Bab 09. Mantan Istri Dewa

1064 Kata
Mendengar apa yang Arsila katakan, salah satu sudut bibir Dewa tertarik, menunjukan smirk yang membuat wajah tampannya semakin menarik. Dia meletakan laptopnya ke samping, menatap Arsila dengan ke dua lengan terlipat di d**a. "Contoh?" tanya Dewa. "A-itu, Bapak pasti tau." Arsila merasa malu, dia sadar bahwa saat ini dia sedang memperjual belikan tubuhnya. Tatapan yang Dewa layangkan padanya membuat seluruh tubuh Arsila tanpa sadar gemetar. "Ya, saya tahu." Dewa mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu besok saya akan atur orang untuk membuatkan ibu kamu paspor. Dia mungkin akan berangkat ke sana sekitar satu minggu dari sekarang." "Makasih, Pak!" Arsila lega mendengar apa yang Dewa katakan. Hatinya penuh dengan kelegaan, untuk sementara, dia tidak memikirkan bahwa kesehatan ibunya baru saja dia tukar dengan tubuhnya sendiri. *** "Bapak udah mau berangkat?" tanya Arsila ketika melihat Dewa yang baru saja turun dari lantai atas, mengenakan jas lengkap di tubuhnya. "Enggak sarapan dulu?" Dewa menganggukkan kepalanya. "Enggak, saya buru-buru." Ketika Dewa hendak melenggang pergi dari sana, Arsila dengan cepat menghentikannya. "Tunggu sebentar, Pak!" Arsila kembali ke kitchen, mengambil tas kecil berisi kotak bekal yang telah dia persiapkan. "Ini, buat bapak sarapan di kantor!" Dewa menatap kotak bekas yang dilapisi tas di tangan Arsila, dia mengangkat satu alisnya. "Saya bukan anak TK, Arsila." "Jaman sekarang bukan cuma anak TK yang bawa bekal, Pak. Banyak kok orang kantoran yang bawa bekal." Tidak mau berdebat lebih jauh, Dewa akhirnya mengambilnya dari Arsila dan melenggang pergi. Saat dia hendak melangkah keluar pintu, suara teriakan Arsila kembali terdengar di telinganya. "Jangan lupa kotak bekalnya di bawa pulang lagi!" Sejak satu minggu lalu Dewa menerbangkan ibu Arsila keluar negeri untuk pengobatan, wanita itu tampaknya menjadi semakin antusias dengan Dewa. Arsila menjadi semakin perhatian, mengurus semua keperluan Dewa di rumah. Sejak satu minggu lalu, ketika Arsila mengatakan bahwa dia akan melakukan apa pun untuk Dewa, pria itu belum pernah menyentuhnya lagi. *** Rapat pagi ini berlangsung hingga dua jam penuh, dari pukul tujuh pagi hingga pukul sembilan. Dewa selalu sangat ketat dengan para karyawan perusahaannya, bahkan para petinggi di perusahaan tidak bisa lepas dari matanya yang setajam elang. Setelah rapat selesai, dia keluar dari ruang rapat di ikuti sekretarisnya. Dewa mengatakan apa saja yang harus di perbaiki dan di benahi di sepanjang jalan menuju ruangannya, sedangkan Zoe, sekretaris, menuliskan setiap apa yang Dewa katakan. Tiba di ruangan, Kening Dewa bertaut melihat Nathaniel yang berada di ruangannya, sedang memakan bekal yang dibuatkan Arsila untuknya sarapan. "Woi, Wa!" Nathaniel menyapa Dewa dengan mulutnya yang penuh dengan nasi. "Siapa yang nyuruh lo makan itu?" tanya Dewa. "Ah? Ini? Ini gak lo makan, kan? Makannya gue yang makan!" Nathaniel terus menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Dewa cemberut, dia mengambil kotak bekal yang terbuka itu, menjauhkannya dari Nathaniel. "Siapa bilang enggak gue makan?" Meski memang awalnya Dewa tidak berencana memakan bekal yang dibuatkan oleh Arsila, namun, entah mengapa dia sebal melihat Nathaniel memakan bekalnya. "Lo? Makan bekal? Yang bener aja, Wa. Biasanya lo enggak pernah makan kalau ada yang ngasih bekal." Nathaniel membersihkan mulutnya dengan tisu. "Btw, masakan siapa itu? Enak banget." Duduk di kursinya, Dewa melihat bekal yang tinggal tersisa remahan nasi, dia menutup kotak bekal itu, memasukannya ke dalam tas. "Ck, kepo, lo!" Dewa tidak berniat menjawab. Sebaliknya, dia mengambil bekas di atas meja, membolak-balik nya. "Yaelah, cuma nanya. Siapa tau nanti gue bisa minta di masakin." Nathaniel mengedikan bahunya dengan cemberut. "Kenapa lo di sini? Enggak ke rumah sakit?" tanya Dewa, mengalihkan pembicaraan. Terdengar helaan nafas panjang dari Nathaniel. "Ada dokter di rumah sakit," jawab Nathaniel. "Terus?" "Dia cewek yang dijodohkan sama gue. Males, entah kenapa itu cewe bisa bertugas di rumah sakit yang sama kaya gue." Nathaniel merasa kepalanya pusing ketika mengingat ke dua orang tuanya yang mendesaknya untuk segera menikah. Mereka bahkan menggunakan uang untuk membuat wanita itu bekerja satu rumah sakit dengannya. "Nikah aja, apa susahnya?" tanya Dewa. "Gue bukan, lo, ya! Emangnya lo, bisa nikah cuma karena keperluan bisnis. Mana sekarang di tinggalin." Nathaniel menggeleng-gelengkan kepalanya, mengingat mantan istri Dewa yang pergi setelah melahirkan anak mereka. Dewa mengedikan bahu dengan tidak peduli. "Itu maunya dia, gue enggak peduli." Dua tahun lalu, Dewa menikah atas desakan keluarganya. Wanita itu bernama Karina, adalah anak dari rekan bisnis Dewa, keduanya menikah karena kesepakatan bisnis. Pernikahan keduanya bisa di bilang seperti dua orang asing yang tinggal dalam satu rumah. Anak yang Karina lahirkan pun semata-mata karena keduanya memang butuh anak. Setelah itu, sesuai perjanjian, setelah memberikan Dewa anak, Karina kemudian pergi dan menyusul kekasihnya di luar negeri. Apa Dewa marah? Jawabannya adalah tidak. Tidak sama sekali. Dari awal menikah, mereka tidak memiliki perasaan sedikit pun. Dewa jarang pulang karena pekerjaan, dan Karina juga sibuk berfoya-foya bersama kekasih dan teman-temannya. Dewa membantu perusahaan keluarga Karina, dan Karina memberinya anak, transaksi yang menguntungkan ke dua belah pihak. Hanya saja tidak banyak yang tahu jika Dewa menikah karena hal itu. *** Sore ini Arsila berencana untuk membawa Darren—putra Dewa— ke taman untuk berjalan-jalan. Setiap hari di rumah tanpa melakukan aktivitas apa pun membuat Arsila bosan bukan main. Arsila juga baru mengetahui na bayi yang diasuhnya, karena sebelumnya Dewa tidak pernah memberitahu nama bayi itu. Arsila membawa bayi itu ke taman menggunakan Stroller. Taman berada cukup dekat dengan kediaman Dewa, hanya butuh lima menit hingga akhirnya Arsila tiba. Banyak ibu-ibu di sana yang sedang memperhatikan anak mereka bermain. Selain itu ada juga stan pedagang yang berjajar dengan rapih dan bersih. Arsila duduk di salah satu kursi taman, mengeluarkan Darren dari stroller, membiarkan anak itu duduk di pangkuannya. "Ya, ampun, lucu banget, anaknya, Mbak." Seorang wanita yang terlihat beberapa tahun lebih tua dari Arsila datang, menatap Darren dengan senyuman keibuan. Arsila menoleh ke samping, dia tersenyum sebagai tanggapan. "Empat bulan, Mbak." "Baru pindah, ya? Saya baru liat, Mbaknya di sini." Dia duduk di sebelah Arsila. "Enggak, saya pengasuh. Ini anak yang saya asuh," jawab Arsila dengan canggung. Wanita itu menganggukkan kepalanya. "Oalah, kirain anaknya. Saya Atika, itu, yang baju biru anak saya." Atika menunjuk seorang anak perempuan berbaju biru yang sedang bermain bersama teman-temannya. Arsila mengangguk dan tersenyum. "Ngomong-ngomong, kerja di rumah siapa, Mbak?" tanya Atika lagi. "Di rumah Pak Dewa, Mbak," jawab Arsila, dia sedikit malu karena ini pertama kalinya Arsila berbicara dengan orang selain Dewa. "Dewa? Dewa Brawijaya?" tanya Artika, memastikan. Kepala Arsila naik-turun, mengangguk pelan. "Oh, jadi ini anaknya, Pak Dewa. Lucu banget, bisa-bisanya ibunya malah kabur sama laki-laki lain." Atika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kabur?" tanya Arsila dengan kaget.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN