Part 5
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”
“Kayaknya kelasnya penuh,” ucap Sakha seraya menyapu pandangannya ke sekeliling ruangan. Hari ini ia mengajar semester empat. Ia mengampu beberapa mata kuliah.
“Iya, Pak. Kalau Pak Sakha yang ngajar pasti penuh,” jawab mahasiswi cantik dengan senyum manisnya.
“Pak Sakha ngajarnya asik, sih,” tukas mahasiswi lainnya.
“Ngajarnya yang asik apa karena wajahnya yang ganteng?” ledek salah satu temannya.
Seisi kelas pun ramai dengan tawa. Sakha sudah terbiasa menghasapi ledekan mahasiswa atau bahkan gombalan receh ala mahasiswi.
“Sudah, kita lanjutkan materi, ya. Tentang tantangan dalam manajemen sumber daya manusia.” Sakha berdiri si tengah kelas. Tatapannya masih menyasar ke sekitar ruangan.
“Negara kita ini sumber daya manusianya banyak ya, didukung oleh kekayaan alam yang juga melimpah. Namun dibandingkan negara lain, nggak perlu jauh-jauh, Singapura, misalnya, perekonomian kita tertinggal. Jauh lebih maju Singapura yang luas wilayahnya nggak seberapa, dengan jumlah penduduk dan kekayaan alam yang kalah jauh dari Indonesia. Kenapa bisa seperti ini?”
“Karena sumber daya manusianya kurang berkualitas, Pak. Kemampuan mengolah sumber daya alam juga kurang. Fasilitas atau teknologi yang disediakan juga banyak yang masih kurang,” jawab mahasiswa berkemeja coklat.
“Ya, sumber daya manusia kita memang masih perlu pembenahan, perbaikan kualitas melalui pendidikan dan pelatihan. Kata Dr. Ir. Marzuki Usman M.A, pakar ekonom dan pasar modal yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehutanan RI mengatakan orang Indonesia jika ingin mewujudkan mimpinya itu harus punya skill dan expertise. Beliau mengatakan, 'If you don’t have skill nor expertise, you go nowhere. You don’t have anything'. Jadi orang Indonesia itu perlu memiliki keterampilan dan keahlian.”
Mahasiswa yang mendengar penjelasan Sakha serius mendengarkan.
“Sekarang kita masuk ke tantangan internal dan eksternal dalam sumber daya manusia. Ada yang mau menyebutkan tantangan internal apa saja dalam meningkatkan sumber daya manusia?”
Seorang mahasiswi mengangkat tangan.
“Ya, silakan.”
“Pemilik modal atau pemegang saham, pemerintah, karyawan, customer, manajemen perusahaan.”
Tiba-tiba suara dering handphone memecah keseriusan suasana belajar.
“Tunggu sebentar.” Sakha mendekat ke meja dosen. Ia mengambil ponselnya lalu keluar kelas.
“Assalamu'alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Sayang, temani aku ke salon terus nyari cincin pernikahan. Setelah itu nyari sepatu buat pernikahan nanti.”
Suara manja Alea terdengar merdu dari ujung telepon.
“Aku lagi ngajar. Kamu ke salon dulu aja. Nanti habis ini aku nyusul.”
“Yah, padahal aku pingin ditemani dari awal. Kamu nggak bisa izin dulu. Aku pingin kelihatan cantik di hari H nanti. Jadi mulai sekarang aku harus rajin perawatan.”
“Yah, masa aku mesti izin. Nggak enak mangkir dari tugas. Habis ini jadwalku kosong. Kamu duluan aja ya, sayang. Nanti aku nyusul, beneran.”
“Okay, sayang. I love you.”
“I love you too....”
“Kiss-nya mana?” rajuk Alea.
Sakha melihat ke kanan kiri. Ada rekan dosen yang lewat di koridor. Ia tersenyum dan mempersilakan rekannya untuk lewat. Setelah rekannya berlalu, secepat kilat Sakha membalas.
“Muach...”
“Muach... Sampai ketemu di salon, ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam.”
Sakha mengembuskan napas lega. Sejak ia dan Alea bertunangan, Sakha seolah terbawa aturan semu yang tercipta dengan sendirinya untuk mengeratkan hubungan. Sakha yang kaku terbawa karakter Alea yang ekspresif. Setiap malam harus telepon atau video call dulu sebelum tidur, tak lupa mengucap have a nice dream dan I love you. Seusai telepon harus diakhiri dengan 'muach'. Alea juga kerap mengirim kata-kata romantis ke w******p Sakha, membuat Sakha semakin gemas dan terikat. Alea tipe yang penuh perhatian, yang setiap waktu sholat dan makan pasti mengingatkan. Hingga jika Alea tidak mengirim pesan, Sakha merasa ada yang kurang.
Tanggal pernikahan mereka semakin dekat. Sindrom stres sebelum menikah tidak melanda keduanya karena keluarga mereka terbilang kompak dan dapat menyatukan perbedaan keinginan ketika tengah membicarakan konsep pernikahan keduanya. Jika kelelahan sedikit itu sih wajar. Untuk catering, mereka mempercayakan pada Bayu dan Firda, orang tua Adira, salah satu mahasiswi yang dulu pernah membuat Sakha tertarik. Gaun pengantin akan bergantian menggunakan rancangan Alea sendiri juga gaun dari Nara.
Seusai mengajar, Sakha kembali ke ruang kerjanya. Ia berpapasan dengan Sesha, teman sekelas Adira yang menggenggam selebaran.
“Pagi, Pak,” sapa Sesha.
“Pagi, juga. Itu selebaran apa, ya?” Sakha melirik secarik kertas yang menggantung di genggaman Sesha.
“Iya, ini selebaran lomba menulis kaligrafi, Pak. Mau saya kasihin ke Adira. Dia kan jago nglukis dan kaligrafi. Siapa tau bisa menang. Hadiahnya lumayan, Pak. Apalagi Adira lagi nyari-nyar kontrakan buat tempat tinggal dia dan Axel nanti.”
Sakha tercenung.
“Axel sudah masuk kuliah, ya?” tanya Sakha.
“Belum, sih. Kakinya masih sakit. Tapi insya Allah nggak lama lagi sembuh.”
Sakha tersenyum, “Iya mudah-mudahan cepat sembuh.”
“Ya, sudah, saya duluan ya, Pak. Permisi.” Sesha mengangguk dan berlalu dari hadapan Sakha.
Sakha merenung dan memikirkan banyak hal. Tentu ia sudah mantap menikahi Alea. Ia tahu gambaran sosok wanita yang terlihat sempurna dan lebih baik seolah bertebaran di depan mata lalu mengecilkan arti seorang wanita yang sudah jelas-jelas menjadi pilihannya. Termasuk apa yang ada pada sosok Adira, gadis yang tak memiliki jari dengan bakat luar biasa dan cinta yang luar biasa pada suaminya yang saat ini masih sakit pasca kecelakaan. Gadis itu rela berjuang apapun untuk masa depannya bersama Axel, termasuk mengikuti lomba dengan harapan bisa memenangkan lomba dan uangnya bisa digunakan untuk membayar kontrakan. Ia teringat pada sosok Alea yang manja, yang bisa membelikan apapun yang ia mau, bahkan sekarang ia akan menghabiskan banyak uang hanya untuk perawatan di salon. Adira boro-boro memikirkan perawatan di salon, untuk biaya kuliah pun dia berjuang keras agar lolos seleksi beasiswa. Manusia memiliki medan perjuangan sendiri-sendiri. Ia berusaha untuk mengenyahkan segala pikiran yang dapat mengusik rencana pernikahannya dengan Alea. Berkali-kali ia ucapkan dalam hati bahwa Alea yang terbaik.
Sakha menyusul Alea ke salon. Ia menunggu gadis pujaannya yang tengah menjalani perawatan di salon dari ujung kepala hingga ujung kaki. Setengah jam, Sakha masih bisa tahan dengan memanfaatkan waktu untuk membaca majalah yang tersedia di salon di ruang depan. Meski majalahnya tidak begitu menarik tapi lumayan memberi pengetahuan di bidang lain, terutama tentang fashion dan hal-hal yang disukai perempuan. Setelah satu jam lamanya dan belum ada tanda-tanda Alea selesai perawatan, Sakha mulai bosan. Ia malah mengantuk. Ia pun memejamkan mata.
“Sayang...Aku udah selesai,” Alea menggoncang bahu Sakha.
Pria yang ketiduran itu mengerjap. Wajah cantik Alea yang mengulas senyum mendominasi bola matanya.
“Udah selesai?” Sakha memicingkan matanya.
“Udah. Kamu ketiduran. Kasihan banget, nunggunya lama, ya?”
Sakha mengangguk, “Iya, lama banget.”
“Aku ke salon paling sebulan sekali. Nggak sering, kok,” ujar Alea masih dengan senyumnya yang sumringah.
“Habis ini kemana lagi?” tanya Sakha.
“Nyari sepatu, yuk.”
Sakha hanya mengangguk pelan.
Mereka menuju toko sepatu yang menjual sepatu-sepatu branded. Lagi-lagi Sakha hanya bisa mematung dan bengong mengamati Alea yang lama sekali menentukan pilihan. Berulang kali ia mencoba sepatu dan menanyakan pendapat Sakha.
“Yang ini bagus, nggak?”
“Iya bagus,” jawab Sakha.
Alea mengambil sepatu yang lain.
“Sama yang ini bagus mana?”
Sakha menatap dua sepatu itu bergantian.
“Dua-duanya bagus.”
Alea cemberut, “Jangan dua-duanya. Pilih salah satu.”
Sakha asal menunjuk, “Yang ini lebih bagus.”
“Tapi warnanya terlalu gelap.” Alea meletakkan kembali sepatu itu di rak. Ia memilih sepatu lagi dan mencobanya.
“Kalau yang ini bagaimana?”
Sakha mengangguk, “Cocok.”
Alea kembali mencoba sepatu yang lain. Sepatu berhak tinggi dan ada kilauan seperti sepatu Cinderella.
“Ini bagus nggak, ya?”
Sakha menajamkan matanya. Sepatu itu terlalu norak di matanya.
“Kayaknya terlalu ramai, blink blink gitu,” balas Sakha.
“Tapi ini princess banget, sayang. Aku pingin konsep pernikahan seperti princess.”
“Kalau kamu suka, ya udah ambil,” timpal Sakha datar.
“Kok kayak terpaksa sih jawabnya.” Alea mengernyitkan alis dan mengerucutkan bibirnya.
“Terpaksa gimana? Aku kan bilang, kalau kamu suka ya ambil aja.”
“Dari tadi kamu nggak antusias jawabnya. Mukanya datar aja. Kamu nggak suka ya nemeni aku belanja?” Alea meninggikan intonasi suaranya.
Sakha menghela napas.
“Kalau nggak suka, aku nggak nemeni,” sahut Sakha.
“Bohong!” ketus Alea.
“Aku nggak masalah nemeni kamu belanja. Cuma kamu lama banget dalam memilih Alea. Dari tadi kamu buang-buang waktu. Nyoba banyak sepatu, minta pendapatku, tapi ujung-ujungnya pendapatku juga nggak dipakai.”
Alea bersedekap, “Oh, jadi belanja kali ini menurutmu buang-buang waktu? Wajar dong kalau aku selektif dalam memilih. Ini untuk pernikahan. Aku ingin yang terbaik di pernikahan kita. Kamu kayak kurang antusias. Atau jangan-jangan kamu sebenarnya nggak mau nikah sama aku?”
“Kamu kok ngomongnya ngelantur? Jadi merambat kemana-mana. Aku udah melamar kamu, artinya aku yakin untuk menikah sama kamu.”
Alea yang terlanjur kesal berjalan keluar toko dengan tampang super cemberut. Sakha segera menyusulnya.
“Alea tunggu...”
Sakha berdiri di hadapan Alea.
“Jangan marah, sayang. Jangan berpikir yang nggak-nggak. Yuk pilih sepatu lagi. Kita juga belum nyari cincin, kan?”
Alea masih memasang duck-face-nya.
“Aku udah nggak minat. Lebih baik anterin aku ke butik.” Nada bicara Alea terdengar sewot.
Jika sudah ngambek begini, Sakha tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti kemauan sang princess. Alea jika sudah ngambek bisa sampai seharian yang berakibat pada tak mau bicara, tak mau mengangkat telepon, tak mau membalas pesan w******p. Meski sudah saling mengenal sejak kecil, memahami karakter Alea itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Sakha berpikir, apa memang semua perempuan sulit dimengerti? Ternyata setelah status mereka berubah menjadi calon suami-istri pun drama pertengkaran dan perdebatan masih terus berlangsung.
Sepanjang jalan, Alea terdiam. Tatapannya terfokus pada apa yang terbentang di luar jendela. Sesekali Sakha melirik gadis yang dulu ia juluki little devil itu. Alea kecil baginya adalah mimpi buruk yang selalu berhasil merebut perhatian mama Nara juga ayahnya. Alea kecil adalah sosok yang ketika melihatnya saja sudah membuatnya kesal dan sebal. Alea kecil hanyalah gadis ceriwis, bermata bulat, rambut seperti ekor kuda karena warnanya sedikit kemerahan, bibir tipis, hidung mungil, pipi tembem, dan ada gigi ompong di tengah. Bagaimana bisa ia menjelma menjadi secantik ini? Membuatnya panas dingin, cenut-cenut tak menentu setiap kali melihat Alea mengenakan pakaian seksi.
Mobil berhenti di pelataran butik. Alea keluar dari mobil tanpa mengucap sepatah katapun. Sakha menyusulnya. Alea menaiki tangga, menuju ruang pribadinya di lantai atas. Sakha menaiki tangga dan memanggil nama gadis itu berulang.
“Lea....”
Alea berdiri di tepi jendela, menerawang sesuatu dari balik tirai.
“Please, maafkan aku. Jangan marah lagi.”
Alea tak menanggapi ucapan Sakha.
“Aku janji besok aku nggak akan mengeluh lagi. Kamu bebas mau belanja se-lama apapun.”
Alea masih membisu. Sakha berjalan mendekat. Tanpa Alea duga, Sakha memeluknya dari belakang. Alea terkesiap. Gemuruh dalam dadanya semakin berkecamuk tak tentu arah. Deg-degan, gugup, dan berdebar, semua bercampur-campur mengacaukan pikirannya. Ini pelukan pertama dari Sakha.
“Maafkan aku, please.” Sakha menyandarkan kepalanya di bahu Alea. Ia menundukkan badannya agar sedikit menyetarakan tinggi badannya dengan Alea.
Alea membalikkan badan dan menatap lekat calon suaminya.
“Iya, aku maafkan.”
Keduanya melempar senyum. Ada perasaan cinta yang semakin menggelora sekaligus terkontaminasi rasa ingin membangun keintiman yang lebih dalam. Mata adalah awal dari segalanya. Dan dari mata itu pula keduanya lupa segalanya. Sakha terpikat untuk mengecup bibir gadis itu. Alea pun pasrah saja ketika Sakha mendekatkan wajahnya. Alea memejamkan mata ketika wajah tampan Sakha semakin dekat. Hampir saja ujung bibir Sakha menyentuh bibir Alea jika tidak ada suara manekin roboh yang menyelamatkan keduanya dari kekhilafan yang hampir terjadi. Salah satu karyawan tanpa sengaja menyenggol manekin hingga roboh dan gaung suaranya terdengar hingga lantai atas.
Kedua insan itu deg-degan luar biasa. Keringat sebiji jagung mengalir dengan derasnya. Begitulah jika hendak berbuat maksiat, rasa waswas dan takut mendominasi. Sakha beristighfar. Ia berterima kasih karena lagi-lagi terhindarkan dari perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan sebelum mereka halal.
Sakha mengusap bibir gadis itu.
“Harusnya kita bisa lebih mengendalikan diri. Rasanya tak sabar menunggu hari pernikahan kita. Pingin secepatnya menghalalkan kamu. Kalau udah halal, udah bebas ngapa-ngapain.”
Alea tersipu. Ia menundukkan wajahnya.
“Iya, aku juga udah nggak sabar ingin resmi jadi istri kamu.”
“Ya udah, aku pulang dulu, ya. Bahaya kalau lama-lama di sini.”
Alea mengangguk, “Hati-hati, sayang.”
Sakha tersenyum. Ia mengecup dua jari dari salah satu telapak tangannya lalu ia tempelkan kedua jarinya di bibir Alea.
“I love you...” ucap Sakha.
“I love you too...” balas Alea.
Dua insan yang dulu bermusuhan itu kini begitu fasih berlope-lopean. Setelah Sakha berlalu dari ruangan, Alea tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Ia senyum-senyum sendiri dan meraba bibirnya, membayangkan ciuman pertamanya bersama Sakha nanti.
******