⚠️Pengaruh Obat Sialan ⚠️

1568 Kata
Warning Adult Content ⚠️ *** "El." Satu panggilan dengan suara lembut itu membuat Arielle langsung menoleh dengan jantung yang berdebar kencang. Tiba-tiba ia teringat semalam saat Alvaro memergokinya. Apakah Alvaro akan mengungkit kejadian malam tadi, ia jadi takut dan sejujurnya malu. "Iya, ada apa, Al?" sahutnya. "Kenapa kau sepertinya kaget, apa aku membuatmu terkejut?" Arielle hanya tersenyum kecil. "Tidak kok." Alvaro muncul membawa sebuah kotak berwarna keemasan dengan pita hitam yang membungkus kotak cukup besar itu. "Ini apa?" Arielle ragu menerimanya saat Alvaro menyodorkan benda itu padanya. "Itu hadiah, kau harus kenakan malam ini." "Malam ini?" "Ya, ada pesta." Arielle menatap kotak itu. "Pesta ya, apa aku harus mendampingi mu?" Alvaro mendekati Arielle, hendak menyentuh pipi wanita itu, tapi Arielle buru-buru mengalihkan wajahnya seolah malu. Alvaro tak biasa ditolak, tapi kali ini aneh. Alvaro merasa perlu bersabar lebih lama menghadapi wanita di hadapannya. "Tentu, kau kan istriku. Jangan lupa, kau di sini untuk itu." Arielle meneguk ludah. "Baik, Al. Aku mengerti." "Bagus, aku akan menunggu." ** Aula pesta malam itu dipenuhi gemerlap lampu kristal dan wangi anggur mahal. Alvaro berdiri gagah dalam balutan jas hitamnya, penuh wibawa dan misteri. Di sisinya, Arielle tampak anggun dalam gaun marun yang memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Veil tipis menutupi sebagian wajahnya, memberi kesan misterius yang justru membuat para tamu pria semakin tertarik. Salah seorang kolega Alvaro menghampiri dengan senyum ramah. “Alvaro, selamat atas pernikahannya. Dan… wow, istrimu cantik sekali malam ini. Kau benar-benar menyimpan kejutan.” Alvaro menoleh ke arah Arielle yang menunduk sopan. Ia mengangguk kecil, lalu menatap pria itu dengan senyum tipis. Ia memang anggun, berkelas, padahal berasal dari keluarga yang tak jelas, batin Alvaro. “Terima kasih. Tapi jangan terlalu menatap, dia milikku.” Pria itu terkekeh, paham batasnya, lalu berpamitan. Arielle mendadak gugup karena perkataan Alvaro yang mengklaim dirinya tanpa basa-basi. "Kau tunggu di sini, ya. Aku akan kesana sebentar," ucap Alvaro. "Baik, Al." Arielle hanya mengikuti perkataan Alvaro, dia menunggu dengan posisinya yang tak berubah, hanya berdiri sambil memperhatikan pesta. Namun di antara para tamu yang datang silih berganti, ada satu sosok pria muda yang cukup nekat. Ia mendekati Arielle saat Alvaro berpaling sebentar untuk berbincang dengan tamu penting lainnya. Pria itu mengenakan jas abu gelap, rapi dan bersih. Ia terlihat ramah dan santun, tidak mencurigakan sama sekali. “Kau pasti lelah berdiri sepanjang malam,” ucap pria itu sambil menyodorkan segelas minuman ringan. “Ini tidak mengandung alkohol. Hanya lemon dan sedikit mint.” Arielle tersenyum sopan. “Terima kasih.” Ia menerima minuman itu tanpa curiga, lalu meminumnya sedikit. Rasanya agak aneh, tak mirip rasa lemon dan mint. Tapi dia tak berpikir macam-macam, itu hanya minuman. "Bagaimana? Apa kau suka?" tanya pria itu. "Em, sepertinya tidak," geleng Arielle. "Coba lagi, mungkin tegukan berikutnya akan lebih enak." Arielle hanya tersenyum sopan. Pria itu sempat menatapnya dengan sorot yang sulit ditebak sebelum tersenyum dan berpamitan. "Aku akan ke sana, nikmati pestanya, ya, Nona." "Ya, terima kasih." Beberapa menit kemudian, Alvaro kembali ke sisi Arielle. Ia baru saja selesai berbicara dengan seseorang dari luar negeri. Saat ia menyentuh lengan Arielle, sesuatu terasa aneh. "El." Arielle terkejut dan menegang. Tatapannya berubah. Napasnya sedikit berat, dan wajahnya mulai memerah. "Wajahmu kenapa?" Alvaro menyipitkan mata, lalu menyentuh pundak Arielle lagi. Gadis itu bereaksi aneh, seperti terlalu sensitif terhadap sentuhan kecil itu. “Ada apa denganmu?” tanya Alvaro pelan, nyaris berbisik. “Aku… tidak tahu,” gumam Arielle. “Sepertinya agak panas di sini." "Panas? Pakaianmu tak beres?" "Bukan." Arielle menutup mulutnya. "Maaf, aku agak kurang enak badan." Tanpa banyak tanya, Alvaro langsung menggenggam tangan Arielle dan membawanya menjauh dari keramaian. Ia membuka pintu sebuah ruangan pribadi di lantai atas gedung pesta, ruangan tempat ia biasa beristirahat jika harus tinggal lama di acara formal. Begitu pintu tertutup, Arielle langsung duduk di sofa panjang dengan napas tak beraturan. Tangannya menggenggam lututnya sendiri, dan tubuhnya sedikit gemetar. Aku kenapa, ini aneh. Aku rasa ini tak beres, batinnya. “Apa kau disentuh seseorang?” tanya Alvaro tegas, namun tetap tenang. Ia memikirkan sesuatu yang mungkin bisa jadi penyebab Arielle jadi aneh. Arielle menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya… mungkin… tadi aku minum sesuatu yang diberikan seorang pria.” Alvaro mendekat, menatap mata Arielle dengan sorot tajam. “Kau tak seharusnya menerima apa pun dari orang asing.” “Aku tidak tahu… dia terlihat baik.” “Dan sekarang tubuhmu bereaksi aneh,” gumam Alvaro, lebih pada dirinya sendiri. Ia mencium aroma samar dari napas Arielle. Wajah wanita itu berkeringat, pipinya kemerahan, dan pandangannya mulai kehilangan fokus. "Seharusnya kau lebih waspada, El. Jangan meminum apa pun, pesta ini bukan tempat yang aman. Kau mengerti?" "Maaf, tapi aku tidak tau dan aku sendirian." Alvaro menghembuskan napas berat. "Benar, karena aku meninggalkanmu sendirian." "Ya, aku tadi hanya mengobrol." "Lain kali tak boleh, El. Kau tak boleh mengobrol dengan siapapun." Arielle mencoba duduk lebih tegak. “Maaf. Aku hanya… aku tidak tahu kenapa aku jadi seperti ini.” Alvaro menyentuh keningnya, lalu menggenggam tangan Arielle. “Tubuhmu sedang berada di bawah pengaruh sesuatu. Mungkin obat perangsang. Efeknya bisa sangat kuat, tergantung dosis.” Obat perangsang, Arielle kaget. Arielle menunduk. Matanya berair. “Apa yang harus kulakukan?” Alvaro menatapnya diam-diam. Hatinya berdebat Tapi melihat tubuh wanita itu mulai menggigil dan kulitnya memerah, ia tahu tak bisa membiarkannya begitu saja. “Aku bisa bantu meredakan efeknya,” kata Alvaro pelan. “Tapi hanya jika kau percaya padaku.” Arielle menggigit bibirnya. Ia tahu apa maksud Alvaro. Tapi ia juga tahu bahwa jika ia membiarkan efek itu terus berlanjut, ia bisa mengalami komplikasi. Perlahan, ia mengangguk. “Aku percaya.” Mata Alvaro menajam, tapi ia tidak langsung menyentuh. Ia menunggu satu anggukan lagi. Dan saat Arielle menatapnya, penuh keyakinan walau wajahnya malu, Alvaro akhirnya mulai bertindak. "Aku akan menyentuhmu di sini, kau tak masalah?" tanyanya lalu mengelus pipi Arielle. Arielle gemetar, tapi dia tak bisa diam saja atau menolak, ia butuh diselesaikan. "Ya ... Al, maafkan aku." "Kau tau, El. Aku tak pernah bertanya saat akan menyentuh wanita manapun. Tapi aneh, kenapa aku hanya ingin kau setujui setiap aku memintamu. Setiap aku menyentuh walau sejengkal kulit halusmu." Alvaro lalu mengecup pipi Arielle, hanya itu dan berhasil membuat sekujur tubuh Arielle menegang. "Ah!!" "Obat sialan!!" Alvaro mengumpat. Arielle menunduk takut. "Maafkan aku, Al. Ini salahku." Alvaro mendekat lagi, menarik napas berat, mencoba menahan desakan gairah yang mulai merayap ke dalam dirinya. Tetapi ini bukan tentang hasrat semata. Ada sesuatu yang lebih mengikat malam ini, karena tubuh Arielle bukan hanya memanas karena efek obat, tapi juga karena dia mempercayakan dirinya sepenuhnya. Sesuatu dalam tatapan itu membuat Alvaro tak bisa gegabah. Ia menangkup wajah Arielle, menahannya dengan lembut agar mereka saling menatap. “Dengarkan aku. Kau tidak perlu takut. Aku akan bantu tubuhmu melewati ini tanpa menyakitimu,” bisiknya tenang. Arielle mengangguk pelan. Bibirnya bergetar. Napasnya cepat, tapi bukan karena takut—lebih pada desakan yang ia sendiri tidak pahami. Sensasi panas itu merambat, dan dia tak tahu bagaimana meredakannya. Alvaro menggeser duduknya ke sisi Arielle, kemudian melepas jas hitam yang ia kenakan, meletakkannya di pundak wanita itu agar tubuhnya tidak terlalu terbuka. “Peluk aku,” perintahnya lembut, tapi tegas. Arielle menatapnya ragu, tapi akhirnya tubuhnya bergerak sendiri. Ia merangkak perlahan ke pelukan Alvaro, membiarkan dirinya bersandar di d**a pria itu. d**a itu hangat, kokoh, dan wangi khas Alvaro menenangkan pikirannya. Alvaro membelai lembut punggung Arielle, menenangkan gemetar tubuh itu. Ia tahu, jika ia terlalu cepat, Arielle bisa panik. Tapi jika ia terlalu lambat, efek obat bisa membuat wanita itu makin tak tertahankan. “Napasmu sesak?” tanyanya, masih membelai dengan ritme pelan. Arielle mengangguk. “Dadaku, terasa sempit. Seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam.” “Itu karena efeknya mulai menyebar ke sarafmu.” Ia mendesah. “Kau harus biarkan tubuhmu melepaskan semua tekanan itu. Aku akan bantu, tapi kau harus ikuti arahku. Jangan lawan, El.” Arielle hanya bisa mengangguk lagi. Ia meremas jas Alvaro yang melingkupi tubuhnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Kenapa kau begitu baik?” bisiknya lirih. “Padahal aku ceroboh. Aku menyusahkanmu.” Alvaro mendekatkan bibirnya ke telinga wanita itu. “Karena aku yang seharusnya marah, tapi malah merasa ingin melindungimu. Sialnya, aku bahkan tak tahu sejak kapan rasa itu tumbuh.” Arielle menutup matanya, meresapi kehangatan itu. Ia tahu tubuhnya butuh lebih. Tapi dalam dekapan itu, ada sesuatu yang lebih kuat daripada sekadar obat. Ia merasa aman. Lengan Alvaro merengkuhnya lebih dalam, dan untuk pertama kalinya, pelukan pria itu bukan soal d******i atau kuasa, melainkan keinginan untuk menjaga. Walau tubuhnya turut terbakar, ia tetap menahan diri. “Aku bisa saja menyentuhmu, El. Aku bisa membuatmu reda dengan satu sentuhan,” bisiknya dengan nada dalam. “Tapi aku tak mau kau berpikir aku memanfaatkanmu.” “Tidak,” Arielle menengadah, menatap mata Alvaro dengan sorot rapuh. “Aku, aku ingin kau bantu aku. Aku tahu ini salahku, tapi aku percaya kau tak akan menyakitiku.” Mata mereka saling mengunci. Alvaro menangkup wajah wanita itu lagi, menempelkan keningnya di sana. “Kau benar-benar membuatku jadi orang berbeda, El. Bahkan saat kau seperti ini... aku ingin menyentuhmu tanpa membuatmu menangis.” Dengan perlahan, Alvaro membawa Arielle berbaring di sofa panjang. Ia tetap menjaga jarak, tetap membelai lembut sisi lengan dan pundaknya. Sentuhan-sentuhan itu bukan tentang nafsu, tapi tentang melepaskan tekanan yang mendesak dari dalam tubuh Arielle. “Aku akan jaga kau malam ini. Kau tak perlu takut.” Arielle menatapnya dengan mata berkaca, menggenggam jemarinya erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN