Bab 1 : Pelipur Lara

1598 Kata
Lima tahun kemudian "Betah amat jomblo?" sindir Ze dengan seringai khasnya, menggoda Lukas yang duduk tenang menikmati kopinya. "Biar jomblo, dayang-dayangku ada di mana-mana," balas Lukas, senyum tipis terukir di wajahnya, nadanya terdengar santai tapi penuh percaya diri. "Tobat, woi!" ujar Ze sambil melemparkan potongan stroberi ke arah sahabatnya, membuat Lukas terkekeh kecil. Keduanya adalah sahabat karib, sering saling ledek tanpa batas. Malam itu, mereka sedang duduk di kafe milik salah seorang teman dekat mereka. Suasana terasa santai, aroma kopi bercampur tawa riuh dari meja-meja lain. "Move on, Bro. Bukan lo banget gamon begini," kata Ze, lebih serius kali ini. Tatapan matanya mengamati Lukas yang mendadak termenung. Move on? Bagaimana caranya? Lukas sudah mencoba, tapi selalu gagal. Setiap usaha yang ia lakukan berakhir sia-sia, seperti berlari dalam lingkaran tanpa ujung. Akhirnya, dia memilih menyendiri. Sendiri terasa lebih damai. Tak ada beban, tak ada luka. Karirnya terus melesat. Ia sukses besar, bahkan sudah menuntaskan dendam lamanya. Lukas telah menemukan dan menghukum dalang di balik tragedi yang merenggut orang terpenting dalam hidupnya yang tidak lain adalah rekan bisnisnya, pemilik Naka Group. Mereka berusaha menjatuhkan Lukas dengan berbagai cara, tapi selalu gagal. Sampai akhirnya, menyentuh titik terlemah Lukas yaitu Lea. Lea, nama itu masih menggema di relung hati Lukas, meski bibirnya tak lagi mengucapkannya. Kepergian Lea terasa seperti hilangnya separuh jiwa Lukas. Sejak saat itu, Lukas membangun tembok tebal di sekelilingnya, menutup pintu untuk siapa pun yang mencoba masuk. “Balik ah, besok sibuk maksimal,” ujar Lukas. Ze menggeleng, frustasi melihat Lukas yang selalu menghindar dari pembahasan ini. “Lukas,” panggil Ze. “Kamu pantas bahagia, pasti itu yang Lea inginkan di sana.” Lukas tersenyum tipis menepuk pundak Ze pelan lalu meninggalkan kafe. Benar, Babe? Itu yang kamu inginkan? Melihat aku bahagia di sini?” batin Lukas termenung saat mobilnya berhenti lampu merah. Sesaat kemudian dia tersadar dari lamunannya, tatapannya terpaku pada seorang wanita yang baru saja melintas di depan mobilnya. Sosok itu mengingatkannya pada seseorang, begitu familiar, begitu memikat, hingga jantungnya berdegup lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, ia segera membuka pintu mobil, bersiap turun untuk mengejar wanita itu. Namun suara klakson keras dari kendaraan di belakangnya membuat Lukas tersentak. Ia menoleh sekilas melalui spion, mendapati pengemudi lain melambaikan tangan, memintanya untuk segera melaju karena lampu sudah berubah warna hijau. Lukas mendengkus kesal karena gagal mengejar wanita itu. Dengan gerakan cepat, ia menginjak pedal gas, mobilnya melaju kembali. Lukas menghentakkan tangannya ke setir. “Sial!” desisnya, rahangnya mengeras. Pikirannya terus tertuju pada wanita tadi. Ia sempat melirik ke arah trotoar, berharap masih bisa melihat sosok itu di tengah kerumunan. Namun nihil, wanita itu sudah menghilang. *** Suara alarm memekakkan telinga Lukas yang masih setengah terlelap. Dengan gerakan malas, tangannya meraba-raba nakas mematikan jam beker klasik yang terus berdering. Sesaat kemudian ponselnya berdering. Bola matanya membulat sempurna melihat nama sang asisten pada layar ponsel. Pagi ini, dia sudah janji bertemu Evan di salah satu kantor cabang miliknya dan sekarang waktu telah jauh meleset dari rencana. "Saya kesiangan, Evan," ujarnya langsung setelah sambungan telepon tersambung. Dari seberang, suara asistennya terdengar tenang tapi bernada sedikit menggoda. "Sepertinya saya perlu meminta dokter pribadi Bapak untuk menurunkan dosis obat tidur," balas Evan. Lukas mendengus pendek, tapi sudut bibirnya sedikit terangkat. "Atur saja. Kamu pimpin meeting-nya. Saya tetap akan mampir sebentar sebelum golf," ujarnya. Evan menyahut singkat sebelum memutuskan sambungan. Begitu telepon itu berakhir, pikiran Lukas melayang. Wajah wanita yang semalam melintas di hadapannya tiba-tiba kembali menari di benaknya. Ini kali pertama setelah sekian lama Lukas mendapati pikirannya dipenuhi oleh sosok seorang wanita. Dan anehnya, dia bahkan tidak tahu siapa wanita itu, tapi seolah sangat mengenalinya. Lukas mengembuskan napas kasar, mengusap wajahnya. Ia membanting tubuhnya ke kasur, menatap langit-langit kamarnya. Wajahnya …, batin Lukas. Sementara di tempat lain … “Aslinya Ibu nggak mau pisah dengan Anin,” rajuk seorang ibu pada anaknya yang memilih kos di pusat kota Bandung. “Ibu …, kita ‘kan sudah bahas ini sebelumnya,” balas Anin. Anindita Haningrum, seorang gadis belia yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1 dengan beasiswa di Semarang, kini menapaki babak baru dalam hidupnya. Anin, begitu ia akrab disapa, adalah seorang fresh graduate yang hari ini dipanggil untuk tanda tangan kontrak kerja setelah diterima secara resmi di salah satu perusahaan terkemuka di Bandung. Luar biasa bahagia Anin begitu mendapat kabar kalau ia diterima di perusahaan tersebut. Keinginannya bukan sekadar mencari pengalaman kerja, tetapi juga untuk memiliki penghasilan demi membantu ibunya. Sejak ayahnya meninggal dunia saat Anin masih duduk di bangku SMA, ia hanya tinggal berdua dengan sang ibu, Bu Rahma. “Kos-kosan Anin tidak jauh dari kantor tempat Anin bekerja, Ibu. Doakan hari ini berjalan lancar, ya, Bu?” ujar gadis cantik bertubuh kecil nan mungil itu. “Tentu, doa Ibu selalu untuk Anin. Ya sudah, kamu lanjut. Ibu hanya ingin pastikan keadaan kamu. Ibu khawatir, ini kali pertama Anin di Bandung.” Anin terkekeh geli. “Padahal anaknya pernah merantau juga sebelumnya,” kekeh Anin. “Ya, beda, Yogyakarta ke Semarang. Di Semarang bisa lihat kapan saja. Lagi pula, ada Bude dan Pakde. Sekalipun Anin juga kos di sana, mereka tetap memantau keadaan Anin. Kalau di Bandung? Tidak ada siapa pun, Ibu tidak bisa selalu lihat juga. Banyak yang harus dipertimbangkan kalau mau pergi jauh.” “Anin baik-baik saja, Ibu,” balas Anin tidak ingin membuat ibunya khawatir. Bu Rahma segera mengakhiri sambungan telepon karena tidak ingin menyita lebih banyak waktu Anin. Senyum manis terpahat jelas di wajah Anin saat menatap megahnya bangunan di hadapannya. Kekaguman terpancar dari matanya. "Selfie, ah!" gumamnya seorang diri sembari mengangkat ponsel dan mengatur sudut yang pas. Perusahaan ini memang terkenal di kalangannya, ia tidak mau ketinggalan mengabadikan momen penting ini. Tidak sabar ingin memamerkan foto ini pada sahabatnya di Semarang, Bella. Anin adalah satu dari lima mahasiswa yang telah melakukan wawancara virtual hingga akhirnya diterima dan bertolak ke Bandung. “Pasti Mak Lampir kepanasan kalau aku kirim foto ini,” gumam Anin seorang diri, mengingat Bella juga mendambakan perusahaan yang sama. Jepretan pertama berhasil, ia tersenyum lebar. Jepretan kedua diambil dengan gaya yang sedikit berbeda. Saat hendak mengambil foto ketiga, senyumnya tiba-tiba memudar. Di layar ponselnya, ia menangkap sosok lelaki bertubuh tinggi yang muncul dalam bingkai fotonya—mengangkat satu tangannya ke atas, jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk tanda ‘peace’. Cepat-cepat Anin berbalik dan matanya langsung bertemu dengan tatapan lelaki itu—Lukas. Pandangan mata Lukas menatap Anin begitu lekat seraya tersenyum tipis. Anin terpaku sejenak, mengingat siapa lelaki sok asyik di hadapannya ini. Sebelah tangan Lukas terulur pelan, hendak menyentuh pipi Anin. Namun, gadis cantik itu mengepis tangan Lukas dengan gerakan tegas. "Heh! Sopan dikit, ya!" tegurnya, nada suaranya penuh ketegasan. Lukas hanya tersenyum kecil, tak terpengaruh. Sorot matanya tak beralih sedikit pun dari wajah Anin. Lukas menarik Anin dan membawanya ke dalam pelukannya. “Babe, kamu di sini? Aku merindukanmu.” Anin mengerjap sesaat. “Lea,” lirih Lukas, memeluk Anin seolah melepas kerinduan yang teramat sangat. Anin berusaha melepas pelukan Lukas, tapi tenaganya tidak cukup kuat hingga memutuskan untuk menginjak kaki Lukas. Seketika pelukan itu terlepas. “Saya bukan Lea!” Lukas meracau, mengadu rindu. Wajah ini …, Lukas tersenyum bersemangat menemukan wanita yang sejak semalam menari di pikirannya. Tidak salah lagi, wajah inilah yang memenuhi pikiran Lukas dan membuat jantungnya berdegup kencang. Begitu turun dari mobil tadi, pandangan Lukas langsung jatuh pada Anin yang berada tidak jauh darinya. “Kamu sedang apa? Kamu bekerja di sini, Babe?” tanya Lukas, tidak mengindahkan pernyataan Anin. “Babe …, Babe …. Mas salah orang,” ketus Anin, menjauh dari Lukas merapikan penampilannya. Dia memandangi Lukas dari ujung kepala hingga ke kaki, lelaki di hadapannya hanya mengenakan kaos dan celana pendek. “Saya bukan Lea-nya Mas. Dan saya bukan mau kerja, tapi ingin menemui tunangan saya. Dia pemilik perusahaan ini,” tunjuk Anin dengan percaya diri pada bangunan di hadapan mereka. “Mas jangan macam-macam kalau nggak mau saya laporin ke tunangan saya.” Lukas menoleh mengikuti arah pandang Anin kemudian menatap wanita itu yang tersenyum seorang meremehkan Lukas. “Tunangan kamu … pemilik—” Dengan sigap dan mantap Anin memangkas kalimat Lukas. “Kurang jelas, Mas? Tunangan saya pemilik perusahaan ini,” tunjuknya sekali lagi tanpa ragu. “Pasti tahu ‘kan perusahaan ini? Tahu dong, masa nggak tahu.” Seolah hilang akal sehat, Lukas mengernyit bingung. Kemudian tersenyum kecil, berpikir kalau Anin adalah Lea yang ingin sedikit bermain-main dengannya. “Sebaiknya, Mas, pergi. Saya akan melupakan kesalahpahaman tadi,” ujar Anin. Wanita itu melangkah meninggalkan Lukas. Bagaikan kutub magnet, Lukas mengikuti langkah Anin. “Sst …! Heh, heh! Jangan ikutin, mundur. Stay back,” titah Anin saat berbalik mendapati Lukas mengikutinya. Namun lucunya, Lukas patuh—berjalan mundur. “Nah, iya. Mundur lagi. Jangan ikut!” Anin melanjutkan langkahnya sesekali berbalik memastikan Lukas tidak mengikutinya. Wanita itu bahkan memasang wajah sinis. Hal itu tidak membuat Lukas gentar, kedua sudut bibirnya terangkat melihat tingkah Anin yang menggemaskan di matanya. Lukas meraih ponselnya, menghubungi Ben yang selalu berada tidak jauh darinya. “Kamu lihat wanita itu, Ben?” tanya Lukas tanpa menyapa. “Lihat, Pak.” “Do it!” ujarnya kemudian memutuskan sambungan telepon dan beranjak pergi. Belum sempat Anin masuk ke dalam lobi. Sebuah mobil berhenti tepat di belakangnya, membuat Anin menoleh. Dia terkejut saat tubuhnya melayang dan dibawa paksa masuk ke dalam mobil. “Eh, apa-apaan ini—lepas ….” Anin tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena mendadak merasa mual dan pusing setelah mulutnya dibekap dengan kain kecil hingga Anin tidak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN