Bab 18

1091 Kata
Zenia menata loyang dengan hati-hati, aroma manis dari adonan red velvet memenuhi seluruh dapur yang luas itu. Suasana rumah terasa sangat berbeda kali ini—tidak ada suara musik keras, tidak ada tawa kasar tamu-tamu Matteo, tidak ada teriakan menyuruh atau menghina dan tentunya si lelaki pembuat onar itu tidak ada sekarang. Hanya ketenangan yang mengisi setiap sudut ruangan. Zenia bahkan bisa mendengar suara burung dari taman belakang dan hembusan angin yang menerpa tirai tipis di dekat jendela. Dia tersenyum tipis sambil menatap oven, seperti menemukan sedikit kedamaian yang sudah lama tidak ia rasakan. Dalam hati kecilnya, Zenia tahu bahwa momen seperti ini langka—karena Matteo bisa kembali kapan saja, membawa badai yang mengacaukan lagi segalanya. Lelaki itu seperti iblis yang tak mengenal belas kasihan, apalagi terhadap dirinya. Setelah memastikan kue di dalam oven matang sempurna, Zenia melepas celemeknya dan merapikan rambutnya. Dia mengambil tas kecil dan memeriksa cermin di ruang tengah. Pantulan wajahnya terlihat lelah namun tetap cantik dengan sorot mata yang tenang. “Setidaknya hari ini tenang,” gumamnya lirih. Dia menuju garasi dan menyalakan mobil kecil peninggalan Carlo. Mobil itu bukan mobil mewah, tapi memiliki kenangan mendalam baginya. Carlo-lah yang membelikannya dengan senyum hangat di hari ulang tahunnya dulu. Walau pernikahan mereka dulu dilandasi oleh uang, tapi Carlo tidak pernah memperlakukannya seperti barang. Lelaki tua itu memberi kasih sayang dengan cara yang tenang, seperti seorang ayah yang melindungi anaknya. Zenia melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya yang terletak di kawasan pinggiran kota. Rumah kecil bercat krem itu tampak asri dengan taman bunga di depannya. Begitu Zenia memarkirkan mobil, ibunya sudah berdiri di depan pintu dengan wajah cerah. “Zenia! Sudah lama sekali kau tidak ke sini!” seru ibunya sambil membuka pagar. Zenia tersenyum, mendekat dan memeluk wanita itu erat. “Maaf, Ma… belakangan aku sibuk.” “Sibuk atau Matteo yang tidak mengizinkan?” balas sang ibu dengan nada khawatir. Zenia menggeleng pelan. “Tidak, Ma. Hari ini dia keluar kota, tapi, entahlah, aku juga kurang tahu dia berada dimana. Aku hanya ingin menikmati waktu tenang sebentar.” Mereka masuk ke dalam rumah, duduk di ruang tamu yang penuh dengan foto-foto lama. Zenia memperhatikan foto dirinya semasa kecil, bersama Papa dan Mama yang masih muda. Rasanya seperti kehidupan yang begitu jauh dari realitasnya sekarang. “Bagaimana kehidupanmu di rumah besar itu?” tanya sang ayah dari kursi goyangnya. “Aku dengar Matteo sering membuat pesta…” Zenia terdiam sejenak sebelum menjawab, “Iya, Pa. Tapi aku tidak ikut campur. Aku hanya… mencoba menjaga rumah itu tetap layak dihuni.” Ayahnya menghela napas panjang. “Kalau Carlo masih hidup, dia tidak akan diam melihat putranya berbuat seenaknya. Kau tahu, anak itu keras kepala sejak kecil. Tapi dia tidak punya batas. Sekarang setelah Carlo tiada, dia merasa bebas melakukan apapun.” Zenia menunduk, jemarinya meremas ujung roknya. “Aku tahu, Pa. Aku menyesal karena tidak bisa mencegahnya.” Ibunya menatap lembut. “Zenia, tidak semua hal bisa kau kendalikan. Carlo memilihmu karena dia percaya padamu. Jangan biarkan rasa bersalah itu menghancurkanmu.” Air mata Zenia jatuh tanpa bisa ia tahan. “Tapi dia mempermalukanku, Ma. Dia menjadikanku pelayan di rumah yang dulu Carlo bangun dengan kebanggaan. Semua tamunya memperlakukanku seperti… seperti aku bukan siapa-siapa.” Ibunya menggenggam tangannya erat. “Dengarkan Mama, Nak. Tidak ada orang yang bisa mempermalukanmu kalau hatimu tetap kuat. Jangan biarkan Matteo membuatmu lupa siapa dirimu.” Zenia menatap wajah ibunya yang penuh kasih itu dan tersenyum pahit. “Aku akan mencoba, Ma. Aku berjanji.” Setelah makan siang bersama orang tuanya dan berbincang panjang, Zenia berpamitan pulang. Tapi dalam perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi kecemasan yang tidak bisa ia redam. Entah kenapa hatinya gelisah. Seolah firasat buruk berbisik bahwa ketenangan hari ini akan segera berakhir. Begitu mobilnya masuk ke halaman rumah besar itu, Zenia langsung merasakan perubahan suasana. Ada beberapa mobil sport terparkir di depan, dan suara musik samar terdengar dari dalam. Wajahnya menegang. “Dia sudah pulang?” gumamnya. Dengan langkah hati-hati, Zenia masuk. Benar saja, Matteo sedang duduk di ruang tamu dengan beberapa temannya. Wajahnya dingin, dan sebotol minuman keras di tangannya. Begitu melihat Zenia, senyum sinis terlukis di bibirnya. “Lihat siapa yang datang. Ibu rumah tangga yang tiba-tiba rajin membuat kue,” ucap Matteo dengan nada mengejek. Zenia menahan napas, berusaha tenang. “Aku hanya pergi ke rumah Papa dan Mama.” “Oh, tentu. Mengeluh tentangku lagi, ya?” Matteo menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. “Apa yang kau katakan pada mereka kali ini, hm? Bahwa aku monster? Bahwa aku menjadikanmu pembantu di rumah ini?” Zenia menggeleng cepat. “Tidak, Matteo. Aku hanya—” “Diam!” teriak Matteo tiba-tiba, membuat teman-temannya di sofa tertawa kecil. “Kau pikir aku bodoh? Kau pikir aku tidak tahu cara kau memandangku selama ini?” Zenia menggigit bibirnya, mencoba menahan gemetar. “Aku tidak memandangmu apa pun. Aku hanya ingin tenang, Matteo.” Lelaki itu menyeringai. “Tenang? Di rumahku?” Dia berjalan berkeliling, lalu menatap lurus ke arah Zenia dengan mata penuh kebencian dan emosi tak terkendali. “Kau tahu apa yang paling aku benci dari dirimu? Kau masih menganggap rumah ini milik Carlo. Kau pikir aku akan tunduk hanya karena dia ayahku dan kau janda sahnya?” Zenia menatapnya tajam tapi penuh luka. “Carlo tidak pernah mengajarkan kebencian, Matteo. Dia hanya ingin kau bertanggung jawab atas hidupmu.” “Bertanggung jawab?” Matteo tertawa keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Lucu sekali mendengar kata itu keluar dari mulut seorang wanita yang menikah demi uang.” Zenia terdiam. Ucapan itu seperti pisau yang menusuk dalam, tapi dia tidak ingin memberikan kepuasan pada Matteo dengan reaksi emosional. Tanpa berkata apa-apa lagi, Zenia berjalan menuju dapur, meninggalkan Matteo dan teman-temannya yang masih tertawa. Tapi dalam hatinya, Zenia tahu satu hal—dia tidak bisa terus hidup seperti ini. Rumah itu bukan lagi tempat berlindung, tapi sangkar yang penuh racun. Malam itu, ketika Matteo dan teman-temannya sudah pergi, Zenia duduk di ruang tamu yang sunyi. Dia memandangi foto Carlo lagi, matanya bergetar. “Carlo… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku lelah, tapi aku tidak bisa pergi begitu saja. Semua ini… masih milikmu.” Dalam diam, Zenia menggenggam bingkai foto itu erat. Dan untuk pertama kalinya, dia berjanji pada dirinya sendiri—kalau Matteo tidak berhenti mempermalukannya, dia akan melawan. Tidak peduli apa pun akibatnya. Itulah malam di mana hati lembut Zenia mulai berubah menjadi batu, perlahan tapi pasti. *** Matteo yang masih di ruang tamu bersama teman-temannya. Menatap teman-temannya dengan senyuman tipis. “Jalang itu benar-benar sok pandai melawan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN