PROK!
PROK!
PROK!
Suara tepuk tangan bergema di ruangan megah itu, membelah suasana pesta yang semula penuh musik dan tawa ringan. Semua orang terdiam, memalingkan pandangan ke arah sumber suara yang begitu mencolok. Matteo berdiri di tengah ruangan utama dengan jas hitamnya, seolah seluruh ruangan adalah panggung dan ia adalah bintang utama malam itu.
Tatapan para tamu segera tertuju padanya. Beberapa dari mereka saling berbisik, beberapa lainnya pura-pura tidak peduli, tapi ketegangan mulai terasa di udara.
Zenia yang tengah berdiri di samping seorang pengusaha paruh baya, membeku seketika. Matanya membulat, menatap Matteo yang perlahan berjalan mendekat sambil terus menepuk tangannya dengan tempo pelan namun penuh sindiran.
“Lihatlah,” suara Matteo terdengar lantang, menembus keheningan ruangan. “Betapa memukaunya sang janda terhormat kita malam ini. Seperti selalu—anggun, ramah, dan tentu saja... sangat pandai menarik perhatian.”
Zenia memejamkan matanya sesaat. Ia bisa mendengar bisikan mulai muncul dari berbagai sudut ruangan. Ia tahu Matteo sedang berusaha mempermalukannya, dan itu berhasil.
“Matteo, cukup,” ucapnya dengan nada rendah, hampir berbisik, namun penuh peringatan.
Matteo malah tersenyum miring. “Cukup? Bukankah kau yang ingin dipuja malam ini, Zenia? Bukankah ini pesta yang sempurna bagimu? Tempat yang tepat untuk menunjukkan pada semua orang bahwa kau masih bisa... menawan hati siapa pun yang berduit?”
Nada suaranya menusuk seperti belati.
Beberapa tamu saling berpandangan, tidak nyaman, tapi tidak ada yang berani menengahi. Zenia berdiri tegak, menatap Matteo dengan mata bergetar, namun wajahnya berusaha tetap tenang.
“Aku datang ke sini untuk menghormati Carlo dan rekan-rekannya,” katanya, suaranya bergetar karena menahan marah. “Bukan untuk menjadi bahan ejekanmu, Matteo.”
“Oh tentu saja,” balas Matteo, tertawa dingin. “Kau menghormati suamimu? Suami yang hampir setengah abad lebih tua darimu? Suami yang kau nikahi saat kau nyaris tidak punya apa-apa? Dan sekarang setelah dia mati, kau masih menjaga namanya… tapi dengan cara berdiri di tengah pesta ini, berdandan seperti ingin menaklukkan dunia atau lelaki lain? Kau pikir orang-orang di sini tidak tahu motifmu?”
Napas Zenia tercekat. Ia bisa merasakan pandangan puluhan pasang mata menusuk ke arahnya. Rasa malu bercampur marah membakar d**a.
“Berhenti, Matteo.”
Matteo mendekat, langkahnya berat, suaranya turun menjadi tajam dan pelan, cukup untuk membuat semua orang diam menunggu. “Kau pikir aku tidak tahu, Zenia? Semua yang kau lakukan, semua cara kau tersenyum, semua cara kau bicara manis pada mereka... kau hanya mengulang kisah lama. Kau mencari sosok Carlo lain, bukan?”
Zenia menatapnya tak percaya. Air matanya menetes pelan, tapi suaranya tetap tegas. “Kau keterlaluan, Matteo.”
Dan sebelum siapa pun sempat bereaksi, tangan Zenia terangkat dan mendarat keras di pipi Matteo.
Plak!
Suara tamparan itu terdengar jelas di antara denting gelas dan bisikan yang tiba-tiba terhenti. Seluruh ruangan hening. Matteo terpaku, kepalanya sedikit terputar oleh pukulan itu.
Zenia menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Kau boleh membenciku. Kau boleh menganggapku rendah. Tapi jangan pernah kau injak harga diriku di depan orang lain. Aku bukan mainanmu, Matteo.”
Lelaki itu masih diam. Beberapa detik terasa seperti selamanya. Pipi Matteo memerah, namun tatapannya tidak berubah—dingin, menusuk, dan misterius. Tapi ada sesuatu di balik matanya, sesuatu yang tidak bisa ia sembunyikan: rasa bersalah yang ia benci untuk akui.
Zenia membalikkan badan, meninggalkan tempat itu dengan langkah cepat. Suara hak sepatunya menggema di lantai marmer, menyayat keheningan ruangan.
Beberapa tamu mencoba berpura-pura kembali bercakap-cakap, tapi suasana sudah berubah. Matteo berdiri kaku, menatap punggung Zenia sampai wanita itu menghilang di balik pintu besar.
Salah satu rekan Carlo, Tuan Anderson, menatap Matteo dengan tatapan tajam. “Kau seharusnya malu, Nak. Ayahmu dulu membangun nama keluarga ini dengan kehormatan. Jangan kau hancurkan hanya karena amarahmu sendiri.”
Matteo tidak menjawab. Ia hanya berjalan pelan keluar dari ruangan itu, melewati tatapan semua orang yang kini menilainya dengan jijik dan kekecewaan.
---
Di luar gedung pesta, hujan mulai turun. Zenia berdiri di bawah lampu jalan, payungnya tertinggal di mobil. Riasannya sedikit luntur, tapi yang lebih hancur adalah hatinya. Ia memejamkan mata, merasakan dingin hujan menyentuh wajahnya, mencoba menahan tangis yang hampir pecah.
Matteo muncul beberapa menit kemudian, menyusulnya. Napasnya berat karena berlari, tapi begitu melihat Zenia berdiri sendirian dalam hujan, langkahnya melambat.
“Zenia,” panggilnya pelan.
Zenia tidak menoleh. “Aku tidak ingin bicara denganmu.”
“Dengar dulu—”
“Tidak,” potongnya cepat, suaranya pecah. “Kau sudah cukup mempermalukanku malam ini, Matteo. Kau sudah membuat semua orang memandangku seolah aku kotor. Apa kau puas sekarang?”
Matteo terdiam. Air hujan menetes dari rambutnya, tapi tatapannya tetap tertuju pada Zenia yang membelakanginya.
“Aku hanya…” Matteo menelan ludah, bingung dengan kalimatnya sendiri. “Aku tidak suka melihatmu di sana. Di tengah semua laki-laki itu. Mereka menatapmu seolah—”
“Seolah apa?” Zenia berbalik, matanya memerah. “Seolah aku pantas? Seolah aku w************n seperti yang kau tuduhkan?”
“Bukan begitu!” suara Matteo meninggi. “Aku hanya… aku tidak tahu kenapa aku marah!”
Zenia menatapnya dengan getir. “Kau marah karena apa, Matteo? Karena aku masih hidup? Karena aku menjaga nama ayahmu? Atau karena hatimu tidak bisa menerima bahwa aku pernah menjadi bagian dari keluarga ini? Atau karena semua harta itu?!”
Matteo tidak menjawab. Ia berdiri di sana, tubuhnya kaku, pikirannya kusut.
Zenia menggeleng pelan. “Kau tidak tahu apa-apa tentang hidupku, tentang apa yang kulalui bersama Carlo. Kau hanya tahu menilai, tapi tidak pernah mencoba mengerti.”
Zenia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Matteo yang berdiri sendiri di bawah hujan. Lelaki itu memejamkan matanya, meninju dinding batu di sebelahnya hingga berdarah.
“Hidup macam apa ini…” gumamnya, nyaris seperti bisikan.
Dan malam itu, dua hati yang sama-sama terluka berjalan menjauh satu sama lain—tanpa tahu bahwa semakin mereka saling membenci, semakin kuat pula keterikatan yang tumbuh di antara mereka. Sebuah rasa yang bukan cinta, bukan pula kebencian murni… tapi campuran keduanya, yang pelan-pelan akan menghancurkan mereka berdua dari dalam.
Matteo memang keterlaluan sekali dirinya memperlakukan Zenia seperti tadi. Arghttt! Matteo hanya tidak bisa untuk .... sialan! Dia memang jahat!
***