“Pa, Ma. Papa sama Mama percaya sama Ros, kan? Ros yakin Ros dijebak Pa, Ma. Ros nggak selingkuh dari Marvin dan Ros nggak kenal laki-laki di video itu siapa, Pa, Ma.” Rosalia menghampiri kedua orang tuanya yang juga terlihat sedih dan kecewa.
Mereka kini sudah berada di kamar hotel setelah meninggalkan tempat pesta. Tamu-tamu dan keluarga Marvin pun sudah meninggalkan ballroom hotel itu. Antara keluarga Rosalia dan keluarga Marvin sudah berbicara tadi dan keluarga Marvin sudah memutuskan untuk mengakhiri pernikahan antara Rosalia dan Marvin saat ini juga.
Sang Papa, tidak hanya kecewa, namun juga nampak marah sekali pada Rosalia. Pria itu benar-benar tidak menyangka sang putri tercinta akan melemparkan aib pada keluarganya. Dia sangat malu dan merasa sangat gagal menjadi seorang ayah.
“Kamu sudah membuat malu keluarga ini, Ros. Sebaiknya kamu pergi saja!” usir ayah Rosalia—Agam pada anak gadisnya yang sedari tadi menangis.
“Pa, jangan gegabah, bagaimana pun Ros puteri kita. Papa nggak boleh mengusir Ros begini,” protes Indri—ibunda Rosalia pada sang puteri. Dia juga sedih juga syok melihat video tadi, tapi dia juga tidak akan tega melihat sang putri pergi.
“Ma, mau ditaruh mana wajah Papa saat ketemu orang-orang, kalau Ros masih tinggal sama kita? Mama lihat kan video tadi? Benar-benar menjijikan. Malu, Ma, Papa malu sekali lihatnya!” teriak Agam di depan wajah sang istri. Dia benar-benar murka dengan kebodohan Rosalia.
“Pa, tapi Ros bilang dia nggak kenal siapa laki-laki itu. Kita bisa selidiki dulu video itu atau kita laporkan ke pihak berwajib,” saran Indri, berusaha meredam emosi sang suami dan memberikan solusi atas musibah yang tengah menimpa Rosalia. Dia tidak ingin kehilangan sang putri tercinta.
“Mama pikir dengan lapor polisi akan menutup rasa malu Papa, begitu? Nggak akan, Ma. Kita semua sudah menanggung malu. Video itu sudah tersebar dan banyak orang sudah melihatnya. Lapor polisi juga nggak gratis, Papa nggak mau buang-buang uang untuk mencari tahu siapa laki-laki itu dan bagaimana video itu bisa ada di sana. Lagi pula, Papa harus mengganti biaya pesta tadi ke keluarga Marvin. Mama pikir gampang, cari uang hampir satu Miliar?”
“Pa, tapi anak kita butuh keadilan. Dia berhak untuk membuktikan kalau dia nggak bersalah.” Bu Indri bersikukuh membela sang puteri tercinta.
“Ma, terlepas dari Rosa selingkuh atau tidak, dia tetap bersalah. Dia sudah kotor dengan melakukan hal tidak senonoh bahkan dengan pria yang dia sendiri tidak mengenalnya.”
“Lalu Papa mau anak kita pergi, begitu? Papa tega mengusir puteri kita? Papa tega?” teriak Indri dengan berlinang air mata. Sedih sekali rasanya, putri pertamanya terusir dari rumah.
“Saya nggak punya pilihan. Ini hukuman dan sekaligus pelajaran bagi Rosi dan Risa, jangan sampai mereka berdua melakukan kesalahan seperti kakaknya, atau mereka juga akan saya usir. Lagi pula, hanya untuk sementara waktu. Rosa bisa pulang setelah skandal ini reda,” putus Pak Agam tak ingin dibantah lagi.
“Pa, Papa benar-benar tega!” Indri menatap kecewa pada sang suami yang begitu tega mengusir putri mereka.
“Baik, kalau itu keputusan Papa. Ros akan pergi, Pa. Semuanya, Ros pamit ya.” Pasrah sudah, Rosalia tak ingin memohon lagi agar sang papa mempercayainya dan tidak mengusirnya.
Dan itu merupakan kalimat terakhir Rosalia yang diucapkannya pada keluarganya empat tahun silam. Rosalia memutuskan untuk pergi, meski ibu dan kedua adiknya memintanya untuk tetap tinggal. Dia sangat tahu diri, dia sudah melemparkan kotoran pada keluarganya, jadi mau tidak mau dia harus menjauh, berharap keluarganya—terutama sang papa bisa hidup dengan tenang tanpa dirinya. Dan Rosalia bertekad tidak akan pernah kembali lagi ke sana—ke kota kelahirannya.
Setelah meninggalkan kota tempat selama ini dia tumbuh, Rosalia mengganti nomor ponsel dan mengganti akun media sosialnya. Dia sengaja membatasi diri untuk tidak berhubungan baik dengan keluarganya maupun Marvin. Hatinya terlalu sakit mengingat peristiwa hari itu. Marvin, ibunda Marvin dan juga sang papa tidak memberinya kesempatan untuk membuktikan jika dirinya tidak bersalah.
Di kota tempat dia tinggal sekarang, Rosalia hidup seorang diri di sebuah indekos sederhana. Dia bekerja serabutan untuk biaya hidupnya sehari-hari, karena sebagian besar tabungannya sudah dia berikan pada sang ayah untuk mengganti rugi biaya pesta pada keluarga Marvin.
Hingga akhirnya, Rosalia memiliki pekerjaan tetap saat ini, yakni sebagai pengajar di sebuah tempat les dan dia juga menekuni hobi merajutnya yang kini mulai mendatangkan pundi-pundi rupiah setelah dia unggah di salah satu platform video dan musik. Belum banyak memang pendapatan yang diterimanya saat ini, tetapi bagi Rosalia, itu semua sudah lebih dari cukup.
Rosalia sudah tidak memiliki harapan lagi di hidupnya. Dia hanya menjalani hidupnya karena memang dia masih bernafas dan masih berada di dunia ini. Semua harapan dan cita-cita hidupnya telah sirna bersamaan dengan rasa sakit yang menerjangnya empat tahun silam.
Ketenangan Rosalia yang sedang merajut sedikit terusik karena sosok pria misterius yang sudah beberapa kali dia temui di beberapa tempat. Pria itu memang hanya memperhatikannya dari jauh, tidak pernah menyapa atau berusaha mendekatinya. Namun Rosalia tetap saja merasa terancam. Juga, penasaran. Karena secara samar, manik pria itu mengingatkannya pada seseorang.
Bersambung