Daddy 3: Papa Menginap

1626 Kata
Hari-hari dilalui oleh sepasang suami istri itu dengan baik. Tidak pernah sekali pun para pembantu dan penjaga di rumah Ghani mendengar suara pertengkaran. Sandra selalu tersenyum di depan Ghani. Setiap pagi, Sandra selalu memasak untuk Ghani. Mereka juga selalu sarapan bersama. Bahkan saat weekend, Sandra selalu menyempatkan diri untuk membuat kue atau puding untuk Ghani dan memasak untuk seharian. Semua orang yang tidak tahu, pasti mengira rumah tangga mereka baik-baik saja. Ghani dan Sandra juga berada di kamar yang sama meskipun setiap malam Ghani selalu tidur di ruang kerja. Awalnya Sandra masih sering bertanya kepada Ghani di mana dia tidur malam hari. Tapi karena Ghani selalu memberi alasan tertidur di ruang kerja, Sandra akhirnya tidak pernah lagi bertanya. Pernah juga suatu saat di tengah malam, Sandra mengecek ke ruang kerja. Dan memang dia melihat sendiri Ghani tidur di sana. Dia tidur di sofa yang jika ditekan tombolnya juga bisa berfungsi sebagai kasur. Sandra hanya bisa menahan nafas. Jadi seperti ini yang diinginkan Ghani? Ya sudah, terserah. Meski dia merasakan sedikit sakit di d**a, tapi dia berusaha menerimanya. Barang-barang Ghani memang berada di samping barang Sandra di closet kamar. Setiap saat, Ghani juga akan masuk ke kamar untuk mengganti baju atau keperluan lainnya. Tapi khusus untuk tidur, Ghani rupanya memilih untuk tidur sendiri. “Aku nanti pulang terlambat. Ada pertemuan dengan direksi,” kata Ghani di sela-sela sarapannya. “Iya, Mas. Pagi ini, aku juga akan berkunjung ke panti lalu kembali ke kantor untuk mengecek laporan keuangan yayasan.” “Apa ada masalah?” “Tidak ada. Hanya saja acara malam amal akan diadakan hari Sabtu besok. Mas, bisa datang menemaniku?” Dengan hati-hati, Sandra bertanya kepada Ghani. Ghani terlihat berpikir. “Kalau Mas sibuk, tidak usah dipikirkan. Aku tahu Mas sibuk.” “Nanti aku cek jadwalku dulu.” “Baik, Mas.” “Di mana acaranya?” “Di Amuz Gourmet.” “Hmm.” Ghani mengangguk sebagai respon. “Akan aku usahakan.” Sandra langsung tersenyum mendengar perkataan Ghani. Ghani mengambil serbet dan mengelap mulutnya. Dia kemudian menatap Sandra lekat-lekat. Sandra yang ditatap seperti itu menjadi salah tingkah. “Ada apa, Mas?” tanya Sandra keheranan dan malu-malu. “Dua minggu lagi pernikahan kita genap satu tahun. Aku berterima kasih padamu karena menepati janji tidak mencampuri urusanku dan tidak menghalangiku mengembangkan bisnisku. Aku juga berterima kasih karena kau sudah berperan sebagai istri yang baik. Aku akan benar-benar berusaha datang di acara amal itu. Siapkan saja bajuku. Aku tidak ingin direpotkan dengan dress code. Aku berangkat dulu.” Ghani berdiri, meraih tas kerjanya dan berjalan menuju pintu. Sandra hanya diam termangu. Dia pikir jika dia berperan sebagai istri yang baik, Ghani akan melupakan perjanjian sialan itu. Dia pikir Ghani akan benar-benar bisa menerima kehadirannya. Tapi dia salah. Ya Tuhan, baru saja aku tersenyum karena akan datang ke pesta amal bersamanya. Tapi ternyata itu adalah balasan karena aku sudah berlaku baik dan sebagai perpisahan kami, batin Sandra. Sandra berusaha tersenyum kembali. Well, setidaknya Sandra sudah memberikan kesan yang baik pada Ghani. Ternyata mencintai seorang diri itu cukup melelahkan. -- Malamnya, Ghani benar-benar pulang terlambat. Sandra yang menunggunya di depan TV sampai tertidur di sofa. Hingga acara tidurnya terganggu karena suara yang mengganggunya. “San, Sanda. Bangun, San!” Sandra menggumam tidak jelas dan membenarkan posisinya. Kini bahunya juga ditepuk-tepuk. “Sandra, bangun dulu. Jangan tidur di sini. Ayo pindah ke kamar.” Sandra mengerjapkan matanya. Dia juga mengucek-ucek matanya. Saat seluruh kesadarannya terkumpul, dia berjangkit kaget. “Papa! Kapan datang? Kenapa tidak bilang-bilang? Maaf Sandra ketiduran di sofa.” Ternyata Dimas, papa Ghani, datang berkunjung. Sandra malu sekali ketahuan tidur di sofa. Pasti posenya memalukan! Iih! Papanya hanya tersenyum. “Tadi Papa ada undangan di dekat sini jadi sekalian mampir. Sudah lama tidak berkunjung ke sini.” Sandra mangut-mangut mendengar penjelasan papa Ghani. “Ghani mana?” tanya Papanya lagi. “Mas Ghani belum pulang, Pa. Ada pertemuan. Mungkin sebentar lagi pulang. Papa mau tidur di sini?” “Iya, inginnya begitu. Ghani itu terlalu sering bekerja sampai-sampai tiga bulan tidak datang ke rumah. Cobalah bilang sama suamimu jangan terlalu lelah.” “Hmm, iya Pa.” Sandra hanya bisa merespons begitu. Mau bagaimana lagi? Ghani memang workaholic. Dia sangat suka bekerja. Tidak heran perusahaannya semakin berkembang setelah dipimpinnya. “Sebentar, Sandra bilang ke Mbak Kartini dulu untuk menyiapkan kamar tamu. Papa mau dibuatkan apa?” “Air putih saja. Tadi papa sudah makan.” “Baik, Pa. Sebentar.” Tidak lama kemudian, Sandra kembali dengan membawa segelas air putih di atas nampan. “Ini, Pa. Diminum dulu.” “Terima kasih, Sandra. Bagaimana Ghani? Dia baik padamu?” selidik Dimas, papa Ghani. “Mas Ghani baik, Pa. Dia tidak pernah kasar pada Sandra,” jawab Sandra dengan tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Ghani itu tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Papa takut dia ‘sedikit berbeda’.” Dimas tersenyum kecut saat mengatakan itu. Dimas sedikit banyak tahu tentang keadaan psikis Ghani. Dia sadar dia menjadi bagian dari penyebab Ghani yang seperti itu. Karena itu dia bersedih saat Ghani pernah mengatakan kalau dia tidak pernah ingin menikah. Dimas tahu kalau Ghani takut. Dia takut akan disakiti oleh perempuan. Itu sebabnya dia memaksa Ghani untuk menerima perjodohannya dengan Sandra. Dengan berbagai ancaman, akhirnya Ghani setuju untuk menikah. Dimas senang luar biasa. Apalagi Sandra juga terlihat bahagia hidup dengan Ghani. Segala ketakutannya hilang. Dia berharap Sandra akan terus menjadi menantunya. “Maaf, Nya. Kamarnya sudah siap.” Suara Kartini menginterupsi keduanya. “Iya, Mbak. Terima kasih,” jawab Sandra. “Ayo, Pa. Istirahat dulu.” Sandra berdiri dan mengantarkan Dimas menuju kamar tamu. “Terima kasih, Sandra. Kamu juga sebaiknya tidur. Kita tidak tahu kapan pulangnya bocah sok sibuk itu.” Dimas sedikit mendengus kesal. Sandra tertawa renyah mendengarnya. ”Iya, Pa. Sandra juga akan naik ke kamar. Sampai jumpa besok, Pa.” Sandra pun berlalu menuju kamarnya sendiri dan langsung tertidur. Ghani masuk rumah ketika jam sudah menunjukkan pukul 23.20. Semua lampu sudah mati, hanya ada beberapa lampu dengan watt kecil di depan TV dan dapur. Dengan lemas, Ghani masuk kamar. Sandra sudah berteman dengan selimut dan mimpi. Ghani tidak ingin memandang istrinya terlalu lama. Jika tidak, penyakit jantungnya akan kambuh lalu disusul dengan sesak nafas dan tangan berkeringat. Ghani langsung menuju closet dan melihat piama yang sudah disiapkan oleh Sandra tergantung di pintu. Ghani tersenyum tipis. Saking tipisnya, hanya dia yang mampu merasakan tanpa orang lain tahu. Ghani mengambil piama itu dan berlalu menuju kamar mandi. Setelah membasuh wajah, menyikat gigi dan mengganti baju, Ghani keluar. Dia menyempatkan diri melirik Sandra lalu keluar kamar menuju ruang kerja untuk tidur. Pagi hari, Sandra sudah berkutat di dapur untuk menyiapkan sarapan. Dimas juga sudah bangun hendak mengambil air putih. “Pagi, San,” sapa Dimas. “Pagi, Pa. Kopi atau teh?” tawar Sandra. Dimas tersenyum. “Air putih saja. Nanti setelah sarapan, boleh buatkan papa kopi.” “Baik, Pa.” Dimas bahagia. Sepagi ini menantunya sudah menyiapkan sarapan. Ghani pasti bahagia hidup dengan Sandra. Apalagi dia juga tidak pernah mendengar keributan yang terjadi di rumah tangga mereka. “Ghani mana?” tanya Dimas. “Mungkin masih di ruang kerja, Pa.” Sandra yang sedang sibuk memasak, langsung menjawab tanpa banyak pertimbangan. Tapi sedetik kemudian, dia tersadar. Dan Dimas sudah di depan ruang kerja Ghani dengan pintu terbuka. Dimas melongo melihat apa yang ada di hadapannya. Ghani masih tertidur di atas kasur sofanya. Apa ini? Pikir Dimas. “Pa.” Sandra dengan takut menghampiri mertuanya. “Jelaskan apa ini, Sandra?? Kenapa Ghani tidur di sini??” mata Dimas sudah membulat. Suaranya sudah naik tiga oktaf. Dia butuh jawaban. Tidak, dia butuh penjelasan!! “Pa, kita duduk dulu ya.” Sandra berusaha membujuk Dimas. Dimas lalu menoleh pada Ghani yang sudah bergerak-gerak terganggu dengan percakapan di dekatnya. Apalagi Dimas berkata dengan suara keras. “Bangun, Ghani!!” Ghani tersentak. Dia berjingkat kaget bahkan hampir terjungkal ke lantai. Dia bertambah kaget saat melihat papanya berdiri di sana. Ada apa ini? Batin Ghani. “Sekarang kau, Ghani, jelaskan pada papa kenapa kau tidur di sini? Kenapa tidak tidur di kamar bersama Sandra?” Ghani membuka dan menutup mulutnya. Dia bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin dia berkata kalau setiap malam dia tidur di sini. “Pa, Sandra minta maaf. Semalam Mas Ghani pulang sangat larut. Sandra capek menunggunya. Hingga Sandra sengaja mengunci pintu kamar. Jadi Mas Ghani terpaksa tidur di sini.” Sandra berusaha memberikan jawaban yang masuk akal. Ghani hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Dimas menoleh pada Ghani. “Benar itu, Ghani?” Dimas mengernyit menuntut jawaban dari Ghani. “Iya, Pa. Tadi malam Ghani terkunci di luar kamar.” “Lalu kamu dapat piama dari mana? Bukankah pintunya terkunci?” selidik Dimas. Ghani bingung hendak menjawab apa. Dia melirik Sandra meminta bantuan. Sandra menggeleng lemah dan mengendikan bahu. “Tidak bisa menjawab?” tanya Dimas. “Bukan begitu, Pa......” “Lalu?” “Sandra yang menyiapkan bajunya, Pa.” Sandra memotong pembicaraan. Lalu dia melanjutkan, “Sandra sempat menaruh piamanya di luar kamar sebelum mengunci pintu. Itu yang sebenarnya terjadi, Pa. Maafkan Sandra sudah kekanakan.” Dalam hati, Ghani sangat berterima kasih pada Sandra. Sedangkan Sandra sudah memasang wajah melas. Dimas tidak sampai hati melihat menantunya yang terlihat sangat menyesal itu. Dimas mengela nafas. “Sudahlah, Sandra. Ghani memang sekali-kali perlu diperlakukan seperti itu agar tidak terlaku fokus bekerja dan lebih memikirkan keluarga. Apalagi sebentar lagi kalian merayakan ulang tahun pernikahan.” Dimas mengatakan itu sambil tersenyum. Dia memahami Sandra yang sering ditinggal kerja sampai larut malam. Meski dalam hati kecilnya, dia meragukan alasan mereka berdua tidur terpisah. Seperti ada yang ditutup-tutupi. Jangan lupakan dia adalah pebisnis andal. Dia bisa membaca mata orang yang sedang berbohong. Baiklah, dia akan menyelidiki ini sendiri. Dimas tersenyum dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN