Bab 3 : Obsesi

1491 Kata
“Apa yang saya sampaikan waktu itu hanya bentuk pertahanan diri,” ucap Anin, suaranya bergetar, tapi tegas. Dia membuang pandangannya ke arah jendela, ke lantai, ke mana saja asal tidak ke mata Lukas yang tak henti-henti memandanginya. Dia merutuki kebodohannya karena mengaku sebagai tunangan pemilik PT. Samudera Teknologi. Siapa sangka lelaki yang kini duduk di hadapannya saat ini adalah pria yang ia sebut-sebut tanpa berpikir panjang. “Jangan mendekat!” serunya dengan nada penuh peringatan saat Lukas pindah duduk di sampingnya. “Kamu mau sarapan apa?” tanya Lukas. Anin menatap Lukas tidak percaya. Bagaimana mungkin dia berbicara tentang sarapan ketika situasi ini begitu rumit? “Saya mau pulang. Kembalikan semua barang-barang saya,” jawabnya ketus, mencoba mempertahankan nada dingin. Namun, Lukas tak bergeming. Tatapannya tetap pada Anin, intens dan sulit diartikan. Anin memang bukan Lea, tapi entah mengapa Lukas tampak tidak ingin melepasnya. Sejak pertemuan pertama mereka, Lukas terlalu nyaman berada di dekatnya. Lukas bahkan bisa tertidur lelap di samping Anin tanpa mengkonsumsi obat tidur malam tadi. “Aku siapkan roti panggang dan telur mata sapi,” ucap Lukas tanpa menghiraukan permintaan Anin sebelumnya. “Pak! Saya mau pulang,” potong Anin, suaranya meninggi. “Lihat baik-baik, saya bukan orang yang Bapak cari!” Lukas menghela napas, tangan besarnya terulur mengusap kepala Anin. “Tapi kamu yang aku mau,” jawabnya tenang, membuat Anin membeku. Lukas tersenyum kecil. “Sarapan dan pakaian ganti akan diantar. Hari ini aku masih ada pertemuan. Kalau perlu apa-apa, hubungi extension yang ada di daftar telepon, ya.” Anin tertegun, tak mampu berkata-kata melihat sikap polos Lukas. Lukas sudah bangkit berdiri, meninggalkan Anin dengan pikiran yang semakin kacau dan perasaan yang tak bisa ia kendalikan. Sesaat kemudian, Anin mengejar, menghalangi jalan, dan melayangkan protes pada Lukas,. Namun, pria itu tidak menghiraukannya dan justru memintanya berisitirahat tanpa menjelaskan apa-apa. Karena kesal, Anin menginjak kaki Lukas, lantas mendorong tubuhnya hingga terduduk di lantai saat pria itu lengah, lalu membuka pintu kamar bersiap untuk lari. Namun, tepat saat membuka pintu, dua lelaki berbadan besar menjaga di depan pintu dan menahannya “Lepas! Lepas!” pekik Anin dibawa masuk kembali ke dalam kamar. Lukas menarik pinggang Anin dengan sebelah tangannya hingga tubuh mereka menyatu. “Aku tidak memiliki banyak waktu. Setelah pekerjaanku selesai, aku akan segera pulang.” Lukas keluar dari kamar Anin dan menutup pintu. "Ben, aku serahkan semuanya padamu. Pastikan tidak ada yang menyentuh atau menyakiti dia. Kalau terjadi apa-apa, kamu tahu konsekuensinya," kata Lukas, suaranya dingin dan penuh ancaman. Ben mengangguk paham. Begitu Lukas pergi, penjagaan vila semakin diperketat. Tak ada seorang pun yang diizinkan mendekati Anin tanpa izin langsung dari Ben. *** Hari ini, Lukas disibukkan dengan rutinitas pekerjaannya. Baru saja menyudahi pertemuan, perhatiannya teralih pada panggilan telepon dari Ben. “Ben?” sapanya lebih dulu. Ben meminta maaf, memberi tahu kalau Anin jatuh pingsan. Belum sempat Ben menjelaskan, Lukas meminta Ben segera menghubungi dokter pribadinya dan mengatakan dia akan segera pulang. Sepanjang perjalanan ke vila, pikiran Lukas penuh dengan kecemasan. Tidak sampai di situ, kekhawatiran terlukis jelas di wajahnya mendengar laporan Ben kalau Anin tidak menyentuh makanan atau minumannya. Lukas tiba di vila—melangkah cepat menuju kamar, duduk di tepi ranjang tempat Anin terbaring. Wajahnya pucat, tetapi napasnya teratur. Anin lelap tertidur setelah diperiksa oleh dokter pribadi Lukas. Perlahan, Anin mulai tersadar merasakan usap lembut di puncak kepalanya. Matanya membelalak, tangannya melayang, meninggalkan jejak merah di pipi Lukas. “Gila! Kamu lelaki brengseek!” seru Anin, suaranya memecah keheningan. Anin meluapkan semua amarah yang ia tahan. Matanya menyala penuh kemarahan. Anin mengaku kehilangan kesempatan kerja. Wanita itu bahkan tidak segan menyumpahi Lukas tanpa henti, melampiaskan rasa frustrasinya. “Saya bahkan rindu Ibu …,” lirihnya di akhir, suaranya melemah, menyayat hati. Lukas terenyuh mendengarnya. Namun, jiwa serakahnya meronta-ronta menginginkan Anin. “Enam bulan,” ucap Lukas, suaranya dalam dan mantap. “Enam bulan waktu yang Samudera Teknologi tawarkan padamu.” Kata-katanya membuat Anin terdiam sejenak. “Manfaatkan waktu itu untuk mencintaiku.” Tidak perlu bekerja, Anin akan mendapatkan semua yang dia inginkan. Tugas Anin hanya mencintai Lukas. Anin mengerutkan kening, bingung dengan maksud lelaki itu. Namun, sebelum ia sempat menanggapi, Lukas melanjutkan dengan nada tegas—mengangkat sebelah tangannya. “Harusnya sudah jelas. Aku sudah bilang, bukan? Aku menginginkanmu.” Air mata mengalir di pipi Anin. Tangannya bergetar, hatinya mencelos melihat obsesi yang begitu jelas di wajah Lukas. Ada sesuatu di sana—kegelapan yang tak terkendali. “Jangan menangis, Sayang,” bisik Lukas mendekat. Tangannya terulur menyentuh pipi Anin. “Aku akan membuatmu jatuh cinta padaku. Beri aku sedikit waktu, aku akan membuktikannya.” Anin menggeleng keras, menolak. “Gila, kamu pikir aku akan tunduk padamu? Kamu kira aku ini apa, huh?! Siapa kamu berani memperlakukanku sesuka hatimu?!” Lukas hanya tersenyum tipis, kemarahan Anin begitu menggemaskan di matanya. “Jahat!” tambah Anin. “Aku tidak jahat, Sayang. Beri aku waktu enam bulan saja. Jika setelah itu kamu tetap tidak jatuh cinta padaku, aku akan melepaskanmu. Sejujurnya, aku sempat berpikir untuk memberimu waktu satu bulan, tapi kurasa sedikit tarik-ulur akan lebih menarik, bukan?” Tidak tahan lagi, Anin meraih gelas di nakas dan menyiram wajah Lukas dengan air di dalamnya. “Percaya diri sekali kamu!” teriaknya dengan penuh rasa jijik. “Berapa banyak pun waktu yang kamu berikan, aku tidak akan pernah sudi!” Lukas memejamkan mata sejenak, mengusap wajahnya yang basah dengan tangan. Saat ia membuka matanya lagi, ia meraih rahang Anin dengan satu tangan, membuatnya terdiam. Kedua tangan Anin sudah terangkat, bersiap memukul, tapi Lukas lebih cepat menahannya. “Tidak akan butuh banyak waktu, Sayang,” gumamnya. “Hingga saat itu tiba, kita akan segera menikah. Persiapkan tempat yang kamu inginkan. Aku akan melamarmu di tempat impianmu.” “Gila! Dasar mafia!” pekik Anin. Lukas hanya tertawa kecil. “Segagah itukah aku sampai kamu menyebutku mafia? Haruskah aku menjadi mafia agar kamu takhluk padaku, Sayang?” “Kamu benar-benar gila!” Lukas mendekat, wajahnya begitu dekat hingga Anin bisa merasakan napasnya. “Tidak sulit jatuh cinta pada Lukas Zavier Mahesa, Honey,” ujar Lukas mengusap pipi Anin. “Ben akan mengirim pakaian untukmu. Pilih, ya! Kita makan makan malam bersama,” ucapnya sebelum pergi meninggalkan Anin. Benar saja, tak lama Ben datang membawa pakaian lengkap dengan tas hingga pilihan sepatu. Anin mendekati hanger stand yang penuh dengan pakaian feminin. Tangannya menyentuh kain-kain mahal itu, melihat deretan gaun pendek dan panjang yang terlihat simple, tapi elegan. Di atas meja sana, sepatu dengan hak tinggi dan tas-tas mewah tertata rapi. Anin tertawa kecil, sumbang, penuh kepahitan. “Jadi, wanita itu adalah wanita yang feminin?” gumamnya sinis. “Silakan, Nona.” Kini matanya berkilat tajam menatap Ben. “Katakan pada bos gilamu itu, aku tidak sudi menjadi pengganti tunangannya.” *** Ben berdiri dengan kepala sedikit tertunduk di depan Lukas yang tengah merapikan jasnya. Wajah Lukas tampak tenang—melirik Ben. Ben menghela napas panjang sebelum berbicara. "Maaf, Pak Lukas. Nona Anin tidak mengindahkan perkataan saya. Dia masih berada di kamar dan belum bersiap," lapornya dengan suara penuh penyesalan. Lukas menghentikan gerakannya sejenak. Dia memutar tubuh—menatap Ben, kemudian senyuman kecut tersungging di bibirnya. Tanpa berkata banyak, Lukas menepuk bahu Ben sekali, membuat pria itu mengangkat pandangannya. "Maaf sudah membuatmu lelah, Ben," ucap Lukas. "Dia memang semanja itu." Tanpa menunggu jawaban, Lukas beranjak keluar dari kamarnya. Langkahnya mantap, sepatu kulit hitamnya berbunyi pelan di sepanjang koridor. Dia menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Anin, mengetuk sekali tanpa ragu, lalu langsung membuka pintu. Anin yang tengah duduk di sofa kecil di sudut kamar—menoleh cepat. Matanya sempat mengerling ke arah Lukas, menyeringai melihat pria itu sudah tampil sempurna dalam balutan jas terbaiknya. "Aku tidak tahu kamu semanja ini, Honey," kata Lukas sambil berjalan mendekat, tatapannya tak lepas dari wajah Anin yang tampak jutek, ada kilatan pemberontakan di matanya. "Aku sudah menjemputmu. Ayo, kita makan malam bersama." Nada suaranya terdengar santai, seperti ajakan lembut, tetapi hanya keheningan yang tercipta. Lukas berhenti melangkah, menunggu reaksi yang akan Anin berikan. “Jadilah tunangan yang baik, Honey. Kalau tidak mau menyusahkan ibumu,” ancam Lukas, melempar beberapa foto wanita paruh baya yang sedang membungkuk seolah memberi arahan pada pegawainya yang sedang membuat batik ke atas meja kecil di dekat Anin. “Jangan sentuh ibuku!” serunya dengan nada gemetar, tapi berusaha tegas. Lukas menyeringai tipis, langkahnya tidak berhenti mendekati Anin. “Kalau begitu, terimalah takdirmu sebagai tunanganku,” balasnya, dingin dan memaksa. “Jangan mendekat!” Anin memekik panik, tangannya tiba-tiba terangkat memegang pisau kecil yang entah dari mana dia dapatkan. Mata Lukas menyipit, tetapi dia tetap tidak menunjukkan rasa takut. Malah, dia terus maju, senyumnya yang penuh percaya diri membuat Anin semakin terpojok. Namun, senyum itu hilang ketika Lukas melihat pisau itu tiba-tiba diarahkan Anin ke pergelangan tangannya sendiri. “Jangan mendekat!” teriak Anin sekali lagi, tangannya bergetar memegang senjata tajam itu. “No, don’t do that!” Matanya membulat sempurna melihat apa yang Anin lakukan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN