Jakarta panas siang itu. Saking panasnya, Anggita sampai mengeluh beberapa kali. Keringat kecil menetes di pelipisnya, padahal baru saja turun dari lantai delapan tempat ia bekerja. Udara kantor yang dingin lenyap begitu ia melangkah keluar gedung. Asap kendaraan, klakson, dan terik matahari berpadu seperti orkestra kemacetan khas ibukota. Ia menghela napas panjang, menatap layar ponselnya. Jempolnya sibuk mengetik pesan beruntun pada Rafka. “Sayang, jangan telat ya.” “Aku udah di bawah nih.” “Macetnya parah banget ya? Kamu masih di mana?” “Rafka, aku udah kepanasan nih.” Beberapa detik kemudian balasan datang. “Sabar ya, My Wife. Aku masih di jalan. Macet arah ke kantor kamu. 10–15 menit lagi nyampe.” Anggita tersenyum kecil meski wajahnya masih kusut. “Baiklah, lima belas menit.

