Dua hari sejak pertemuan pertama mereka di kafe, Dayu belum juga meluangkan waktunya untuk berbicara dengan cowok itu. Padahal sudah dua hari pula cowok itu mengikutinya kemana pun dia pergi. Membayanginya seakan jubah yang melekat di punggungnya. Mengikutinya dengan sabar, meski kesabarannya sudah setipis benang.
"Kamu udah ngga sibuk?" Sebuah suara yang sudah dikenalnya, menyapa telinganya.
Dayu sudah hafal pemilik suara itu, walau dia berusaha melupakan kehadirannya.
Dayu menyandarkan tubuhnya di atas wing chair coklat yang ada di kamarnya. Matanya tertuju ke atas plafon kamar yang terbuat dari gypsum. Dia kelelahan setelah seharian ini melakukan berbagai aktifitas, mulai dari perkuliahan, hingga kegiatan di organisasi. Padahal dia bukan anggota resmi, keberadaannya di sana hanya untuk membantu Athaya. Tapi kerepotannya melebihi anggota resmi.
"Emang siapa yang sibuk?" sahutnya tak acuh. Ya, dia bukan sibuk, hanya lelah.
Lagipula jika dirunut, ini kali pertamanya Dayu mengacuhkan panggilan dari sosok yang hanya bisa dilihat oleh mata batinnya.
Keputusan gegabah yang kini membuatnya menyesal.
Menyesal karena sudah mengikuti rasa penasarannya terhadap lelaki yang dilihatnya di kafe itu.
Lelaki itu memandangnya lekat.
Selama beberapa menit mereka saling menatap, sebelum akhirnya lelaki itu kembali bersuara.
"Aku udah lakuin semua yang kamu mau, sekarang kamu harus penuhin janji kamu.'
Dayu mengalihkan pandangannya dari cowok itu, dan menegakkan tubuhnya.
"Aku ngga pernah janji. Aku hanya bilang akan membantu kalau aku bisa dan sempat." Jelas Dayu dengan raut wajah serius.
"Tunggu, jadi kamu bakal ngusir aku setelah semua yang kulakuin?"
"Tunggu?! Memangnya apa yang udah kamu lakuin buatku?" sindir Dayu. Keduanya saling menatap tajam, suasana terasa panas.
Cowok itu beranjak mendekati Dayu, dan berdiri menantang di depannya.
"Kamu minta aku untuk ngga berisik, ngga bicara sebelum ditanya, ngga mengejutkan kamu, dan menjaga jarak ngga kurang dari dua meter dari kamu. Kamu beneran lupa atau hanya pura-pura?!" Kesalnya.
"Dan sekarang kamu melanggar poin terakhir, lalu tadi kamu berbicara tanpa kuminta. Sudah dua hal yang kamu langgar." Vonis Dayu.
"Itu karena kamu terlalu menguji kesabaranku!!" Omel cowok itu mulai terpancing.
Dayu menundukkan kepalanya, lalu menghela nafas panjang.
"Oke, apa yang kamu mau?"
"Bantu aku."
"Jenis bantuan apa yang kamu minta dari manusia sepertiku?"
"Sebelum itu ... kamu punya nama kan? Siapa nama kamu?" lanjut Dayu, menatapnya dengan seksama.
"Aku udah ngasih tahu kamu!"
Dayu memutar matanya, mulai kehilangan kesabaran menghadapi makhluk di depannya.
"Aku lupa. Wajar kan, kamu lihat sendiri selama dua hari ini banyak yang harus aku kerjain, dan banyak hafalan yang dipaksa masuk ke kepalaku, belum lagi aku ... "
"Kaivara." Tukas lelaki itu cepat.
"Hah?"
"Kai ... " ulangnya.
"Vara?"
Lelaki itu mengangkat kedua alisnya.
"Nama yang aneh ... " ucap Dayu pelan.
"Terima kasih!"
"Itu bukan pujian!" sergah Dayu.
"Jadi kapan kamu bisa membantuku?" tandas Kai.
"Nanti." Tegas Dayu.
"Kapan?" ulang Kai.
Sosok bernama Kaivara itu tak goyah meski Dayu memberikan tatapan sengitnya. Keduanya seolah sedang menantang satu sama lain.
Dayu menghembuskan nafas dengan kesal. Lalu bangkit dari kursi tanpa memberikan jawaban yang diinginkan lawan bicaranya.
"Yu!"
"Besok!!" ucap Dayu akhirnya.
Dayu melajukan motornya di atas jalanan komplek yang lengang. Sebenarnya tidak nyaman berjalan di sekitaran komplek karena bisa saja menimbulkan kesalahpahaman jika tetangga yang paranoid mengira dirinya sedang mencari mangsa untuk merampok rumah. Lagipula, meski bukan tergolong komplek elit, namun rata-rata penghuni komplek tempat Dayu tinggal adalah keluarga mapan berpenghasilan tinggi.
Dayu tertawa dalam hati mengetahui pemikiran absurdnya. Sepertinya dia membutuhkan pengalihan dari masalahnya dengan Kai yang sudah mulai menyita kewarasannya.
Merasa cukup berkeliling seputar tempat tinggalnya, Dayu melajukan motornya ke jalanan besar. Menuju perpustakaan kota, sudah tersusun di benaknya.
Dia selalu tertarik melihat drama Korea yang mengambil latar di tempat penuh buku-buku tersebut. Terasa romantis, padahal yang selalu dibayangkannya, perpustakaan adalah tempat yang membosankan dan kaku. Dan kenyataannya memang begitu.
Tiba di tempat tujuannya, terlihat orang-orang sibuk dengan bacaannya. Begitu pun Dayu.
Tak ada suasana romantis, karena tujuan mereka datang ke tempat ini bukan untuk mendapatkan suasana itu melainkan untuk tujuan mulia yaitu mencari pengetahuan. Lain halnya jika datang dengan pasangan, mungkin sedikitnya suasana itu akan tercipta dari pasangan yang menghendakinya.
Beberapa menit berlalu Dayu menghabiskan waktunya dengan membaca sebuah buku dongeng. Kegemarannya dari kecil memang membaca buku cerita, baik itu dongeng, hikayat, maupun sejarah, hingga komik. Komik favoritnya adalah Detektif Conan, Candy-candy, Topeng Kaca, atau komik misteri yang kebanyakan berasal dari Jepang.
Namun untuk saat ini sepertinya Dayu tidak bisa fokus dengan bacaannya. Dari tadi halaman bukunya tidak juga berpindah. Matanya nyalang memandangi sepasang muda-mudi seusianya yang berjarak 100 meter dari hadapannya.
Dalam hati Dayu tidak bisa untuk tidak merutuk.Sikap mereka terlalu kentara hingga membuat Dayu memaki.
"Tahan dikit bisa kali, ngga lihat apa ini lagi dimana? Ada penjaga tahu rasa!" gertak Dayu dalam hati, saat melihat keduanya saling menempelkan bibir di pipi masing-masing.
Namun tak lama, Dayu tersadar dengan tindakannya. Ikut campur dengan urusan pribadi orang lain, bukan kebiasaannya. Dayu mempertanyakan kenapa dirinya menjadi seperti ini, apakah dia merasa dirinya tertekan dengan kehadiran Kai, ataukah dia terlalu terpaku dengan mimpi yang dialaminya sehingga ketika kenyataan tak berjalan sesuai angan-angannya, hal itu membuatnya kecewa dan putus asa?
Dayu tak menjawab pertanyaan itu. Dibiarkannya hatinya terjebak dalam kebingungan.
Dia lalu menutup buku yang dibacanya, dan beranjak dari tempat itu. Saat melihat sebuah pohon yang rindang di depan bangunan perpustakaan, Dayu duduk di bawahnya. Dibiarkannya hembusan angin menerbangkan helai-helai rambutnya yang tergerai. Untunglah dia keramas hari ini, membuat rambutnya terasa ringan dan lembut bagaikan sedang berada di sebuah adegan iklan shampo.
Dayu memandangi barisan berbagai tanaman yang ditanam dengan rapinya, membuatnya betah berada di sana. Pikirannya menjadi lebih tenang dan tentram, dan dia baru menyadari bahwa inilah yang dia butuhkan. Berada jauh dari orang-orang, di tengah sapuan angin dan suasana hijau yang mengelilinginya.
Tanpa bisa ditahannya, Dayu jatuh tertidur dengan bersandarkan batang pohon. Dia baru tersadar bahwa dirinya telah tertidur cukup lama saat seseorang mengguncang bahunya pelan.
"Maaf, permisi tempatnya mau ditutup." Ucap lelaki tua yang memakai baju yang seragam dengan petugas di dalam perpustakaan.
"Ah, oh ... maaf, saya ketiduran. Sudah mau tutupnya? Sekali lagi maaf ... " Ucap Dayu dengan pipi memerah campuran menahan malu dan akibat tertidur lelap.
Tidak biasanya dia ceroboh seperti ini. Biasanya meski merasakan kantuk separah apapun, Dayu tidak akan pernah tidur di tempat terbuka ataupun umum sendirian tanpa ada yang menjaganya.