2. Persaingan Lama

1376 Kata
Hari pertama Dirga bekerja di perusahaan Avia dimulai dengan sorotan tajam dari sang bos. Tidak ada penyambutan hangat, tidak ada basa-basi, hanya perintah tegas yang harus dijalankan tanpa celah kesalahan. Avia menatap tajam Dirga dari balik kaca mata minusnya, dia berhadapan dengan pria yang lebih tinggi darinya meski dia sudah menggunakan heels. Tarikan napas Avia memperlihatkan emosinya, di tangannya sudah ada tumpukan dokumen. Dia yang menghampiri Dirga langsung ke meja kerjanya. Beberapa karyawan melihat Avia dengan pandangan penasaran. “Kamu akan langsung menangani proyek pemasaran terbaru. Laporan pertama harus masuk di mejaku besok pagi,” kata Avia tanpa menoleh, saat menyerahkan setumpuk dokumen. Dirga hanya tersenyum tipis. “Seperti biasa, kamu masih tidak suka memberi waktu bernapas, ya?” Avia menatapnya tajam. “Dan kamu masih terlalu banyak bicara.” Dirga tertawa pelan, menerima dokumen itu tanpa protes. Namun, senyum santainya justru membuat Avia semakin kesal. Dia berharap bisa melihat Dirga kewalahan, namun pria itu tampak menikmati tekanan yang ia berikan. Setelah Dirga pergi, salah satu manajer mendekati Avia dengan hati-hati. “Bu Avia, sepertinya Tuan Dirga cukup kompeten. Saya yakin dia bisa menangani proyek ini.” Avia hanya mendengus. “Kita lihat saja.” Dirga segera beradaptasi dengan lingkungan kantor yang baru. Dalam hitungan jam, ia sudah akrab dengan beberapa rekan kerja di tim pemasaran. Sikapnya yang santai namun tegas membuat orang-orang cepat merasa nyaman dengannya. “Jadi, kamu benar-benar pernah satu sekolah dengan Bu Avia?” tanya seorang rekan kerja, namanya Raka, dia satu tim dengan Dirga, meski usianya di bawah Dirga beberapa tahun, tatapan matanya memandang dengan antusias. Dirga mengangguk sambil membaca laporan. “Ya, dan dia masih sama seperti dulu—perfeksionis dan keras kepala. Raka tertawa. “Hati-hati, dia bisa mendengarmu.” Dirga hanya tersenyum misterius. “Biar saja. Aku sudah biasa berhadapan dengannya.” Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa Avia bukan hanya sekadar saingan lama. Ada sesuatu di balik tatapan tajam dan sikap dinginnya yang membuat Dirga semakin tertarik. *** Setelah seharian berhadapan dengan Avia dan pekerjaan barunya, Dirga akhirnya pulang ke rumah. Dia tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana berbentuk tiga petak di pinggiran kota, bersama tiga adiknya yang masih kecil. Memarkirkan sepeda motor bututnya di depan rumah kontrakannya itu, dia pun melangkah masuk. Tak lupa membuka sepatu di teras yang ukurannya hanya satu kali tiga meter itu. Begitu ia membuka pintu, aroma makanan langsung menyambutnya. Sierra, adik perempuannya yang berusia 17 tahun, tengah sibuk di dapur, mengenakan celemek lusuh dengan rambut diikat asal-asalan. “Bang Dirga sudah pulang!” teriak Kenzo, bocah laki-laki berusia 13 tahun yang sedang mengerjakan PR di lantai ruang depan. Ada kasur yang didirikan, hanya akan diturunkan ketika dia tidur bersama kakak laki-lakinya itu. Televisi layar datar yang tidak terlalu besar tampak menyala meski tidak ada yang menontonnya. Karpet plastik lusuh menjadi tempat anak itu berbaring, dia lantas duduk dan menatap kakaknya dengan pandangan kagum. Ersha, si bungsu yang baru berusia 9 tahun, langsung berlari dan memeluk kaki kakaknya. “Bang Dirga bau acemmm!” ucapnya dengan ekspresi lucu. Dia melepas pelukan kaki kakaknya itu, Dirga mengacak rambut adiknya. Sejenak dia mengingat peristiwa kelahiran adik terakhirnya yang membuat nyawa ibunya tak tertolong karena eklampsia yang dideritanya saat mengandung. Kehidupan keluarganya benar-benar kacau. Perusahaan ayahnya bangkrut dan menanggung hutang ratusan juta bahkan sampai angka satu milyar padahal hanya perusahaan skala kecil. Dirga yang masih berusia tujuh belas tahun pun terpaksa pindah ke kampung halaman orang tuanya bersama ibu dan satu adiknya. Meninggalkan ayahnya yang harus menjual semua aset demi melunasi hutang. Mereka bekerja di kampung halaman, Dirga harus sekolah di sekolah desa yang sangat jauh kualitasnya di banding sekolah di ibu kota, biaya di sekolah sebelumnya memang cukup fantastis dan orang tuanya tak mampu lagi. Dirga mengalah, tanpa kata, dia meninggalkan Avia dan teman-temannya, melepaskan kenangan indahnya di masa itu. Dia ikut mengerjakan pekerjaan lepas, apa pun itu asal bisa menyambung hidup keluarganya, bersama ayahnya yang masih berjibaku membayar hutang yang tersisa. Jika ibunya tak memaksa Dirga untuk menerima tawaran kuliah dengan beasiswa itu, mungkin Dirga tak mau kuliah dan memilih bersama orang tuanya saja, namun ibunya memaksanya, Dirga masih ingat kata-kata sang ibu kala itu, “kamu anak sulung ibu. Ibu menaruh harapan besar pada kamu, jika bukan kamu yang merubah perekonomian kita. Siapa lagi? Ayah sudah berhasil melunasi hutang keluarga dan ibu tengah mengandung adik kamu,” ucapnya mengusap perutnya. Dirga memang tak menyangka bahwa dia memiliki adik lagi, padahal jaraknya dengan adik keduanya saja sangat jauh belasan tahun. Dan kini ibunya mengandung lagi anak ketiganya. “Lalu bagaimana dengan ... keluarga kita nanti?” ucap Dirga. Ibunya hanya tersenyum lembut. “Semua akan baik-baik saja, ayah kamu orang yang pantang menyerah, dan ibu yakin kamu juga seperti itu,” ucapan ibunya masih terus terngiang. Dirga pun pergi ke luar kota untuk menyelesaikan studinya sambil bekerja. Setelah lulus, dia pun bekerja di perusahaan tak jauh dari kampusnya meski gajinya tidaklah sebesar di ibu kota. Dia tak pernah menyangka bahwa ibunya mengandung lagi di usianya yang dua puluh tiga tahun. ibunya berkata kebobolan, padahal usia ibunya tak muda lagi, hingga kelahiran Ersha membuat ibunya harus mengembuskan napas terakhir. Sang ayah yang begitu kehilangan, tak kuat menanggung derita membesarkan bayi itu pun jatuh sakit, lalu meninggal ketika Ersha berusia dua tahun. Tak ingin berlarut dalam kesedihan, Dirga pun mencari kerja di ibu kota, memboyong ketiga adiknya. Dan dia tinggal di kontrakan ini sejak itu. Ibu pemilik kontrakan yang baik yang tak pernah menagih dengan cara kasar itu membuat Dirga bertahan meski kontrakan ini tampak cukup kumuh. Bahkan induk semang itu yang membantu menjaga Ersha ketika Dirga bekerja dan kakak-kakaknya sekolah. Dia tak memiliki anak, itu sebabnya dia sangat menyayangi adik-adik Dirga. Semakin lama kebutuhan semakin banyak, maka dia pun pindah kerja ke perusahaan Avia yang menurutnya bisa menggajinya lebih besar dibanding perusahaan sebelumnya yang tidak bisa menambahkan gajinya meski kinerjanya melebihi ekpektasi semua orang. “Ih kok bengong! Kesurupan lho,” ujar Ersha. Dirga tertawa dan mengangkat Ersha ke dalam gendongannya. Ersha mendorong kepala Dirga menjauh hingga Dirga menurunkan lagi adiknya, “jadi abang harus mandi dulu sebelum dipeluk, ya?” candanya. Sierra mengintip dari dapur sambil menggulung lengan bajunya. “Mandi dulu sana, Bang. Makanannya sebentar lagi matang.” Gadis itu tampak cantik dengan hidung mancung dan bibir mungil. Dirga yakin dia menjadi idola di sekolahnya. Dirga mencubit pipi Ersha sebelum pergi ke kamar mandi. “Baik, Bos!” ucapnya, meniru nada galak Avia di kantor, membuat adik-adiknya tertawa. Namun, di balik tawa itu, Dirga tahu hidup mereka tidaklah mudah. Selesai mandi, Dirga duduk di ruang depan yang jika malam disulap menjadi kamarnya. Dia makan bersama adik-adiknya. Hidangan malam itu sederhana, sayur bening dan telur goreng. Namun, cukup untuk membuat perut mereka kenyang. “Aku tadi lihat lowongan kerja part-time di minimarket dekat sekolah,” kata Sierra tiba-tiba. “Mungkin aku bisa kerja malam setelah pulang sekolah.” Dirga meletakkan sendoknya dan menatap adiknya dengan serius. “Kamu fokus sekolah saja, Sierra. Abang sudah bekerja, jadi kalian enggak perlu ikut banting tulang. Kalian tahu enggak? Gaji abang dua kali lipat dari kantor sebelumnya,” ucap Dirga memamerkan senyum manisnya. “Tapi, Bang, uang sekolah Kenzo dan Ersha semakin banyak, pasti butuh biaya tambahan,” balas Sierra pelan. “Kita juga harus bayar kontrakan bulan depan.” Dirga menghela napas. Ia tahu Sierra ingin membantu, akan tetapi dia tidak ingin adiknya kehilangan masa remaja karena harus bekerja. “Abang yang urus itu semua. Kamu cukup bantu di rumah, oke?” Sierra menggigit bibirnya, meskipun pada akhirnya dia mengangguk. Di sebelahnya, Kenzo yang sejak tadi diam akhirnya bersuara, “Bang Dirga suka kerja di kantor baru?” Dirga terkekeh. “Lumayan.” “Bosnya galak?” tanya Ersha dengan mata berbinar. Dirga teringat tatapan tajam Avia, dan ia langsung tertawa. “Banget. Kayak singa kelaparan.” Kenzo dan Ersha saling pandang, lalu tertawa bersama. Namun, Sierra memperhatikan ekspresi Dirga lebih dalam. “Abang kayaknya enggak terlalu keberatan sama bos yang galak,” ucapnya dengan nada menggoda. “Jangan-jangan... bosnya itu temen lama Abang, ya?” tebaknya sangat tepat sasaran. Dirga terdiam sejenak, lalu mengangkat bahunya. “Bukan teman. Tapi saingan.” Sierra mengernyit. “Tapi kok kayaknya Abang senang kalau ngomongin dia?” Dirga tidak menjawab, hanya tersenyum kecil sambil menghabiskan makanannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN