Bab 13

933 Kata
Zenia menghempaskan pintu kamar dengan keras, suara benturan kayu yang terdengar nyaring memenuhi lorong rumah besar Ancelotti. Tubuhnya gemetar, sebagian karena marah, sebagian karena lelah. Ia menatap sekeliling kamar yang mewah, cahaya lampu gantung memantul di permukaan marmer, kontras dengan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya. Matteo yang berdiri di ruang tengah hanya tersenyum samar ketika mendengar hentakan itu. Matanya menyipit, tapi di balik itu ada kilatan geli yang tak bisa ia sembunyikan. Ia mengamati sosok Zenia dengan campuran kagum dan penasaran. Ah, wanita itu begitu lucu. Begitu emosional. Begitu manusiawi. Zenia melempar tasnya ke atas ranjang, napasnya masih terengah. Ia menatap Matteo, matanya menuntut jawaban. “Kenapa kau memaksaku pergi ke tempat itu? Kau tahu aku benci semua itu! Semua orang di sana… mereka menjijikkan!” Matteo berjalan perlahan masuk ke kamar, langkahnya mantap dan tenang, suara sepatu di lantai kayu bergema di seluruh ruangan. Ia berhenti beberapa langkah dari Zenia, menatap wanita itu dengan pandangan tajam. “Aku hanya ingin kau melihat dunia di luar yang memang untuk dirimu,” katanya dingin, namun nada itu lebih pada perintah daripada ajakan. Zenia menghela napas kasar, menutup mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak butuh ucapan memuakan darimu, Matteo. Aku sudah cukup dewasa untuk tahu batasku sendiri. Aku bukan anak-anak yang harus kau bimbing atau kau hukum dengan cara seperti itu.” Matteo tersenyum tipis, menyeringai sedikit, langkahnya mendekat perlahan. “Oh, aku tidak bermaksud mendidikmu, Zenia. Aku hanya ingin kau paham satu hal: di dunia ini, orang-orang tidak mempedulikan batasanmu. Mereka mengambil apa yang mereka mau. Dan kau… kau akan belajar, bahwa menolak bisa membawa konsekuensi.” Zenia merasakan darahnya memanas, amarahnya kembali muncul. Ia menatap Matteo lurus di mata, menegaskan diri. “Aku tidak takut padamu!” Matteo berhenti sedetik, menatap mata Zenia dalam-dalam. Ada ketegangan di antara mereka, sebuah tarikan kuat yang sulit diabaikan. Napas Zenia memburu, tubuhnya menegang. “Tidak takut?” kata Matteo, suaranya turun rendah, tajam. “Kau tidak tahu apa artinya takut… belum.” Zenia menelan ludah, menundukkan kepala sejenak, mencoba menahan gelombang rasa takut dan kesal yang menguasainya. Tapi ia tahu, membiarkan Matteo melihat ketakutannya sama saja menyerah. Jadi ia menatap kembali, tegar. “Kalau begitu, lakukan yang kau mau. Tapi aku tidak akan bergerak dari sini tanpa kehendakku sendiri.” Matteo mendekat selangkah lagi, jarak mereka kini begitu dekat sehingga Zenia bisa merasakan aroma parfum maskulin yang khas itu. Ia tersenyum tipis, matanya tetap menatap penuh penilaian. “Aku senang kau mulai belajar,” katanya pelan. “Tapi jangan lupa, Zenia, aku yang menentukan aturan di sini.” Zenia menggigit bibirnya, menahan amarah dan rasa tidak nyaman. Ia menoleh ke jendela, memandang cahaya lampu kota yang berkilau di kejauhan, mencoba menenangkan pikirannya. Malam itu, setelah klub, rasanya semua dunia Matteo tampak menekan, mengekang, dan tidak adil. Namun di sisi lain, Zenia merasa ada sesuatu yang aneh — ketegangan antara mereka bukan hanya pertarungan d******i. Ada rasa penasaran yang tak bisa ia tolak, rasa ingin tahu tentang apa yang membuat Matteo begitu teguh dan kuat. Matteo menghela napas panjang, menatap Zenia dari atas ke bawah, lalu duduk di ujung ranjang dengan sikap tenang namun penuh kontrol. “Kau bisa mencoba marah, Zenia. Bisa mencoba menolak. Tapi ingat, aku tidak pernah mundur dari sesuatu yang aku inginkan.” Zenia menundukkan kepala, napasnya masih berat. Ia menutup mata, membayangkan semua yang baru terjadi malam ini. Klub, tatapan orang-orang, provokasi Matteo… semuanya. Ia merasa terpojok, tapi di satu sisi, sesuatu di dalam dirinya mulai menyalak. Sebuah tekad kecil bahwa ia tidak akan membiarkan Matteo begitu saja menaklukkan semua kehidupannya. Namun Matteo, dengan senyum tipisnya itu, seakan membaca pikiran Zenia. “Aku tahu kau tidak sepenuhnya menyerah,” katanya pelan, suaranya menembus keheningan kamar. “Itu bagus. Aku suka orang yang menentang. Tapi ingat… perlawanan itu harus pintar, atau kau akan kalah.” Zenia membuka mata, menatap Matteo. Ia merasa bahwa malam ini, pertarungan mereka baru saja dimulai. Pertarungan yang lebih besar daripada hanya soal pergi ke klub atau tidak. Pertarungan tentang kontrol, kehendak, dan siapa yang benar-benar memiliki kekuatan di rumah ini. Matteo berdiri, berjalan ke pintu, dan berhenti sebentar menoleh. “Tidurlah sebentar, Zenia. Malam ini akan panjang, dan kau akan membutuhkan semua energi untuk tetap bertahan.” Zenia duduk di ranjang, menatap Matteo yang keluar dari kamar. Napasnya berat, tangan gemetar sedikit, tapi matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad. Ia tahu — ia tidak bisa menyerah begitu saja, tidak pada Matteo, tidak pada dunia yang mencoba menekannya. Dan di luar sana, Matteo berjalan melalui koridor rumah besar itu, tersenyum tipis. Ia tidak menyadari bahwa setiap langkah yang ia ambil, setiap tekanan yang ia berikan, justru membuat Zenia semakin menonjolkan kekuatannya sendiri — kekuatan yang mungkin suatu saat akan menjadi tantangan terbesar baginya sendiri. Malam itu, di bawah cahaya lampu kamar yang temaram, ketegangan antara Matteo dan Zenia mencapai puncaknya. Keduanya tahu, bahwa apa yang baru saja terjadi hanyalah awal dari permainan panjang, sebuah pertarungan yang tidak ada pemenangnya sampai masing-masing benar-benar mengerti batas dan kelemahan lawannya. ** Matteo yang masuk ke dalam kamarnya melepas semua pakaiannya. Menatap di cermin tubuhnya yang begitu sempurna. Oh Tuhan! Matteo sedang membayangkan bagaimana kalau Zenia yang sok suci itu berlutut di depannya sekarang lalu memegang kejantanan milik Matteo. Hahaha… Memang pemikiran Matteo memang sudah gila. Ibu tirinya itu membuat dirinya merasa gila. Matteo mengambil sebuah pelumas dan memegang kejantanannya lalu dia memaju mundurkan tangannya di kejantanannya. Sembari membayangkan wajah Zenia yang sedang mengulum miliknya dan dia menyemburkan cairannya di wajah Zenia. Matteo merasa lega ketika miliknya tidur kembali setelah melakukan solo sendirian sembari membayangkan wajah ibu tirinya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN