13. Rencana Setelah Menikah

1732 Kata
Lagi-lagi adik Dirga hanya bisa memandang penuh kagum pemandangan di depannya, ini kali pertama dia ke tempat ini, bangunan yang sangat besar dan dilengkapi banyak furniture. Mereka berjalan-jalan di sekitar tempat itu. Avia melihat ke arah kasur yang berjejer, ada tag harga di atas setiap kasur itu. Dia perlu mencoba tingkat kenyamanan dengan mendudukinya. Begitu pula dengan adik-adik Dirga. Hingga seorang karyawan menghampiri mereka dan memberikan sapaan sopan. “Bu Avia?” tanya pria muda itu. Avia melihat pin namanya. “Ya, betul,” jawab Avia tersenyum tipis. “Kami sudah membuat display kamar seperti yang ibu minta, lengkap dengan seluruh furniturenya,” ucap pria itu. “Kasurnya yang terbaik kan?” tanya Avia merujuk pada ranjang yang diduduki. “Tentu saja Bu, semua kualitas terbaik,” ucap pria itu, lalu menoleh ke arah tiga orang yang memandang dirinya lengkap. “Boleh saya tebak, kamu pasti anak kedua, kamu anak ketiga dan kamu si cantik anak terakhir,” ujar pria itu. Ersha hanya tersenyum lebar dan mengangguk. “Om sudah menyiapkan barang-barang untuk kamar kalian, jika ada yang enggak kalian suka, kalian bisa langsung ganti, oke?” ucapnya ramah. Dirga berdiri di samping Avia yang sudah bangun dari duduknya, “kamu bahkan sudah merencanakannya?” tanya Dirga. “Kita butuh home design kan?” ujar Avia. Kemudian mengikuti ketiga adik Dirga yang sudah dihela oleh karyawan itu. Mereka berjalan menuju tempat display kamar-kamar yang secara khusus diatur oleh pria itu berdasarkan referensi dari Avia. Kenzo dan Sierra terlihat menyukainya, namun Ersha tak terlalu suka, hingga Dirga menghampirinya dan memegang bahunya. “Kenapa? Kok kamu enggak terlihat senang?” tanya Dirga. “Aku kan sebentar lagi gede, Bang. Masa pakai barang-barang kayak anak TK?” ucap Ersha. Avia melirik ke arah karyawan pria yang memasang wajah bersalah itu, dia tak menyangka bahwa anak terakhirnya ternyata sudah beranjak besar. “Om sudah menyiapkan kamar lain, Lho. Kamu pasti suka,” ucap pria itu sambil memberi kode pada temannya yang mengangguk, teman kerjanya berjalan cepat ke arah lain dan mengatur dengan instan display kamar lainnya itu. Sebuah kamar yang tampak manis dengan warna yang terang, namun tak terlalu banyak hiasan. Sangat cocok untuk remaja perempuan. Ersha memandang kamar itu lekat lalu menoleh ke arah Avia yang sibuk bermain ponsel, dia memegang ujung baju Avia hingga wanita itu menoleh. “Kenapa? Ada yang mau kamu ganti lagi?” tanya Avia meletakkan ponsel dalam tasnya. Ersha menggeleng. “Aku boleh pilih kamar ini?” tanyanya dengan mata polos. Dirga menatapnya dengan pandangan sedih. “Tentu, pilih yang mana saja sesuka kamu, yang penting kamu nyaman,” ucap Avia, lalu mendengar dering ponselnya, dia membuka kembali tasnya dan menerima panggilan itu sambil berjalan agak menjauh. Ersha melihat punggung Avia yang terus menjauh, lalu Dirga berjongkok di hadapannya. “Kenapa Ersha? Kamu enggak suka kamar yang ini?” tanya Dirga. “Suka,” jawab Ersha pelan. “Lalu?” tanya Dirga. “Tapi ... apa nanti aku tidur sendiri? Aku enggak bisa tidur sama kak Sierra lagi?” tanya Ersha. Dirga tersenyum tipis dan merapikan poni adiknya. “Kak Sierra kan sudah dewasa, Ersha juga sudah beranjak besar, jadi sudah harus belajar tidur di kamar sendiri. Tapi kalau nanti Ersha takut, abang atau kak Sierra bisa kok nemenin Ersha sampai enggak takut lagi,” ucap Dirga. Ersha tersenyum lebar dan mengangguk. “Apa aku boleh ambil boneka-boneka di kamar tadi untuk dipindah ke kamar ini?” tanya Ersha polos. “Boleh dong, ayo kita minta omnya pindahin,” ujar Dirga. Cukup lama Avia menerima panggilan telepon. Ketiga adik Dirga ikut menunggunya karena mereka butuh persetujuan untuk barang-barang itu yang akan langsung dipindahkan ke rumah baru mereka nantinya. Avia kemudian berjalan dengan langkah yang cepat dan lugas ke arah mereka. “Sudah?” tanya Avia pada karyawan pria yang sudah berkomunikasi dengannya sebelum ini. “Sudah, kami hanya butuh tanda tangan ibu,” ucapnya. “Kalian semua suka? Atau butuh yang lain lagi?” tanya Avia, ketiga adik Dirga menggeleng dengan kompak. “Oke,” jawab Avia. “Kalian sekarang bisa tunggu di stand es krim itu, pesan es krim yang kalian suka, oke?” ujar Avia. Dirga pun meminta Sierra mengajak adiknya ke tempat itu. Sierra menuntun Ersha dan diikuti oleh Kenzo. Sementara Avia melakukan pembayaran, “telepon dari siapa tadi?” tanya Dirga. “Ada produk baru yang akan masuk dan minta kita melakukan pemasaran, nilainya cukup besar. Mereka sudah mendapat izin untuk pendistribusian di negara ini, jadi besok kita akan meeting membahasnya, mereka ingin penjualan dimulai lusa,” ucap Avia. “Produk apa?” “Skincare, kamu mau pegang projectnya?” tanya Avia. “Dengan senang hati,” tutur Dirga. “Bagus,” jawab Avia. Dia dan Dirga terus berjalan menuju tempat pembayaran. Sementara ketiga adik Dirga sudah memesan es krim yang mereka suka dan duduk di salah satu meja. “Kak,” panggil Kenzo pada Sierra yang tampak sedikit melamun. “Ya?” tanya Sierra. “Kak Avia itu kaya banget ya?” tanya Kenzo. “Ya tentu kalau enggak kamu enggak ... hmmm maksudnya kita enggak akan dibelikan barang-barang dan baju, juga rumah bagus itu,” ujar Sierra. “Tapi ... kok bang Dirga dan kak Avia bukan kayak orang pacaran?” tanya Kenzo. “Kamu masih kecil, belum ngerti,” ujar Sierra. “Ish, kayak kak Sierra ngerti aja,” seloroh Kenzo. “Intinya, karena kak Avia sudah sangat baik sama kita, ingat pesan bang Dirga kan? Kita juga harus baik ke dia dan jangan nyusahin dia, oke?” ujar Sierra. “Pasti dong!” ujar Ersha, bibirnya belepotan es krim hingga Sierra membantu menyeka dengan tissue. Tak berapa lama Avia dan Dirga bergabung dengan mereka. “Kita makan siang dulu sebelum pulang, nanti setelah barang-barang untuk kamar kalian tiba, kalian sudah bisa langsung pindah,” ujar Avia. Ersha tersenyum lebar dan tiba-tiba memeluk Avia, membuat wanita itu terkejut. “Terima kasih kak Avia, kakak seperti malaikat,” ujar Ersha. Avia sangat canggung dan menoleh kaku ke arah Dirga yang tertawa kecil, tawanya begitu memukau dan mempesona, namun tangan kecil ini membuat Avia sedikit sesak, entah mengapa? Dia pun melepaskan pelukannya dengan perlahan, “ah iya sama-sama, ayo makan aku sudah lapar,” ujar Avia setelah melepas tangan kecil itu, berjalan lebih cepat meninggalkan mereka. “Avia, kanan,” ujar Dirga karena Avia salah jalan ke pintu keluar. Avia pun menghentikan langkah lalu berbelok ke arah kanan. Kenzo dan Sierra menahan tawanya hingga Dirga memberi pelototan agar mereka tak menyinggung Avia. Avia belum pernah merasakan ini sebelumnya, makan di meja makan yang sama dengan keluarga Dirga yang dipenuhi dengan suara berisik, sendok beradu dengan piring, juga mulut mereka yang meski tersumpal, namun terus saja bercerita, terutama Ersha yang terdengar sangat cerewet. Sierra sesekali menegur Ersha yang terus berceloteh. Apakah dia akan terbiasa nanti makan semeja dengan mereka, sementara jika di rumahnya, ibunya akan mendelikkan matanya kasar jika ada suara kecil saja dari sendok beradu dengan piring. “Kalau butuh kendaraan untuk pindahan nanti kabari saja ke sopir pribadiku,” ucap Avia pada Dirga yang duduk di sampingnya, lauk di meja sudah hampir habis separuh, padahal Avia memesan cukup banyak makanan. Mungkin karena aktifitas seharian ini membuat ketiga adik Dirga tampak makan dengan lahap. “Aman, aku bisa handle itu,” ucap Dirga, “terima kasih ya untuk semuanya,” imbuhnya. “Aku melakukan ini untuk diriku sendiri kok,” ujar Avia ketus. Dirga hanya tersenyum simpul ke arahnya. “Kamu tahu? Ersha akan mengikuti olimpiade matematika lagi, seperti kita dulu,” ucap Dirga. Avia menoleh ke arah Ersha. “Tingkat SD?” tanya Avia. “Ya, dia bahkan sudah mulai mempelajari matematika untuk kelas enam,” jawab Dirga. “Ada guru privat? Kamu kan pasti sibuk?” “Ada wali kelasnya yang mengajari,” ucap Dirga. “Hmmm, aku bisa mensupportnya kalau dia butuh guru yang lebih baik,” ucap Avia. “Enggak perlu, gurunya sudah sangat baik, nanti ... mungkin dia akan sering ke rumah kita untuk mengajar Ersha,” ucap Dirga. “Ya enggak apa-apa,” jawab Avia, tanpa dia tahu bahwa guru yang Dirga masuk adalah wanita muda yang menaruh perasaan pada calon suaminya itu. *** Avia pulang ke rumah cukup malam, dia melewatkan jam makan malam. Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumahannya dia menatap wanita berusia lima puluh tahunan yang memakai seragam khas asisten rumah tangga. Dia adalah asisten terlama di rumah ini. “Ada apa Bi Encun?” tanya Avia pada wanita baik yang sejak dulu selalu ada di sampingnya. “Neng,” panggil Bi Encun sambil menoleh ke kiri dan kanan. “bibi urut ya, pasti pegal,” ujarnya. Avia tahu pasti ada yang mau disampaikan wanita tua itu. Di rumah ini selalu banyak kamera pengawas dan Margaretha tak pernah suka jika ada asisten rumah tangga yang dekat dengan Avia, dia selalu menaruh curiga. “Boleh,” jawab Avia, kebetulan kakinya cukup pegal karena berjalan-jalan seharian. Bibi Encun menyusul ke kamar Avia membawakan minyak zaitun, Avia telah selesai mandi dan mengenakan pakaian tidurnya. Dia berbaring di ranjang sambil menyalakan televisi besar yang menampilkan siaran sinetron. Jemari Bi Encun mulai mengoleskan minyak Zaitun itu di betis Avia. “Neng tadi bibi dengar sesuatu,” ucap Bi Encun berbicara setengah berbisik. “Apa Bi?” tanya Avia. “Nanti setelah neng menikah, neng disuruh tidur di kamar tamu, kamar itu sudah dipasang kamera pengawas yang tersembunyi, bapak dan ibu ingin tahu apa neng beneran menikah atau hanya pura-pura?” “Hah?” ujar Avia setengah menjerit hingga Bi Encun memintanya tidak berisik. Avia menutup mulutnya dan duduk menghadap asisten rumah tangga itu. “Mereka mau buat video blue atau bagaimana sih?” tanya Avia. “Yang bibi dengar sih, mereka hanya mau melihat sebentar saja, jadi ... kalau bisa neng lakuin aja malam pertama, matiin lampunya biar enggak terlalu kelihatan dan pakai selimut ya Neng, tutupi selimut badannya,” ucap Bi Encun. “Ah gila sih,” ujar Avia. “Kalau enggak gitu mereka enggak akan percaya Neng, tahu sendiri ibu selalu ngomporin bapak, bibi juga enggak tega sama Neng, bibi juga tahu Neng lakuin ini karena mau keluar dari rumah ini, Kan? Jadi menurut bibi itu langkah terakhir,” ucap Bi Encun. Avia mengangguk pelan. “Terima kasih, Bi.” Pandangan mata Avia mengawang jauh, dia harus membuat skenario besama Dirga nantinya. Ah sial! Padahal dia pikir mereka hanya akan sekamar saja nanti. Ternyata harus beradu acting juga! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN