Bab 1 – Bayangan dan Cahaya
Hujan turun deras malam itu, mengetuk kaca jendela sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya layar komputer. Puluhan baris kode meluncur cepat di monitor, bergerak seolah menari di antara bayangan. Jari-jari panjang seorang pria menari di atas keyboard, lincah dan cepat seperti peluru ditembakkan dari laras senjata.
Dialah Adrian Kael.
Di dunia maya, namanya legenda sekaligus hantu. Tak pernah ada yang benar-benar tahu wajahnya, tapi semua koruptor, pejabat kotor, dan pebisnis hitam mengenal jejaknya: sistem yang porak-poranda, rekening yang terkuras, dan aliran dana misterius yang selalu bermuara pada yayasan-yayasan sosial.
Namun bagi dirinya sendiri, Adrian hanyalah bayangan. Lelaki yang sudah lama kehilangan arah, kehilangan keluarga, kehilangan Tuhan. Luka lama masih menempel di hatinya, menggerogoti setiap napasnya. Luka yang lahir dari malam berdarah ketika keluarganya direnggut oleh orang kepercayaan ayahnya sendiri.
Tatapannya menusuk layar, mata hitamnya seperti menyimpan bara dendam yang tak pernah padam. Rambut hitam berantakan menutupi sebagian dahi, menambah kesan dingin pada wajah tampan namun pucat itu. Luka kecil di alis kanannya menjadi tanda permanen—kenangan pahit yang tak pernah bisa ia hapus.
“Terkunci,” gumamnya lirih.
Klik terakhir pada keyboard, dan satu sistem besar kembali runtuh. Dalam hitungan detik, jutaan dolar berpindah tangan. Senyum samar mengulas bibirnya, tapi itu bukan senyum puas—lebih mirip sekilas kejam dari seseorang yang tak lagi mengenal arti kemenangan.
Sampai matanya berhenti pada satu nama di layar.
Yayasan Cahaya Almira.
Adrian menghela napas panjang. Ia mengenal tempat itu. Bukan sekali dua kali ia mengalirkan hasil rampasannya ke sana. Yayasan itu berbeda: bersih, jujur, dan benar-benar menggunakan setiap dana untuk anak-anak yatim dan dhuafa. Tak ada catatan kotor, tak ada tipu daya. Hanya kebaikan.
Namun Adrian tidak pernah tahu siapa yang berdiri di baliknya.
Di sisi lain kota, aula besar berhias lampu kristal berkilauan. Malam itu yayasan menggelar acara amal, mengundang para konglomerat dan dermawan. Suara percakapan, denting gelas, dan musik lembut memenuhi udara.
Di tengah keramaian itu, seorang perempuan berdiri anggun, menyambut tamu dengan senyum tulus.
Zahira Almira.
Putri konglomerat, namun hatinya tak terikat pada harta. Malam itu ia mengenakan gaun muslimah biru tua dengan hijab sederhana yang membingkai wajah ovalnya. Matanya cokelat teduh, bibir tipisnya melengkung ramah setiap kali ia menyapa.
Bagi yayasan, Zahira bukan sekadar simbol keluarga Almira. Ia turun langsung ke lapangan: mengajar anak-anak, mengangkat karung beras, bahkan membalut luka kecil di lutut anak panti dengan tangannya sendiri. Ia bukan hanya cahaya, tapi juga hangatnya api yang membuat orang lain berani melangkah.
“Selamat datang, Pak. Semoga Allah melipatgandakan kebaikan Bapak malam ini,” ucapnya sopan pada seorang donatur.
Senyumnya membuat orang lupa bahwa ia seorang pewaris kaya raya. Senyumnya menenangkan, seolah dunia yang penuh kegelapan masih punya harapan.
Dari atap gedung seberang, Adrian berdiri dalam hujan, jaket hitamnya basah menempel di tubuh. Dengan teleskop kecil, ia menatap aula yang penuh cahaya itu.
Dan untuk pertama kalinya, ia melihat Zahira.
Wajahnya bercahaya di bawah lampu kristal, lebih indah dari semua kilau perhiasan malam itu. Adrian terdiam, dadanya terasa aneh. Ada sesuatu yang menekan keras—perasaan asing yang sudah lama ia kubur.
Kilasan ingatan muncul. Seorang gadis SMA di perpustakaan, tenggelam di antara buku-buku tebal. Senyum lembut yang menyapanya ketika ia terlambat mengembalikan buku tafsir. Tatapan teduh itu… sama persis.
“Kenapa… wajah itu terasa begitu familiar?” bisiknya.
Suara Zahira terdengar jelas melalui pengeras suara ketika ia naik ke podium.
“Hidup bukan tentang seberapa banyak kita memiliki, tapi seberapa ikhlas kita memberi. Semoga Allah menjadikan kita semua jalan cahaya untuk orang lain.”
Kata-kata itu menampar Adrian.
Cahaya. Kata yang baginya tak ubahnya racun. Cahaya telah padam dari hidupnya, digantikan api dendam yang tak pernah padam.
Namun entah mengapa, saat menatap Zahira, ia merasa seolah ada secercah cahaya berusaha masuk kembali ke dalam dirinya.
Ia menggertakkan gigi, menyalakan rokok, asapnya melayang bercampur hujan.
“Tidak… aku tidak butuh cahaya. Aku hanya butuh membakar dunia yang sudah membakarku lebih dulu.”
Tapi matanya tetap terpaku.
Semakin ia mencoba mengalihkan pandangan, semakin kuat magnet itu menariknya.
Adrian tidak tahu, malam itu bukan sekadar kebetulan.
Itu adalah awal dari kisah yang akan mengikat mereka—cahaya dan kegelapan—dalam cinta yang tak pernah halal.
Adrian berdiri cukup lama di bawah hujan, membiarkan dingin menusuk tulangnya. Matanya masih terpaku pada satu titik di aula—wajah perempuan itu. Semakin ia menatap, semakin hatinya diganggu oleh sesuatu yang tak bisa ia kendalikan.
Ia mengutuk dirinya sendiri.
“Kenapa aku harus peduli? Aku tidak lagi hidup untuk hal-hal seperti ini.”
Namun, suara Zahira terus terngiang di telinganya. Kata-katanya sederhana, tapi menembus jauh ke dalam hatinya. Seakan setiap huruf yang keluar dari bibirnya dirancang khusus untuk menusuk bagian dirinya yang paling rapuh—bagian yang sudah lama ia kubur bersama doa-doa yang tak pernah ia panjatkan lagi.
Adrian menyalakan rokok kedua, mencoba mengusir kegelisahan. Api merah kecil beradu dengan derasnya hujan. Ironis. Bahkan di tengah hujan pun, bara tetap menyala. Sama seperti dirinya—dikepung gelap, tapi tak pernah benar-benar padam.
Pandangan matanya bergeser. Ia menyaksikan Zahira yang kini duduk di samping anak-anak panti. Senyum lembutnya, sentuhan tangannya yang menenangkan, caranya membisikkan kata-kata penyemangat—semua itu memunculkan rasa asing di d**a Adrian.
“Kenapa harus kamu?” gumamnya dengan suara serak.
Ada tarikan aneh di antara keduanya, meski Zahira tak tahu bahwa di seberang gedung, seorang lelaki asing sedang memperhatikannya. Tarikan yang tidak pernah ia rencanakan, dan yang paling ia benci—tarikan yang membuatnya ingin mendekat, padahal seluruh hidupnya adalah tentang menjauh.
Suara azan dari masjid kecil di seberang jalan tiba-tiba terdengar, menggema di antara hujan. Adrian memejamkan mata sejenak. Jantungnya berdebar aneh, bukan karena takut, tapi karena diingatkan pada sesuatu yang dulu begitu akrab baginya. Sesuatu yang kini terasa asing—dan menyakitkan.
Ia meremas rokok yang belum habis, membuangnya ke genangan air. Api kecil itu padam, tapi bayangan Zahira justru semakin menyala di benaknya.
Dengan langkah berat, Adrian berbalik meninggalkan atap gedung. Setiap derap kakinya seakan menegaskan satu hal: ia tidak akan membiarkan dirinya hanyut oleh cahaya itu. Tidak lagi.
Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu satu kenyataan yang tak bisa ia ingkari:
perempuan itu sudah masuk ke dalam pikirannya. Dan tidak ada jalan keluar.
Malam itu, hujan tak hanya membawa dingin. Ia membawa awal dari sebuah kisah penuh luka, obsesi, dan cinta—cinta yang tak pernah halal.