyumnya terbit ketika akhirnya melihat kembali pelayan itu. “Itu siapa, Bik?” tanyanya ketika pelayan tersebut baru masuk ke dapur. “Namanya Mbak Lili. Dia khusus membersihkan kamar tamu,” jawab Bik Rina. “Oh,” gumam Anin, mengangguk. Ia menyela, “Tapi, saya belum pernah melihat dia membersihkan kamar saya.” Bik Rina tersenyum menjelaskan, “Pelayan di sini memang punya tugas masing-masing, Non. Mbak Lili itu hanya membersihkan kamar tamu Pak Lukas. Itu pun hanya tiga hari sekali. Kamar itu tidak pernah digunakan, selalu terkunci. Kunci kamarnya ada di tangan Pak Ben, tangan kanan Pak Lukas. Tidak ada yang boleh masuk selain Lili dan beberapa dari mereka yang terpilih.” Mendengar itu, Anin tersenyum tipis. Kebetulan, hari ini adalah jadwal kamar itu dibersihkan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ia mulai merancang rencana untuk menyelinap masuk dan mencari tahu apa yang ada di balik pintu kamar yang terlarang itu. Di tempat lain… Sore itu Lukas tampak menikmati minumannya, tubuhnya terasa lelah setelah seharian bekerja. Rencananya pulang langsung ke vila harus tertunda karena mendapat panggilan dari Zero, sahabat yang akrab disapa Ze. Bersama beberapa teman lainnya, mereka berkumpul di G Coffee, salah satu bisnis teman mereka. “Apa?” tanya Lukas santai sambil menyeruput minumannya, sejak tadi dipandangi. “Kata dr. Adryan, Evan nggak memesan obat tidur beberapa hari ini,” ujar Ganda, memecah suasana. Semua yang tadinya fokus pada aktivitas masing-masing kini serentak menatap Lukas. “Really?” tanya Ze, mengunyah makanannya. “Dokter pribadi seperti apa itu yang sembarangan membeberkan informasi pasiennya,” balas Lukas dengan nada kesal. Ganda menyangkal. “Informasi itu penting, bro, bagi kami. Ada dua kemungkinan, kamu sembuh atau sengaja memforsir dirimu terlalu lelah biar bisa tidur.” Sembuh? Lukas tersenyum tipis. Ia tidak merasa sedang sakit, hanya kesulitan tidur sejak kehilangan teman kecilnya, Lea, orang yang paling berarti dalam hidupnya. Namun, setelah pertemuan mereka kembali setelah belasan tahun terpisah, kondisi itu tak membaik. Apakah penyebabnya bukan Lea? Ze melempar Lukas dengan gumpalan tisu bekasnya, menyadarkan sahabatnya. “Aku punya mainan baru,” kata Lukas tiba-tiba, menyita perhatian teman-temannya. “Perempuan mana yang kamu permainkan?” tanya Ze tepat sasaran, membuat Lukas tersedak. “Memangnya aku ada bilang perempuan?” elak Lukas, menatap Ganda dan Zein di hadapannya yang hanya mengedikkan bahu. “Aku baik-baik saja. Aku hanya sedang menganalisis perubahan ini,” tambahnya ambigu. Ya, Lukas tidak menceritakan apa pun pada temannya perihal Anin. “Ngomong-ngomong, mana kontak kang seragam batik yang kamu tawarkan buat kantorku?” tanya Ze. “Kalau nggak jelas aku cari di tempat Jingga.” “Please, mereka lagi kerjain punya kantor cabang gue. Sabarlah, itu UMKM. Support sedikit,” balas Lukas menepuk pelan Pundak Ze. “Rumah sakitmu nggak tertarik bikin seragam batik juga?” tawar Lukas santai pada Ganda. “Kalau soal itu, tanya langsung sama Nyonya Besar. Aku cuma helper di sana,” balas Ganda dengan nada bercanda. Sesaat kemudian ponsel Lukas berdering, ia mengangkat panggilan dari asistennya. Evan mengatakan bahwa dia sudah menyiapkan semua permintaan Lukas. Lukas menyahut paham seraya menyesap minumannya, mengulum senyumnya. “Saya juga sudah menghubungi Ben untuk mempersiapkan pengamanan di sana,” tambah Evan. “Terima kasih, Evan. Bonusnya kirim sendiri ke rekening kamu,” balas Lukas membuat Ze dan beberapa temannya saling memandang. Ze mengangkat alis penuh penasaran. “Jangan kepo,” jawab Lukas sambil bangkit. “Aku pulang.” Ia mengeluarkan uang untuk membayar semuanya. “Kalau kurang telepon Evan,” katanya sebelum pergi. “Belakangan dia suka senyum-senyum sendiri,” komentar Dion, melihat punggung belakang Lukas kian menjauh. “Perlu aku cari tahu?” tawar Ze. Dion mengangguk, penuh rasa ingin tahu. *** Anin tidak melihat Ben di sekitar kamar terlarang itu. Dengan langkah hati-hati, ia mendekat dan dengan sengaja menabrak Lili yang baru saja akan mengunci pintu. “Eh, maaf, Mbak,” ucap Anin cepat sambil memungut card lock yang terjatuh. “Biar saya bantu kuncikan—ini,” lanjutnya sambil menyerahkan kembali card lock kepada Lili yang langsung setuju—sibuk membereskan peralatan yang berserakan di lantai. Anin pun ikut membantu. “Maaf banget ya, Mbak.” “I—Iya, Non. Tidak apa-apa. Permisi,” jawab Lili gugup sebelum bergegas pergi. Saat memastikan Lili sudah cukup jauh dan tidak ada orang di sekitar, Anin segera menyelinap masuk ke dalam kamar yang sengaja tidak ia kunci. Ia menutup pintu perlahan, memastikan semuanya aman. Anin terperangah melihat kamar itu. Rapi, bersih, tapi terasa sunyi. Tidak ada tanda-tanda orang lain di dalam sana. Yang menarik perhatian Anin hanyalah sebuah lemari dengan beberapa bingkai foto yang tertata rapi di atasnya. Ia mendekat dan tertegun ketika melihat wajah di foto itu. Seorang wanita yang terlihat mirip dengannya. Sekilas memang mirip, tapi bentuk wajah mereka berbeda. Anin sampai mengaca di cermin untuk memastikan hal itu. “Jadi, ini Lea? Siapa dia? Tunangan? Istri?” gumamnya pelan. Benar, bagai pinang dibelah dua, tapi Anin tidak ambil pusing. Ada yang bilang, ada beberapa orang yang mirip dengan wajah kita di belahan bumi sana, doppelgänger. Mungkin wanita ini hanyalah salah satu dari mereka. Anin menatap sekitar, pandangannya jatuh pada salah satu foto di antara banyak yang tertata. Kali ini, Lea terlihat bersama Lukas. Mereka mengenakan seragam SMA, tersenyum bahagia. Anin mengambil bingkai foto itu dan menatapnya dalam-dalam. “Kenapa rasanya tidak asing, ya?—Ah!” Kepala Anin tiba-tiba berdenyut hebat, telinganya berdengung keras. Bingkai foto itu terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN