Bab 9. Dewa Si Raja Gombal

1252 Kata
"Lihatlah, dia terus menatap kita." Kanaya berbisik ditelinga Dewa sesaat setelah meninggalkan pelaminan dimana Cindy berada. Wanita yang baru saja menikah itu terlihat terus menatap kearah Dewa dengan pandangan yang tidak rela. Kanaya pun semakin semangat memanasinya agar Dewa juga puas akan hasil pekerjaannya ini. Dewa terkekeh-kekeh kecil, ia tiba-tiba menarik pinggang Kanaya. "Dewa!" Kanaya terkejut, untuk sentuhan seperti ini ia memang masih sangat canggung. "Dia pasti cemburu, dan menyesal telah menikah dengan pria siyalan itu," kata Dewa balas berbisik ditelinga Kanaya. "Well, itu artinya tugasku sudah selesai." Kanaya menarik sudut bibirnya, dengan sengaja mengusap pipi Dewa karena tahu saat ini Cindy masih menatapnya. "Belum sepenuhnya," sahut Dewa mengulas senyum misteriusnya. "Masih mau apalagi?" Dewa tersenyum misterius, ia menarik pinggang Kanaya semakin dekat lalu meraih tangan wanita itu agar memeluk lehernya. "Kita belum berdansa." "Aku tidak bisa berdansa," kata Kanaya. "Pasti bisa, letakkan kakimu diatas kakiku. Aku akan mengajarimu," ujar Dewa dengan mata yang tak lepas memandang Kanaya. Kanaya mengerutkan dahinya, ia menatap Dewa dengan ragu. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk menuruti perkataan Dewa dengan mengangkat kakinya lalu meletakkannya diatas kaki Dewa. Setelah itu pria itu mengajaknya bergerak perlahan seiring suara musik yang mengalun lembut. Dewa tersenyum tipis saat melihat wajah tegang Kanaya. "Anggap saja ini pemanasan, saat kamu menjalankan misimu nanti, kamu bisa saja melakukan hal yang lebih dari ini," ucap Dewa. "Sejujurnya aku tidak pernah ingin membalas dendam. Aku hanya ingin hidup tenang bersama anak-anakku," ucap Kanaya dengan suara lirih. "Tapi perbuatan mereka sangat kejam. Selama ini keluarganya yang telah mendukung perselingkuhan itu hanya karena aku miskin. Apakah itu salahku?" lanjut Kanaya, entah kenapa bisa merasa nyaman saat berbicara dengan Dewa. "Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang bisa memilih takdir. Apalagi mengejudge orang yang posisinya lebih rendah. Ingatlah, kita tetap sama dimata, Tuhan," sahut Dewa sedikit dewasa menanggapinya. "Hah, andai saja setelah bercerai aku dipungut oleh duda kaya raya. Aku pasti akan membungkam mulut besar mereka," kesal Kanaya. Dewa terkekeh-kekeh, ia rasanya gemas sekali melihat wanita didepannya ini. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi Kanaya. "De-wa?" Kanaya berbicara terbata-bata. "Kenapa harus duda? Bukankah didepanmu sudah ada aku, perjaka kaya raya," seloroh Dewa dengan senyum khas dirinya yang menggoda. "Sorry tuan muda, aku bukan wanita yang suka dengan beban orang tua. Masih sekolah, masih minta uang jajan, gimana nanti kalau istrinya minta skincare? Minta orang tua? Ya malu kali," tukas Kanaya mendorong bahu Dewa dengan cukup keras lalu berjalan meninggalkan pria itu. Namun, sebelum ia sempat melangkah Dewa tiba-tiba menarik tangannya hingga ia jatuh ke dalam pelukan pria itu lalu berbisik ditelinganya. "Masih meremehkan ucapanku ternyata, apa perlu aku buktikan dengan menikahimu sekarang agar kamu tahu kalau aku bisa menghidupi istriku?" bisik Dewa. "Pernikahan itu bukan sekedar lelucon," tukas Kanaya. "Aku juga tidak sedang melucu," sahut Dewa memandang Kanaya dengan sangat-sangat serius. Dewa tertawa dalam hatinya saat melihat ekspresi Kanaya yang sangat kaget itu. Ia yakin semua wanita tidak akan tahan dengan tatapan matanya yang sangat tajam. Lagipula, wanita mana sih yang bisa menolak seorang Dewa? "Gila kamu!" seru Kanaya mendorong bahu Dewa perlahan, ia menahan dirinya untuk tidak mengumpat didepan Dewa si kang gombal itu. Dewa cukup terkejut akan hal ini, ia ditolak lagi? *** "Udah sampai disini saja," ujar Kanaya menepuk pelan lengan Dewa saat mobil pria itu sudah sampai didepan rumah. Mereka berdua sudah pulang setelah malam sudah cukup larut. Meski acaranya belum selesai, tapi Kanaya meminta pulang. Anak-anaknya di rumah sendirian, mereka pasti mencarinya. Apalagi jika ada mantan suaminya yang durjana itu, anak-anaknya pasti tidak betah di rumah. "Besok mau aku jemput jam berapa? Rumahnya udah oke," kata Dewa memastikan kembali. "Agak sorean gimana? Aku belum ngomong sama anak-anak. Belum beres-beres barang aku juga," sahut Kanaya. "Baiklah, kalau butuh bantuan udah tau 'kan harus kemana?" Dewa mengerlingkan matanya. "Sebenarnya aku nggak enak ngerepotin terus, tapi kayaknya aku butuh pekerjaan. Kamu ada kenalan nggak? Kerja apa aja deh, yang penting aku dapat uang supaya bisa bayar hutang ke kamu." "Astaga, masih mikirin itu aja. Udah aku bilang tenang aja, Kanaya. Kita itu bukan orang asing," sahut Dewa. "Bukan orang asing? Memangnya sejak kapan kita deket?" cibir Kanaya. "Ini kita deket, udah pacaran malahan." Dewa menaikturunkan alisnya menggoda. "Pacaran, pacaran, pacar palsu iya," sembur Kanaya. "Nggak mau yang asli aja? Rasanya lebih manis, tanpa pengawet buatan. Dijamin lebih enak dan gemes, cobain deh," sahut Dewa. "Kamu pikir ini makanan?" cetus Kanaya tertawa kecil mendengar ucapan Dewa. "Emang beneran kok, kalau yang asli itu rasanya pasti lebih gimana gitu. Ayo deh kita cobain, kapan lagi sih kamu bisa pacaran sama orang yang gantengnya kayak oppa Korea ini. Udah ganteng, perhatian, banyak duit lagi, nggak ada ruginya pasti. Serius!" Dewa menerocos dengan suara yang sangat bersemangat seolah mempromosikan barang dagangannya. Kanaya semakin tertawa, Dewa ini memang sangat lucu sekali. Bisa-bisanya mempromosikan dirinya seperti sebuah barang. "Malah ketawa ini, gimana? Mau 'kan mbak pacar?" ujar Dewa mengdipkan matanya kembali. Ikut senang jika Kanaya bisa tertawa seperti itu. "Aneh-aneh aja kamu. Udah ya, aku mau turun dulu. Terima kasih udah mau bantuin aku," kata Kanaya mengulas senyum yang sangat tulus pada Dewa. "Aduh, jangan senyum kayak gitu, takutnya aku harus ke dokter nanti," ujar Dewa berpura-pura memegangi dad4nya. "Kenapa lagi?" "Ya, takut diabetes, karena senyumnya terlalu manis," ujar Dewa mengulas senyum tanpa dosa. Kanaya menipiskan bibirnya, menahan senyumnya yang otomatis langsung terangkat begitu saja. "Jago banget kalau disuruh speak kayak gitu. Udah sana sekolah yang bener," cetus Kanaya menutupi salah tingkahnya dengan berpura-pura marah. Kanaya lalu turun dari mobilnya, tapi ternyata Dewa ikut turun membuat wanita itu mengernyitkan dahinya heran. Kanaya tidak bertanya apapun, ia langsung berjalan masuk saja ke dalam rumahnya. "Kanaya," panggil Dewa sebelum Kanaya masuk rumah. "Apa? Udah sana pulang," usir Kanaya melirik Dewa malas. "Terima kasih ya untuk hari ini," ujar Dewa. "Nggak usah sok baik deh. Udah sana pulang, aku capek," tukas Kanaya memutar bola matanya malas. "Baiklah aku akan pulang." Dewa mengangguk pelan, tapi ia tetap berdiri disana. "Iya, pulang sana." Kanaya mengangguk mengiyakan. "Kanaya," panggil Dewa lagi. "Apalagi sih! Sekali lagi manggil aku bakalan-" "Nggak apa-apa, cuma mau bilang, selamat tidur ya, jangan mimpiin aku nanti," sahut Dewa melempar senyum menggodanya sebelum ia berlari masuk ke dalam mobilnya. Kanaya tertawa kecil seraya menggelengkan kepalanya, ia melihat kearah Dewa yang kini melambaikan tangannya itu. Ia pun membalasnya seraya mengulas senyum yang tidak mau berhenti. Pria itu benar-benar paling bisa membuatnya salah tingkah seperti ini. "Dewa, Dewa, untung masih bocah. Kalau udah gede, bisa jatuh cinta aku," gumam Kanaya masih dengan tawanya. Setelah memastikan Dewa pergi, Kanaya langsung masuk ke dalam rumahnya. Akan tetapi ia terkejut saat melihat putrinya Keinara berdiri di ruang tamu dengan wajah yang tidak enak dilihat. "Astaga Nara, kamu ngagetin ibu aja. Kenapa belum tidur, Sayang?" tanya Kanaya. "Siapa laki-laki itu?" Nara balas bertanya tanpa basa-basi. "Oh, tadi namanya-" "Apa ibu pacaran dengan laki-laki itu? Aku nggak suka, aku nggak mau ibu deket sama laki-laki. Mereka hanya akan menyakiti ibu, aku benci dengan dia!" seru Nara sebelum Kanaya menjelaskan apapun. "Nara, ibu bukan berpacaran. Ibu hanya berteman," tutur Kanaya menjelaskan. "Sama aja 'kan? Awalnya memang berteman, tapi lama-lama nyaman. Ibu harus tahu, kalau ibu deket sama laki-laki itu lagi, aku marah sama ibu!" Nara tiba-tiba berteriak tanpa mau mendengarkan perkataan ibunya. Pokoknya ia sangat membenci semua laki-laki yang ada di dunia ini. "Nara," panggil Kanaya, ingin menjelaskan kembali tapi Nara sudah lebih dulu pergi. Kanaya menghela napas panjang, tidak tahu lagi bagaimana caranya membuat putrinya itu bisa percaya dengan laki-laki. Sepetinya ia harus bekerja lebih keras lagi. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN