Rahasia Jenggala 16

1425 Kata
"Ma buatin bekelnya dua yah." Pagi-pagi Jelita sudah nangkring di meja makan dengan sepiring buah-buahan di hadapannya. "Dua? Buat siapa satunya?" "Udah jangan banyak tanya, Mama buat aja bekalnya." "Kamu, udah nyuruh, ngomel pula." Jelita nyengir lalu kembali memasukkan buah anggur ke dalam mulutnya. "Kemarin gimana kencan kamu sama Jenggala?" UHUK Jelita tersedak biji anggur, dia bangkit lalu melangkah ke wastafel, menepuk-nepuk dadanya dan keluarlah biji anggur. Juwita meringis, tidak seharusnya dia bertanya seperti itu di saat Jelita sedang makan. "Minum dulu." Jelita menerima jus Semangka lalu meminumnya. "Aku sama Jenggala nggak kencan Ma." "Masa sih?" "Iya." "Terus yang kemarin di lapangan basket, pelukan, pegangan tangan dan lainnya itu apa?" Mata Jelita melotot. "M-mama tahu?" "Tahu dong, Mama sama Papa kan lewat jalan ke sana." Wajah Jelita seketika memerah. Dengan cepat membalikan badannya untuk menutupi rona di wajahnya. Juwita terkikik, dasar anak manja. Baru saja di goda seperti itu sudah malu-malu. Tapi setidaknya Juwita bernafas lega, semua pikiran negatif tentang Jelita seketika hilang saat melihat bagaimana si bungsu bermain bersama Jenggala. Ibu mana yang tidak khawatir jika anaknya lebih memilih diam di kamar seharian? Ibu mana yang tidak khawatir jika anaknya terlalu menjadi anak baik-baik? Oke mungkin pertanyaan terakhir itu Juwita sendiri. Jelita menatap ke kamar orang tuanya, Papanya belum keluar. Bergerak mendekat ke arah sang Mama. "Ma?" "Hmm." "Kalau Lita pacaran sama Jenggala, gimana?" UHUK Sekarang giliran Juwita yang tersedak. Dia menatap Jelita yang menunduk dengan meremas tangannya. "Pertanyaan Mama kamu suka nggak sama Jenggala?" Jelita mendongak lalu menggeleng. "Kalau kamu nggak suka ngapain pacaran." "Ih bukan itu Mama. Maksud Lita tuh, Lita nggak tahu punya perasaan apa sama Jenggala. Setiap Jenggala usap kepala Lita jantung tuh kaya detak dua kali lipat. Terus kadang Lita juga suka salah tingkah sendiri kalau Jenggala udah ngasih perhatian. Lita nggak tahu sama perasaan diri sendiri Mama." Juwita menyentil kening Jelita. Heran. Punya anak sudah mulai tumbuh dewasa tapi tidak tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Ini nih yang membuat Juwita sering uring-uringan pada suaminya. Juwita takut jika Jelita di bodohi pria di luaran saja. Bisa di katakan Jelita itu gadis bego yang nyerempet t***l. Dia tidak tahu mana yang benar dan salah. Jika menurut hatinya begitu, Jelita akan mengikutinya tanpa berpikir dua kali. "Kok Mama malah sentil Lita sih?! Lita kan minta jawaban dari Mama. Papa dulu bilang Mama yang ngejar Papa duluan, Mama yang nyatain cinta sama Papa, masa anaknya nanya Mama nggak bisa jawab sih." Jelita bersungut-sungut kesal saat melihat Mamanya siap mencubit. "Jangan di cubit. Lita aduin sama Papa nanti kalau jadi biru." Juwita berdecak, punya anak tiga, semuanya aduan pada Papanya. "Jelita?" "Apa?" "Kamu minta izin sama Mama buat pacaran sama Jenggala itu maksudnya apa?" "Lita juga nggak tahu." Astaghfirullah. Juwita mengusap dadanya untuk bersabar. Mengurus Jelita sama dengan mengurus 10 anak kecil yang berusia 1 tahun. Di tanya mau apa jawabannya apa. Juwita tahu di balik pertanyaan Jelita, dia pasti sudah merasakan yang namanya jatuh cinta. Jelita sering berkoar-koar pada semua orang di rumah jika dia sudah memiliki kekasih. Ya Allah. Juwita tahu Jelita sangat menyukai Haechan, idolanya, tapi untuk di bawa-bawa sampai dunia nyata tolong di pikirkan, bisa-bisa banyak pria yang menjauh dan menganggap ucapannya itu benar. Mana Juwita akui pria idaman Jelita itu luar biasa. Juwita saja yang sudah tua merasa tertarik bagaimana anak-anak gadis jaman sekarang. Juwita menarik nafas, "Gini deh, perasaan kamu sama Haechan gimana?" "Kok bawa-bawa echan sih, Ma?" Protes Jelita tidak terima. "Jawab aja!" "Yah aku suka sama dia." "Waktu pertama ketemu sama Haechan di konser, jantung kamu berdebar nggak?" Jelita mengingat-ingat 1 tahun yang lalu dimana dia langsung bertatapan muka dengan Haechan. "Biasa aja sih, Ma. Aku suka sama Echan tuh karena kagum, dia ganteng, baik, suaranya bagus, intinya tuh idaman lah buat di jadiin patokan masa depan calon suami aku." Juwita yang sedang memegang spatula mengetok kepala Jelita. "Mama ih sakit! Suka nggak kira-kira ih." Jelita menghentakkan kakinya. "Nggak tahu Lita, terserah kamu ajalah, kesel sendiri Mama." Juwita sudah angkat tangan dengan ke begoan putri bungsunya. Jelita manyun, dia kan sedang membahas dirinya dengan Jenggala bukan Jelita dan Haechan. Mamanya ini ada-ada saja, orang ngobrol kemana ini bahas kemana. Jelita kembali ke tempat duduknya, melanjutkan mengisi perut dengan buah. Mencoba berpikir, untuk apa meminta izin pada Mamanya jika Mamanya saja sudah memberikan Izin. "Btw, kemarin kamu kencan pergi kemana aja, Lit?" "Kepo deh." "Yah kan Mama penasaran, kamu yang biasanya nggak pernah bolos tiba-tiba bolos gitu aja. Papa aja sampe kaget dan nggak percaya, Papa bahkan nyampe telepon Gita buat memastikan kalau itu berita bener." "Ih ya Allah, orang mah anaknya bolos tuh khawatir atau marah ini malah pada nggak percaya." Rasa gelisah yang Jelita rasakan tadi malam di gantikan rasa lega. Dia bahkan bangun pagi-pagi sekali karena siap mendengar omelan orang tuanya tapi semua ekspetasinya hilang begitu saja. Usapan di kepalanya membuat Jelita mendongak, "Selamat Pagi, Pa." "Pagi. Lagi bahas apa nih? Serius banget kayanya." "Yang kemarin Jelita bolos tahunya dia kencan." "Nggak ada yah, Mama ini amit-amit suka suudzon mulu." Juwita tertawa. "Mama mah nggak suudzon yah, Lit. Saksinya juga Papa, yah kan Pa?" Januar menganggukkan kepalanya. "Nggak tahu ah, bete banget aku." Jelita meraih piring nasi gorengnya tanpa menunggu kedua kakaknya, dia sarapan seorang diri. Juwita menyodorkan secangkir kopi pada suaminya. Januar menerimanya lalu mengucapkan terima kasih. Tidak lama Jemita ikut bergabung. "Pagi, Ma, Pa." "Pagi sayang." Jawab Juwita. "Pagi." Jawab Januar. "Nggak sopan makan duluan." Ucap Jemita yang meraih selembar roti. Jelita mencibir tidak peduli, dia sibuk dengan sarapannya. Tidak berapa lama Jenita ikut bergabung, suasana yang awalnya hangat seketika menjadi dingin. Jelita melirik Mama dan Papanya yang tidak seperti biasanya. Apa gara-gara semalam mereka jadi seperti ini? Jelita menghela nafas, dia tidak biasa mendapatkan suasana seperti ini. Jelita menyimpan sendok nya, nasi gorengnya bahkan hanya baru di makan setengahnya. "Bekel Lita mana Ma?" Jelita berdiri dari kursi duduknya. "Loh itu sarapannya belum habis sayang." "Udah nggak nafsu makan." "Kamu sakit?" "Iya." "Sakit apa?" Juwita sudah berdiri dengan memberikan dua buah kotak bekal. "Sakit, liat keluarga sendiri jadi nyebeliin kaya gini, aku pergi." Jelita menarik tas sekolahnya lalu pergi meninggalkan ruang makan. Januar dan Juwita saling menatap, mereka menghela nafas bersamaan tahu apa yang di maksud Putri bungsunya. Jelita memang tidak pernah merasakan suasana seperti ini. Jadi wajar jika dia merasa kesal dan tidak nyaman. Jenita menundukkan kepalanya, tidak tahu harus bagaimana. Sarapan pagi ini hanya di isi keheningan. ??? Jelita melempar tas sekolahnya dengan kasar di atas meja. Gita yang sudah datang lebih awal terkejut, melepas headset yang di pakainya, lalu mendongak menatap Jelita. "Kenapa Lit?" Jelita tidak menjawab, dia menarik kursi dengan kasar lalu menenggelamkan diri di lipatan tangannya. Gita yang awalnya ingin mengomel gara-gara kemarin mengurungkan niatnya. Mood Jelita sedang tidak dalam kondisi baik, sebagai sahabat yang baik, dia akan menghiburnya. "Ada masalah?" Jelita menggelengkan kepala. "Terus kenapa?" Jelita memiringkan kepalanya, pipinya yang chubby bertumpu pada lengannya. "Bolos lagi, boleh nggak yah?" Mata Gita melotot, "Bolos pala Lo kotak. Mau ngapain bolos maneh? Kemarin aja katanya ke UKS, pas gua cari malah ngilang. Di chat kagak di bales, di telepon kagak di angkat." "Kemarin tuh gua bener-bener males banget." "Pergi kemana Lo selama bolos kemarin?" Jelita meringis. "Nggak kemana-mana." "Halah bulshit. Emak Lo kemarin update story di w******p yah, Lo lagi pacaran sama Jenggala di lapangan basket." "Heh?" Jelita mengangkat kepalanya menatap Gita dengan mata melotot. "Apa Lo? Kenapa nggak jujur aja sama gua kalau Lo pacaran sama Jenggala?" "Ya Allah, gua sama Jenggala nggak pacaran yah. Lo bilang Mama bikin status w******p tapi kok di gua nggak ada yah?" Gita menarik kedua sudut bibirnya. "Itu karena story' emak Lo di privasi jangan sampe Lo liat statusnya." "Astaghfirullah. Mana coba gua liat?" Tanpa mendengar persetujuan Gita, Jelita meraih ponsel sahabatnya yang ada di atas meja. Jelita tidak peduli saat banyak pesan masuk ke w******p dengan nomor yang berbeda. Yang dia butuhkan sekarang melihat status ibunya. Jelita bukan Gita yang slalu kepo pada urusan percintaan orang lain. Toh, Gita slalu bercerita jika memang dia sedang detak atau sudah berpacaran. Ya Allah anak gadisku ternyata sudah memiliki kekasih hati (✿^‿^) Jelita melihat ada fotonya yang sedang di peluk Jenggala dari belakang. Demi Tuhan! Bagaimana bisa Mamanya mendapatkan angel foto sebagus ini? Jelita jadi ingin memiliki foto ini. Jelita menscreenshootnya lalu mengirimkan foto itu pada nomor w******p miliknya. Gita yang melihat kelakuan Jelita menggelengkan kepala. Bilangnya nggak pacaran tapi melihat foto sebagus itu buru-buru di kirimkan, dasar Jelita.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN