Bab 11. Mau lihat apa fungsinya?

1005 Kata
"Saya enggak ngapa-ngapain, Sila. Dia tiba-tiba nangis." Dewa membuat ekspresi 'tidak bersalah' di wajahnya, dia tidak berpengalaman mengurus anak kecil. Arsila mendudukkan tubuhnya di sofa, kembali berbicara pada Dewa. "Justru karena Bapak enggak ngapa-ngapain. Anak kecil itu harus di momong, Pak. Di ajak ngobrol, di tenangin. Bukan diem aja! Bapak harus lebih deket lagi sama Darren." Arsila merasa kasihan, anak itu ditinggalkan ibunya dan akan lebih menyedihkan jika dia tidak dekat dengan ayahnya. Dewa menatap Arsila, melihat wanita utu terus memandangi Darren dengan tatapan lembut. Dia juga melihat wajah putranya yang tertawa. Beberapa bulan diurus oleh Arsila, Darren jelas tumbuh dengan sehat. Usianya empat bulan, dengan pipi tembam, mata bulat, dan tubuhnya yang agak gempal. Wanita itu tampaknya sangat menyayangi Darren. "Kenapa diem aja, Pak? Denger, gak, apa yang saya omongin?" tanya Arsila, menegur Dewa yang malah melamun sedari tadi. Dewa memalingkan wajah, menjawab dengan singkat. "Hm." *** Di malam hari, Arsila sibuk memasak makan malam untuk dirinya dan Dewa. Makan malam kali ini adalah sambal goreng ikan cakalang suir, kerupuk, timun sebagai lalapan, dan tidak lupa tempe serta tahu. Dewa tidak pernah memprotes meski semua yang Arsila masak adalah masakan sederhana. Sebaliknya, laki-laki itu makan dengan sangat lahap, bahkan menambah untuk ke tiga kalinya. Arsila senang, siapa yang tidak senang melihat makanan yang mereka masak di makan dengan lahap. "Besok Bapak mau saya masakin apa buat sarapan dan bekal nya?" tanya Arsila dengan penuh minat. "Saya bisa makan apa saja untuk sarapan. Sedangkan untuk bekal, kamu enggak perlu buat itu lagi," jawab Dewa dengan acuh. "Kenapa? Padahal bekalnya spesial saya buat." Arsila cemberut, tangannya sibuk membasuh piring-piring yang dia cuci. Dewa tidak menjawab, pria itu bangkit berdiri, berjalan menuju lantai atas. Arsila yang melihat cemberut, lalu mengedikkan bahu dengan acuh. "Dasar..." gumam Arsila. Selesai mencuci piring, Arsila menonton tayangan tv di ruang keluarga selama satu jam. Setelah agak mengantuk, dia menguap, bangkit berdiri dan kembali ke kamar. Darren sudah terlelap di box bayinya, anak itu tampak bernafas dengan teratur, mulut kecilnya mencabik beberapa kali, entah apa yang ada dalam mimpinya. Arsila tersenyum, hatinya terasa menjadi genangan air setiap melihat betapa lucunya Darren. Karena hendak tidur, Arsila pergi ke kamar mandi, berencana mencuci wajah dan menyikat giginya. Namun, ketika dia menyalakan keran air, tidak ada air yang keluar dari sana. "Kok enggak keluar?" tanya Arsila pada dirinya sendiri. Beberapa saat mencoba, air masih tidak keluar. Arsila dengan agak kesal keluar dari kamar mandi. Dia merasa tidak nyaman karena tidak menyikat gigi dan mencuci wajah. Di tambah Arsila harus memakai skincare, Arsila gelisah. Beberapa saat, Arsila akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar, mengetuk pintu kamar Dewa yang berada di sebelah. Mengetuk pintu kamar Dewa, Arsila baru masuk ketika suara Dewa terdengar. "Kenapa?" tanya Dewa yang tampaknya sedang bekerja. Dewa menatap Arsila yang berdiri di dekat pintu masuk kamarnya sambil membawa handuk kecil, sikat gigi dan pasta gigi, serta botol sabun cuci muka. "Uh, itu, air di kamar enggak keluar, Pak. Saya mau numpang cuci muka di kamar mandi Bapak." "Airnya enggak keluar?" Alis Dewa bertaut. "Besok akan di perbaiki, dilihat apa yang salah. Kamu bisa pake kamar mandi saya." Mengangguk senang, Arsila pergi ke kamar mandi Dewa. Berbeda dengan gaya kamar mandi di kamarnya, kamar mandi Dewa beberapa kali lebih luas. Ada shower, bathtub, closet, dan yang lainnya. Fi samping kamar mandi juga ada walk in closet yang besar, menampung semua jenis pakaian Dewa. Arsila lewat, hanya mengaguminya secara diam-diam. Ketika dia berada di kamar mandi, Arsila menyikat gigi dan mencuci muka. Dia melihat cermin full body di sudut kamar mandi, bertanya-tanya apa fungsinya di sana. "Buat apa cermin segede gaban gini?" "Mau tau?" Arsila terkejut karena suara Dewa tiba-tiba terdengar. Dia sangat fokus mengagumi setiap sudut kamar mandi Dewa hingga tidak sadar jika Dewa masuk. Arsila menoleh, tersenyum canggung. "Eh, Pak." "Kamu mau tau apa fungsinya di sana?" Dewa mengulangi pertanyaannya lagi. Wanita itu mengangguk dengan bingung. "Memangnya buat ap—" Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, mulutnya sudah dibungkam oleh lidah panas milik Dewa. Arsila tercengang, mencoba memberontak. "Diam!" titah Dewa di sela ciumannya. Tidak lagi menolak, Arsila tahu bahwa dia harus melakukannya, sesuai janjinya pada Dewa. Lidah Dewa terus menyusup, menghisap, dan menjilat setiap sudut bibir Arsila. Wanita itu terengah-engah, kewalahan oleh ciuman Dewa. Lengan Dewa melingkari pinggang Arsila, menahan tubuh wanita itu agar tidak bisa menjauh. Beberapa saat kemudian, ketika Dewa merasa Arsila hampir kehabisan nafasnya, Dewa melepaskan ciuman mereka. Arsila terengah-engah, dia dengan lemas bersandar pada Dewa. Jika saja Dewa tidak menahan tubuhnya, Arsila yakin jika dia mungkin akan terperosok jatuh ke lantai kamar mandi. Selama Arsila mengatur nafas, tangan Dewa tidak tinggal diam. Dia merogoh ke dalam celana Arsila, meremas sesuatu yang bulat dan kenyal di bagian belakang tubuh wanita itu. Arsila merasa jiwanya baru saja keluar dari tubuh saat tangan panas Dewa meremas pantatnya. "Pak..." Arsila merasa malu. "Hm?" "Itu—jangan di sini, oke?" "Kenapa? Kamu bilang kalau kamu mau tau fungsi cermin di sini?" bisik Dewa di telinga Arsila. Pria itu lalu mulai mengecup tengkuk Arsila, membuat seluruh tubuhnya gemetar karena geli. Entah berapa lama, antara sadar dan tidak sadar, Arsila tiba-tiba sudah berada dalam posisi 'di gendong' dari depan oleh Dewa. Bagian bawah mereka terhubung, Dewa menaik-turunkan tubuh Arsila dengan cepat. Arsila hanya bisa mendesah dan terengah-engah. Bahu Dewa penuh dengan bekas gigitan yang Arsila tinggalkan. Kegiatan panas dan sosok keduanya terpantul jelas di depan cermin full body. Arsila merasa malu melihat dirinya sendiri yang sedang digagahi oleh laki-laki yang bukan suaminya. Dia membenamkan wajahnya pada leher Dewa, sama sekali tidak berani melihat. Ketika Dewa akan memulai lagi ronde ke tiga mereka di atas tempat tidur, suara tangisan anak kecil tiba-tiba terdengar di layar monitor. Arsila terkejut, entah kekuatan dari mana, dia mendorong tubuh Dewa, hendak bangkit dan turun dari tempat tidur. "Jangan pergi!" Dewa menahan wanita itu. "Darren nangis, Pak!" Arsila berkata dengan tidak sabar. "Biar saya yang bawa dia ke sini." Dewa turun dari tempat tidur, memakai boxer nya, mengambil tisu basah, mengelap tangan dan tubuhnya sendiri dengan itu, lalu dia keluar dari kamar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN