Bab Delapan

1786 Kata
Evan mengedarkan pandangannya. Mencari keberadaan teman-temannya di kantin. Indra penglihatannya menangkap bayang seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya. Namun bukan temannya yang melambai. Melainkan, Kanaya. Tak ingin membuat gadis itu malu. Evan melangkahkan kakinya mendekat ke arah Kanaya. "Mas Evan lagi cari tempat duduk, ya?" tanya Kanaya. "Ehm ...," Belum sempet Evan menjawab, Kanaya sudah lebih dahulu memotong ucapan Evan. "Duduk di sini aja, gimana?" Saat ingin menjawab. Evan melihat Syarif melambaikan tangan padanya. "Eh, ga usah, Nay. Itu temen Mas udah manggil. Duluan ya, Nay." Dapat Evan lihat, raut kecewa di wajah Kanaya. Namun, itu bukan urusannya. Bukan salah Evan, jika pria itu tak bisa membalas perasaan Kanaya, kan. "Lu, udah mulai pendekatan sama Kanaya?" Belum sempat Evan mendudukan dirinya di kursi. Pertanyaan itu, sudah terlontar lebih dahulu dari mulut Syarif. Evan menggeleng. "Bukan pendekatan. Tapi, ya biasa aja." "Karna kejadian lu nabrak dia itu, ya?" tanya Zaid, yang kini membuat Evan mengangguk. "Yaudah. Gas aja, lah. Dari pada ngarepin Ciara, yang jelas-jelas nolak lu." Danang menyemburkan makanannya. Tepat, di wajah Iksan yang duduk di hadapannya. "Iyuh ... Jorok banget." Iksan mengusap wajahnya dengan lengan kemejanya. "Sorry." Buru-buru, Danang membersihkan mulutnya. Kemudian, menyerahkan sapu tangan yang sering ia bawa pada Iksan. "Lu, suka juga sama Ciara, Van?" tanya Danang, yang memang tak tau jika Ciara merupakan mantan Evan. Zaid menggeleng. Kemudian, mengambil sendok makan Danang dan menyerahkan pada pria itu. "Udah. Lu, lanjutin makan aja, ya," titahnya, yang membuat Danang mendengus. "Gue lagi serius, Za," kesal Danang. "Lah, gua juga serius, Nang." Zaid tersenyum, melihat Danang kesal. Evan, yang melihat tingkah temannya itu, hanya bisa mengembuskan napasnya berat. "Ciara itu mantan gue, Nang." Mata Danang membulat, mendengar ucapan Evan barusan. "Lu serius?"  Evan mengangkat bahu acuh. "Terserah, kalau lu ga percaya." "Sejak kapan, Van?" tanya Danang kembali. "Apanya?" Balik tanya Evan tak mengerti. "Putusnya." Evan mengangguk. "Oh. Sejak tujuh tahun yang lalu." Semuanya terperangah mendengar jawaban Evan. Syarif menutup mulutnya. "Gila. Lama banget." "Dan, selama itu juga dia ga bisa move on dari Ciara." Zaid menjelaskan. Iksan dan Zaid yang memang sudah mengetahui lebih dulu. Bersikap biasa saja. Berbeda dengan Syarif dan Danang yang terlihat sangat kaget. "Ah. Gue jadi inget. Dulu, pas gue bilang mau deketi Ciara, lu sampe keselek makanan. Itu karna dia mantan lu, ya?" Kembali Danang teringat dengan kejadian saat itu. "Bisa dibilang begitu, lah." Tak ingin membahas lebih lanjut, Evan meminta keempat temannya itu untuk berhenti bertanya lebih lanjut seputar hubungannya dengan Ciara dulu. Juga, alasan mengapa mereka bisa putus. Yang sebenarnya, sampai saat ini pun, Evan tak mengetahui dengan pasti apa alasannya. *** Evan menunggu Ciara di depan pintu ruangan mereka. Ia, ingin mengantar Ciara pulang ke rumahnya. Sekalian, memenuhi undangan Khadijah untuk makan malam di rumahnya. Ia juga sudah berkata pada Ciara, bahwa Rahmat menitipkan dirinya untuk diantar pulang oleh Evan sore ini. Yang mau tak mau, Ciara iyakan ajakan Evan. Ya. Orang yang biasa mengantar jemput Ciara adalah Rahmat. Dan, karna Evan akan berkunjung ke rumahnya, ia tak keberatan jika Ciara pulang bersama pria itu. "Yuk," ajak Evan, saat Ciara sudah berada di hadapannya. Evan berjalan di belakang Ciara. Sengaja. Ia, ingin memperhatikan wanita itu lebih lama. Pintu lift terbuka. Di dalamnya, sudah ada Kanaya yang berdiri di bagian depan barisan. Senyum di wajah Kanaya terbit. Ia pun, melambaikan tangannya pada Evan. Evan masuk terlebih dahulu, dan berdiri di samping Kanaya. Sedang Ciara, berdiri di depan Evan karna bagian dalam sudah penuh. "Mas Evan, bawa mobil lagi, ga?" tanya Kanaya, yang membuat Evan menoleh ke arahnya. "Bawa, sih." Kanaya menepukkan tangannya. "Kalau gitu, Naya numpang boleh, kan? Soalnya, Naya tadi ke sini dianter sama papah. Tapi, papah ga bisa jemput karna ada urusan di luar. Mas Evan, kan tau kalau Naya ga boleh naik kendaraan umum dulu setelah tabrakan kita waktu itu." Penjelasan Naya itu, mau tak mau membuat Evan menjadi tak enak hati. Di satu sisi, Evan ingin mengabaikan permintaan Kanaya, karna ia ingin berdua saja dengan Ciara. Di sisi lain, Evan merasa bertanggung jawab atas kondisi Kanaya sekarang. Hingga mau tak mau, ia pun, menyetujui permintaan Kanaya untuk mengantar wanita itu pulang terlebih dahulu. Ciara mengubah posisinya, ketika berjalan keluar lift. Ia kini, berjalan di belakang Evan dan Kanaya yang berjalan bersisian. Saat Evan membuka kunci mobilnya, Kanaya langsung membuka pintu di samping pengemudi. Evan ingin melarang. Namun, Kanaya sudah lebih dulu duduk manis di sana. Menoleh ke arah Ciara, Evan pun, meminta maaf pada wanita itu. Acuh. Ciara langsung membuka pintu bagian belakang dan langsung duduk di sana tanpa banyak berkomentar. Kanaya menoleh ke belakang, saat Ciara sudah duduk di kursi belakang. Gadis itu tampak kaget, melihat Ciara duduk di sana. "Loh. Ada yang numpang juga selain Naya, Mas?" Ada rasa tak suka di hati Ciara, saat Kanaya berkata seperti itu. Seolah, kehadirannya sangat tidak diinginkan. Evan yang baru saja duduk di kursi pun, menatap tak enak pada Ciara atas ucapan Kanaya barusan. Tak ingin menanggapi, Evan lebih memilih untuk langsung menjalankan kendaraannya. "Mbaknya, namanya siapa?" Kanaya menghadapkan tubuhnya ke belakang. Mendapat pertanyaan seperti itu, Ciara yang sedang menatap jalanan pun, mengalihkan pandangannya ke arah Kanaya. "Bukannya kurang sopan. Jika kamu bertanya nama, sebelum kamu memperkenalkan diri kamu terlebih dahulu." Kanaya meringis, mendengar jawaban Ciara. "Maaf, Mbak." Kanaya mengulurkan tangannya ke arah Ciara. Yang meskipun ada rasa enggan di hati Ciara, ia tetap menyambut uluran tangan itu. "Aku Kanaya. Panggil Kana, atau Naya juga boleh. Bebas." Kanaya tersenyum manis. "Ciara." Sesingkat itu jawaban Ciara. Posisi tubuh Kanaya berubah. Kini, ia menghadap ke arah Evan. "Mas Evan, nganter mbak Ciara dulu, kan?" Evan menggeleng. "Enggak. Aku anter kamu dulu. Abis itu, baru anter Ciara." Jawaban Evan, membuat Kanaya cemberut. "Kenapa ga anter mbak Ciara duluan, sih. Kan, jadi bisa lebih lama berduaannya," gumam Kanaya, yang dapat Evan dengar, namun tak jelas. "Kamu ngomong apa, Nay?" tanya Evan, untuk memastikan. "Bukan apa-apa, kok," jawab Kanaya berbohong. Tak ada lagi, yang berbicara setelah itu. Sampai tiba di depan rumah Kanaya. Gadis itu pun, mengucapkan terima kasih pada Evan. Dan, berpamitan dengan Ciara. Mobil kembali bergerak. Namun, setelah sepuluh meter mobil itu berhenti. Yang tentu saja, membuat Ciara bingung. "Kenapa berhenti?" Evan tak menjawab. Ia malah turun dari mobil, dan membuka pintu di samping Ciara. "Turun, Ra," perintahnya, yang membuat Ciara bingung. Evan menggendong Ciara. Yang tentu saja, membuat wanita itu terpekik. "Kamu gila, No! Turunin aku." Ciara terus memberontak. Namun, tetap diabaikan Evan. Evan berjalan menuju kursi samping pengemudi. Membuka pintunya. Lalu, menurunkan Ciara di sana. Baru lah, ia kembali ke kursinya setelah sebelumnya ia kembali menutup pintu di samping Ciara. Ciara jadi geram sendiri dengan kelakuan Evan barusan. "Ga bisa kah, kamu bilang baik-baik aja, No?" "Ga bisa." "Kenapa ga bisa?" Evan masih fokus menatap jalanan di depannya. Berbeda dengan Ciara, yang kini menghadap Evan dengan bersedekap d**a. "Karna, kalau aku minta baik-baik. Kamu ga akan nurut." Ciara tak membantah ucapan Evan. Karna memang, apa yang pria ucapkan itu benar adanya. Bisa Ciara pastikan, ia akan tetap duduk di belakang, jika Evan hanya meminta saja. Ciara, terlalu malas untuk pindah posisi duduknya. Evan tersenyum, setelah melirik Ciara yang terdiam sambil merengut. Ekspresi yang Ciara buat tanpa dia sadari, saat ia merengut. Sungguh menggemaskan di mata Evan. Tanpa sadar, Evan menjulurkan tangannya, untuk mencubit pipi Ciara. Ciara yang kaget pun, langsung menepis kasar tangan Evan. "Maaf." "Maaf." Ucap keduanya, secara bersamaan. Evan meminta maaf, karna tiba-tiba mencubit pipi Ciara. Sedang Ciara, meminta maaf karna sudah menepis tangan Evan secara kasar. Harusnya, Ciara cukup melepas tangan Evan secara baik-baik saja. Jadi Evan, tak akan merasa tersinggung dengan perlakuan Ciara barusan. Suasana canggung tercipta di antara mereka. Hening pun, menyelimuti keduanya pada akhirnya. *** Evan dan Ciara turun dari mobil secara bersamaan. Kemudian, berpisah karna rumah tujuan mereka berbeda. Sebelum keduanya sama-sama mencapai rumah, Ciara berbalik. "Apa kamu tau. Sepertinya, Kanaya suka sama kamu." Evan yang mendengar suara Ciara, membalikkan badannya menghadap wanita itu. Kemudian, menatap wanita itu lekat. "Aku tau." Ciara cukup terkejut, mendengar jawaban Evan. Ciara kira, Evan tak tau jika Kanaya menyukai pria itu. Karna Evan, bersikap biasa saja di depan Kanaya. "Lalu, kenapa kamu bersikap seolah ga tau?" tanya Ciara heran. Evan berjalan mendekat ke arah Ciara. Lalu, saat jarak mereka kurang dari setengah meter. Evan berbisik di telinga Ciara. "Karna aku, ga mau ngasih harapan lebih ke dia. Aku masih setia buat ngejar kamu. Sampai kamu lelah, menyerah, dan akhirnya pasrah buat kembali lagi sama aku." Ciara memundurkan langkahnya. Lalu, menatap Evan sendu. "Harus berapa kali aku bilang ke kamu, No. Aku ga pantes buat kamu." Evan menggeleng. Tak setuju dengan ucapan Ciara. "Dan, harus berapa kali juga aku bilang. Kalau aku, ga akan menyerah sebelum kamu ngasih alasan yang jelas ke aku." Ciara yang sedang menutup wajahnya, menurunkan tangannya. Lalu, menatap ke arah Evan. Tepat, di kedua matanya. "Jika aku kasih tau kamu alasannya. Apakah kamu akan mundur?" "Coba saja," tantang Evan. Ciara menarik napasnya dalam. Lalu, mengembuskannya perlahan. Barulah, ia mulai membuka mulutnya kembali. "Aku wanita kotor, No. Dan, wanita kotor seperti aku. Ga akan pernah pantas buat laki-laki baik seperti kamu." Serasa ada bom yang meledak dalam pikiran Evan, saat mendengar pengakuan Ciara barusan. Tak pernah ia sangka, kalimat seperti itu akan keluar dari mulut Ciara. Wanita, yang ia kenal sebagai wanita baik-baik. Kini, pikiran Evan menjadi kosong. Bahkan, Evan tetap bergeming meski Ciara sudah meninggalkannya sendiri. "No." Tepukan di bahu, menyadarkan Evan dari lamunannya. Rahmat yang melihat Evan hanya terdiam, curiga terjadi sesuatu antara Evan dan keponakannya, Ciara. "Kamu ga pa pa, No?" tanya Rahmat memastikan. Evan menggeleng. "Ano ga baik-baik aja, Wa." Rahmat terkejut dengan jawaban Evan. Gegas, ia membawa Evan ke dalam rumahnya. Bertemu dengan Khadijah di depan pintu. Rahmat meminta istrinya tersebut untuk mengambilkan air terlebih dahulu untuk Evan. Keduanya duduk bersisian. Tak lama, Khadijah datang dengan membawa air putih hangat di tangannya. "Minum dulu, No," ucap Khadijah sambil menyodorkan air minum itu pada Evan. Dalam sekali tenggak, Evan menghabiskan minumannya. "Pelan-pelan, No," pesan Rahmat, yang Evan abaikan. Tenggorokan Evan, terasa begitu kering sekarang. Dan, air hangat ini mampu menghilangkan dahaga Evan. "Ada apa, No?" tanya Khadijah dengan nada khawatir. Jujur saja. Sejak ia melihat Evan dipapah oleh Rahmat tadi, ada perasaan tak enak di hatinya. "Ciara. Dia bilang, dia wanita kotor, Wak." Tubuh Rahmat dan Khadijah sama-sama kaku, mendengar ucapan Evan. Keduanya, saling menatap satu sama lain. Karna tak mendapat tanggapan dari kedua orang di sampingnya. Evan, yang sejak tadi menunduk pun, mengangkat wajahnya. "Itu ga bener kan, Wak?" Evan berusaha mencari pembelaan dari kedua orang tersebut. Namun, nihil. Keduanya diam. Tak ada pembelaan sama sekali. Yang artinya, ucapan Ciara bisa jadi benar. "Wak. Itu ga bener, kan?" tanya Evan memastikan sekali lagi. Rahmat menghela napas berat. Sedang Khadijah, membuang mukanya sambil menahan tangis. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN