Bab Enam

1308 Kata
Evan tersenyum, saat melihat Ciara diam mematung memandangnya. Tanpa rasa bersalah. Tanpa merasa canggung. Pria itu, menyapa Ciara dengan tenang. "Malam, Ciara." Evan, masih mempertahankan senyumnya. Meski, Ciara tak membalas sapaannya sama sekali. Bahkan, wanita itu justru membuang muka dan pergi meninggalkannya begitu saja. Tak ada rasa sedih sedikit pun, di hati Evan. Ia paham bahwa, tak akan mudah pastinya untuk mendekati wanita itu kembali. Jadi, dengan mental sekuat baja. Ia akan meneruskan langkahnya mendekati Ciara. "Ciara bilang, kamu jadi atasan dia, ya?" Rahmat memecah hening yang tercipta selama beberapa saat. Evan mengalihkan pandangannya ke arah Rahmat. "Iya, Wak. Ciara kerja di ruangan yang sama, sama Ano." Rahmat mengangguk mendengar jawaban Evan. Khadijah datang, dengan membawa kopi dan beberapa potong donat di tangannya. Kemudian, menyuguhkannya untuk Evan. "Ini donatnya dimakan ya, No. Uwak bikin tadi sore." Tanpa menolak. Evan langsung melahap satu donat yang sudah dibalur dengan gula halus. Meski sederhana. Namun, donat tersebut sangat lembut Evan rasakan. Menurut Evan. Tak ada satu pun, masakan yang gagal dibuat oleh Khadijah. Hampir semua masakannya, selalu pas di lidah siapa saja. Khadijah, sangat pandai dalam menyesuaikan selera orang-orang. "Wahh, kangen banget rasanya Ano sama masakan Uwak." Itu, sudah donat kedua, yang Evan lahap. Khadijah tertawa melihatnya. Ia, sangat suka melihat orang lain begitu menikmati masakannya. "Pelan-pelan, No. Ga bakal Uwak minta, kok." Rahmat tertawa melihat tingkah pria muda di hadapannya itu. Evan tersenyum malu. "Maklum, Wak. Udah lama, ga makan masakan rumah." Seketika, ekspresi wajah Khadijah dan Rahmat berubah sendu. Evan, yang menyadari perubahan itu pun, menghentikan kegiatan makannya. "Kok, malah pada diem, Wak?" tanyanya, yang pura-pura tak mengerti. "Ya, gimana ga mau diem. Kamu ngomong hal sedih kaya gitu," ujar Khadijah pelan. Evan tertawa. Lalu memegang tangan Khadijah. "Ano aja biasa aja, Wak. Masa, malah Uwak yang sedih gini, sih." Rahmat, yang menyadari bahwa Evan berusaha biasa saja pun, akhirnya ikut mencoba bersikap santai. "Makanya, No. Cepetan cari bini. Biar ada yang masakin," guraunya. Evan makin tertawa dibuatnya. "Kan, tadi Ano udah bilang, Wak. Belum ada yang mau sama Ano." Khadijah dan Rahmat sama-sama geleng kepala. "Kalau Uwak punya rekomendasi. Boleh lah, Ano pertimbangkan. Janda juga ga pa-pa, kok," lanjutnya. Rahmat dan Khadijah saling pandang. Keduanya, paham maksud dari ucapan Evan barusan. "Buat yang satu itu. Kayanya bakal sulit, No," jujur Rahmat. Evan menegakkan posisi duduknya. "Kenapa emangnya, Wak?" Rahmat menarik napasnya dalam. "Kamu, harus tanya alasannya langsung ke Ciara, No." Muncul tanda tanya yang begitu besar di benak Evan. Mengapa Rahmat tak langsung menjawab saja. Tapi, malah memintanya untuk bertanya langsung pada Ciara. Jika alasannya karna Ciara sudah memiliki calon suami. Harusnya, Rahmat tinggal menjawab saja dengan jujur. Tak perlu, memintanya bertanya pada Ciara. Atau kah, ada sesuatu yang disembunyikan keluarga ini. Demi menjaga perasaan Ciara. Evan pastikan, ia akan mencari tahu sesegera mungkin. *** Evan terburu, karna rapat sudah dimulai sejak lima menit yang lalu. Hingga, ia tak sengaja menabrak Kanaya, yang muncul dari persimpangan koridor. Suara benda terjatuh, tertangkap indera pendengaran Evan. Dan dapat Evan lihat juga, seseorang terjatuh akibat tertabrak olehnya. Gadis itu meringis, merasakan nyeri di bagian bokongnya. "Maaf, Mbak. Saya ga sengaja." Evan mengulurkan tangannya, yang langsung disambut oleh gadis itu. Gadis itu merapihkan pakaiannya. Juga, menepuk-nepuk celananya demi menghilangkan debu yang menempel di sana. Sesaat, gadis itu terperangah kala melihat orang yang menabraknya adalah Evan. Lelaki, yang ia kagumi parasnya. Ya. Gadis yang Evan tabrak adalah Kanaya. Pegawai baru, yang sempat menitipkan salamnya untuk Evan. "Mbak. Mbak." Evan melambaikan tangannya di depan wajah Kanaya, yang saat ini terdiam menatapnya. Berbeda dengan Kanaya. Evan, pria itu sama sekali tak terpesona dengan kecantikan Kanaya. Maklum saja. Bagi Evan, tak ada yang lebih cantik dibanding Ciara. Sekali lagi, Evan melambaikan tangannya di depan wajah Kanaya. Saat itu lah, baru Kanaya sadar dari lamunannya. "Eh iya, Mas," ucap Kanaya gugup. "Mbaknya, ga pa-pa?" tanya Evan memastikan. "Iya, Mas. Saya baik-baik aja." Evan mengembuskan napasnya lega. Melirik jam tangan, ia pun, berpamitan pada gadis itu. "Kalau gitu, saya dulua ya, Mbak," pamitnya, yang langsung diiyakan oleh Kanaya. Namun, baru dua langkah Evan berjalan. Ia mendengar suara ringisan dari arah belakangnya. Dapat Evan lihat, Kanaya tengah memegang pergelangan kakinya. Sontak, Evan membalikan kembali langkahnya dan mendekati Kanaya. "Mbaknya, beneran ga pa-pa?" tanya Evan, yang membuat Kanaya terkejut. Mungkin, karna tadi terlalu terkejut melihat Evan. Ia, sampai tak sadar jika kakinya terkilir. Saat Evan pergi, dan ia hendak melangkah. Barulah, rasa sakit itu ia rasa. Kanaya tak menjawab. Ia hanya, tersenyum canggung. Malu, jika sekarang ia bilang ia merasakan sakit di kakinya. Padahal, tadi ia sudah berkata bahwa ia baik-baik saja. Evan yang mengerti tanpa harus Kanaya manjawab pun, segera merapihkan berkas yang berceceran di lantai. Kemudian, membantu Kanaya dengan memapahnya menuju kursi terdekat. Meski, gadis itu sudah menolak bantuannya. "Tunggu di sini sebentar, ya," titah Evan, yang langsung dianggukki Kanaya. Evan menghubungi temannya. Meminta ijin untuk datang terlambat di rapat kali ini. Ia juga, menghubungi temannya yang lain untuk membantunya membawa Kanaya ke klinik terdekat. Evan yakin, kaki Kanaya terkilir saat terjatuh tadi. Teman yang Evan hubungi untuk membantunya membawa Kanaya ke klinik, merupakan seorang office girl. Sengaja, karna biasanya jam segini Lala, office girl tersebut tak banyak kerjaan. Jadi, ia bisa leluasa meminta Lala untuk menemaninya. Tak butuh waktu lama, Lala sudah berdiri di depan Evan dan Kanaya. Segera, ia mengajak keduanya untuk berjalan menuju mobilnya. Karna tak ingin kaki Kanaya terkilir makin parah. Evan pun, memutuskan untuk menggendong Kanaya sampai ke parkiran mobilnya. Untungnya, saat ini adalah jam kerja. Di mana, para pegawai kebanyakan tengah sibuk dengan tugasnya masing-masing. Jadi, tak banyak orang yang berlalu lalang di koridor kantor, dan berpapasan dengan mereka. Kanaya memeluk leher Evan erat. Meski, ia tahu Evan tak akan mungkin menjatuhkannya. Hanya saja, ini menjadi kesempatan baginya bisa berada sedekat ini dengan pria pujaan hatinya. Jadi, tak akan mungkin Kanaya melewatkan kesempatan yang ada. Sesampainya di mobil, Evan langsung menurunkan Kanaya di bangku belakang begitu Lala membukakan pintunya. Setelah Kanaya duduk, Lala pun, menyusul duduk di sampingnya. Sedang Evan, duduk di belakang kemudi. Dengan segera, kendaraan roda empat itu melaju membelah jalanan. *** "Harusnya, Mas Evan ga usah sampai nganter saya ke rumah kaya gini." Di klinik tadi, dokter menyarankan agar Kanaya banyak beristirahat di rumah, agar kakinya segera membaik. Untuk itulah, setelah dari klinik Evan langsung mengantar Kanaya pulang ke rumahnya. Setelah sebelumnya, pria itu mengantarkan Lala terlebih dahulu kembali ke kantor. Evan yang sedang fokus mengemudi, menoleh ke arah Kanaya dan tersenyum tipis. "Santai aja, Nay. Lagian, ini salah satu bentuk tanggung jawab saya karna udah bikin kamu cedera." Kembali, Evan fokus pada kemudinya. Evan baru mengetahui nama Kanaya, saat ia mendaftarkan gadis itu di bagian administrasi tadi. Dan ia, cukup terkejut bahwa gadis itu adalah orang yang pernah menitip salam untuknya. Namun demikian. Evan lebih memilih untuk acuh. Karna ia tak memiliki rasa apapun pada gadis itu. Kanaya juga, meminta Evan untuk memanggilnya dengan nama saja. Tanpa embel-embel 'mbak' atau semacamnya. Karna menurut Kanaya, usianya di bawah Evan beberapa tahun. Jadi, ia tak nyaman dipanggil dengan embel-embel seperti itu. "Tapi, tetep aja. Padahal kan, saya bisa naik taksi online. Dari pada ngerepotin kaya gini," ucap Kanaya, yang merasa tak enak pada Evan. "Santai." Hanya itu jawaban yang Evan berikan. Ia, tak ingin mempermasalahkan hal ini lebih panjang. "Lagian, saya juga harus minta maaf ke orang tua kamu. Karna saya udah bikin kamu kaya gini." Kanaya mengangguk. Setelah itu, memilih diam. Begitu pun, dengan Evan. Senyum tipis, selalu terukir di bibir Kanaya. Ia, bersyukur karna yang menabraknya adalah Evan, tadi. Karna dengan begitu, ia bisa menghabiskan banyak waktu bersama pria itu. Juga, merasakan diperhatikan oleh Evan. Meski, alasannya hanya karna rasa tanggung jawabnya membuat Kanaya cedera. Namun, hal itu sudah cukup bagi Kanaya. Setidaknya, ia memiliki alasan untuk menyapa Evan kelak, jika mereka berpapasan di kantor nanti. Dan Kanaya berharap, mereka bisa menjadi lebih dekat nantinya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN