Bab 2 – Jejak yang Tersisa

1099 Kata
Pagi datang dengan langit mendung. Hujan semalam masih menyisakan genangan air di jalan-jalan kota. Udara dingin begitu menusuk, seolah enggan untuk beranjak dari sisa malam yang penuh rahasia. Di kamar luas bernuansa gelap, Adrian menatap layar komputer yang masih menyala. Di sana, data terakhir yang ia bobol semalam terpampang jelas. Deretan angka, kode rekening, dan catatan transaksi memenuhi monitor. Tapi matanya berhenti pada satu nama lagi-lagi Yayasan Cahaya Almira. Ia kemudian mengetukkan jarinya ke meja, resah. Biasanya, setelah sebuah operasi yang dia lakukan , ia menutup berkas, memindahkan dana, lalu menghilang tanpa meninggalkan jejak. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang membuatnya bertahan, seakan namanya sendiri terkunci di layar itu. “Zahira Almira…” Adrian menyebut nama tersebut dengan lirih, mencoba merasakan bunyi nama itu di bibirnya. Seketika, bayangan wajah yang ia lihat tadi malam muncul begitu jelas, seolah melekat di pelupuk mata. Senyum lembut itu, tatapan teduh itu dan semuanya begitu menghantui. Ia kemudian mendengus kesal, lalu mematikan layar. “Ini gila, sialll,, Aku tidak boleh terganggu dengan hal apapun,aku harus fokus.” Namun jauh di lubuk hatinya, ia tahu ia sudah terganggu dengan nama tersebut. Sementara itu, di gedung yayasan, Zahira baru saja selesai mengecek laporan acara amal semalam. Aula sudah kembali rapi, kursi-kursi dilipat, dan hanya aroma bunga segar yang tertinggal di udara ruangan tersebut. “Alhamdulillah, semua berjalan lancar, Nona,” ucap salah satu staf sambil menyerahkan berkas-berkas donasi. Zahira mengangguk dan tersenyum hangat, lalu membuka halaman pertama laporan. Sekilas, semuanya tampak normal terdapat daftar donatur, jumlah sumbangan, tujuan alokasi dana. Tapi ada satu hal yang membuat alisnya berkerut. Sebuah transfer anonim. Jumlahnya tidak sedikit dan hampir setara dengan donasi dari konglomerat besar. Hanya saja, pengirimnya tidak diketahui. Tidak ada nama, tidak ada alamat, hanya sebuah kode digital yang rumit. “Siapa yang mengirim ini?” tanyanya dngan sedikit bingung. Staf itu kemudian menggeleng. “Kami juga heran, Nona. Uangnya masuk dengan legal, sudah dicek berulang kali. Bersih. Tidak ada indikasi penipuan.” Zahira lantas terdiam. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya yayasan menerima dana anonim dalam jumlah besar. Tapi setiap kali hal itu terjadi, perasaan aneh muncul di hatinya. Seakan ada seseorang di luar sana yang sengaja memperhatikan, sekaligus menjaga dari jauh. Matanya menatap laporan itu lama. Hatinya berbisik, tapi ia tak bisa memastikan apa pun. sementara itu Adrian, dari tempat persembunyiannya, memandang gedung yayasan melalui layar kamera kecil yang ia pasang jauh-jauh hari. Ia bisa melihat Zahira berjalan di koridor, berbincang dengan stafnya, senyumnya tetap sama seperti semalam. Ada rasa lega yang aneh, mengetahui sebagian dari uangnya kini benar-benar digunakan untuk kebaikan. Tapi di saat yang sama, ada rasa takut. Bukan takut uangnya dilacak, melainkan takut pada dirinya sendiri, takut pada apa yang mulai tumbuh di dalam hatinya. “Jangan terlibat terlalu jauh, Adrian,” bisiknya, hampir seperti peringatan pada dirinya sendiri. Namun matanya tetap mengikuti setiap langkah Zahira. Ia tahu, cepat atau lambat, jalannya akan bersinggungan dengan perempuan itu. Dan saat itu terjadi, takdir tidak akan membiarkan mereka pergi dengan selamat. Zahira menutup laporan itu, menatap kosong ke arah jendela. Hujan yang kembali turun meneteskan irama pelan di kaca, seolah mengiringi kegelisahan di hatinya. “Siapa sebenarnya yang begitu dermawan tapi tak ingin dikenal?” gumamnya lirih. Di balik rasa syukurnya, ada tanda tanya besar. Dunia sudah mengajarinya untuk berhati-hati. Tidak semua yang datang dalam bentuk kebaikan benar-benar berasal dari niat baik. Namun entah kenapa, ia merasakan sesuatu yang berbeda dari dana anonim itu. Ada kehangatan aneh yang justru membuatnya ingin tahu lebih jauh. Di ruang kerjanya yang remang, Adrian masih menatap layar kosong laptopnya. Jarum jam berdetak lambat, tapi pikirannya berputar cepat. Ia selalu berhasil memutus semua ikatan emosional dengan targetnya, bahkan ketika harus menghancurkan lawan yang kuat sekalipun. Namun kini, sekali lagi nama itu memenjarakannya: Zahira. Ia membuka sebuah folder lama—folder yang jarang disentuh sejak bertahun-tahun lalu. Foto-foto SMA-nya terpampang. Senyum polos seorang remaja laki-laki yang dulu dikenal sebagai anak berprestasi, rajin ke masjid, dan disegani guru. Di sana juga, ada foto sekelas yang menampilkan sosok perempuan berhijab dengan senyum menenangkan. Jantungnya berdegup lebih keras. Dia masih sama. Bahkan lebih bercahaya sekarang. Adrian menutup folder itu cepat-cepat. Baginya, masa lalu adalah luka. Luka yang sudah ia kubur dalam gelap. Ia tidak bisa membiarkan kenangan itu mencuat kembali hanya karena seorang perempuan. Tidak lagi. “Jangan bodoh, Adrian,” bisiknya, menekan kepalanya dengan kedua telapak tangan. Namun semakin ia menolak, semakin wajah itu mendekat dalam ingatannya. Malam mulai turun lagi ketika Zahira meninggalkan gedung yayasan. Jalanan basah berkilau oleh lampu-lampu kota. Mobilnya sudah menunggu, tapi entah kenapa ia memilih berjalan sejenak, merasakan udara malam. Ada rasa sunyi yang menusuk, tapi juga menenangkan. Yang tidak ia tahu, dari atap gedung seberang, sepasang mata memperhatikannya tanpa berkedip. Adrian berdiri diam, tubuhnya tersembunyi di balik bayangan. Ia tidak tahu mengapa ia tetap di sana, hanya mengikuti langkah Zahira dengan pandangan yang berat. Seketika, sebuah doa lama terlintas dalam pikirannya. Doa yang dulu pernah ia ucapkan di masjid sekolah bertahun-tahun lalu, ketika masih ada cahaya dalam dirinya. Namun doa itu mati di bibir, terkubur oleh dendam dan dosa. Dan di antara hujan, dua dunia itu tetap berjalan beriringan—tanpa menyadari bahwa jarak di antara mereka semakin tipis, namun penuh jurang yang tak bisa ditembus. Langkah Zahira berhenti di depan mobil yang menunggunya. Sopir membukakan pintu, tapi sebelum masuk, ia menoleh sekilas ke arah gedung-gedung tinggi yang menjulang. Ada sensasi aneh di dadanya, seolah seseorang sedang memperhatikannya dari kejauhan. Ia mengerutkan kening, meneliti sekitar, tapi hanya lampu jalan dan bayangan pohon yang bergerak tertiup angin malam. Ia tersenyum tipis pada dirinya sendiri. Mungkin cuma lelah. Namun perasaan itu tidak hilang, bahkan setelah mobil melaju pelan meninggalkan kawasan itu. Zahira bersandar, menutup mata, tapi bayangan samar—tatapan tak terlihat—terus menghantui pikirannya. Di atap gedung seberang, Adrian masih berdiri, meski sosok Zahira sudah tak tampak lagi. Rokoknya padam tertimpa rintik hujan. Ia mengembuskan napas panjang, hampir seperti menghela sesuatu yang berat dari dadanya. Namun tatapannya kosong, dingin. “Apa yang kamu cari, Zahira?” gumamnya. Pertanyaan itu bukan ditujukan pada Zahira saja, tapi juga pada dirinya sendiri. Ponselnya bergetar di saku jaket. Sebuah pesan masuk dengan kode singkat dari jaringan bawah tanah yang biasa ia ikuti. Target baru sudah ditentukan dan, entah kebetulan atau tidak, nama yang muncul di sana membuat darah Adrian membeku. Yayasan Cahaya Almira. Adrian menatap layar ponsel itu lama, sebelum akhirnya tersenyum miring. Senyum yang bukan sekadar dingin tapi juga penuh tanda tanya. “Kalau takdir sudah bermain… aku ingin tahu sejauh mana kau bisa bertahan, Zahira.” Hujan semakin deras, seolah ikut menutup malam penuh rahasia itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN