Zenia berdiri di depan cermin tinggi di kamar besar itu, memandangi dirinya sendiri dengan perasaan campur aduk. Gaun merah mencolok yang dipilih Matteo begitu kontras dengan kepribadiannya. Bahan sutra lembut itu membentuk tubuhnya, menonjolkan lekuk yang selama ini ia sembunyikan di balik pakaian sederhana.
Gaun itu hanya sejengkal dari paha, terlalu berani menurutnya. Ia mencoba menarik ujung bawahnya berulang kali, tapi sia-sia. Begitu ia tarik sedikit, bagian atasnya justru melorot, memperlihatkan bahu yang mulus dan leher yang seharusnya tidak terekspos seperti itu.
Ia mendesah berat.
“Ini gila…” bisiknya pelan pada diri sendiri. “Aku tidak seharusnya memakai ini.”
Tapi suara langkah berat dari arah luar membuat tubuhnya menegang. Pintu kamar terbuka tanpa ketukan. Matteo berdiri di sana dengan jas hitam rapi, dasinya terikat sempurna, aroma parfum maskulin mengisi udara. Tatapan mata tajam lelaki itu langsung tertuju padanya.
Sekilas, tidak ada kata yang keluar. Matteo hanya diam, menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki, dan Zenia tahu betul bahwa tatapan itu bukan sekadar penilaian — melainkan bentuk kekuasaan.
Lalu Matteo tertawa pendek, nada suaranya penuh ejekan yang menohok.
“Jadi ini rupanya kalau kau benar-benar berusaha terlihat seperti wanita muda, bukan janda kesepian.”
Zenia mendengus pelan, menahan diri agar tidak terpancing. “Kau memintaku mengenakan ini. Sekarang kau menghina?”
Matteo mengangkat alis, berjalan perlahan ke arahnya. “Aku tidak menghina. Aku hanya menilai. Ternyata kau… tidak sepenuhnya membosankan.”
Zenia mengalihkan tatapan, tak ingin membalas. Tapi Matteo terus mendekat, sampai jaraknya hanya sehelai napas darinya. Ia berdiri di depan Zenia, menatap refleksi mereka berdua di cermin.
“Gaun merah itu…” ucap Matteo pelan, “membuatmu terlihat seperti seseorang yang tahu cara memikat, tapi berpura-pura tidak tahu.”
Zenia mengerutkan kening, menatap wajahnya di cermin yang kini berdampingan dengan wajah Matteo. “Kau tidak tahu apa-apa tentang aku,” katanya lirih.
Matteo menyeringai kecil. “Mungkin. Tapi aku tahu satu hal — tak peduli seberapa keras kau mencoba menyangkal, kau menikmati perhatian. Sama seperti semua wanita jalang di atas dunia ini.”
Zenia menghela napas kasar, lalu memutar tubuh menghadap Matteo langsung. “Kau membawa aku keluar malam ini hanya untuk mempermalukan aku?”
Matteo menatapnya dengan dingin. “Tidak. Aku membawamu agar kau tahu tempatmu. Dunia ini tidak akan menunduk hanya karena kau istri mendiang ayahku. Aku ingin semua orang tahu, kalau Zenia Agatha hanyalah bayangan dari seorang Ancelotti. Dan bayangan harus tahu pada siapa dia berdiri. Dan berada dalam kendali sang tuan!”
Zenia menatapnya tanpa gentar, meski jantungnya berdebar kencang. “Kau terlalu membenci seseorang yang bahkan tidak melakukan apa pun padamu, Matteo.”
Matteo memiringkan kepala, matanya berkilat tajam. “Kau mencuri perhatian ayahku, mencuri waktunya, bahkan membuatnya menyingkirkan urusan keluarga untukmu. Jangan bertindak seolah aku tidak tahu bagaimana kau menjeratnya.”
Zenia menahan napas, amarahnya memuncak. “Aku tidak pernah menjerat siapa pun! Aku menikahinya karena keadaan. Ayahmu tahu itu!”
“Keadaan?” Matteo mendekat satu langkah lagi, nadanya semakin rendah dan menekan. “Kau memanggil pernikahan karena uang sebagai ‘keadaan’? Itu alasan paling indah yang pernah kudengar dari seorang oportunis.”
Zenia mundur satu langkah, tapi Matteo menahan pergelangan tangannya — tidak kasar, tapi cukup kuat untuk menahannya di tempat. Tatapan mereka bertemu. Ada kilatan api di antara dua pasang mata itu; kemarahan, kebencian, tapi juga sesuatu yang tak bisa dijelaskan — sesuatu yang bahkan Matteo sendiri tak mau akui.
“Lepaskan,” suara Zenia bergetar.
Matteo menatapnya lama sebelum akhirnya melepas genggamannya perlahan. “Ambil tasmu. Kita berangkat sekarang.”
Zenia ingin membantah, tapi tahu percuma. Ia memutar tubuh, mengambil tas kecil yang sudah disiapkan, lalu berjalan melewati Matteo tanpa menatapnya lagi. Lelaki itu mengikutinya dari belakang, langkahnya tenang namun penuh tekanan tak terlihat.
Begitu keluar dari rumah utama, angin sore yang lembut menyambut mereka. Mobil hitam matte dengan sopir pribadi sudah menunggu di depan pintu. Matteo membuka pintu belakang, dan tanpa berkata apa pun, Zenia duduk di dalam. Ia menatap keluar jendela, menolak menatap Matteo yang duduk di sampingnya.
Di sepanjang perjalanan, hanya suara mesin dan radio pelan yang terdengar. Matteo beberapa kali melirik ke arah Zenia. Gaun merah itu memantulkan cahaya dari lampu jalan, membuatnya tampak semakin mencolok. Tapi wajah wanita itu datar — dingin, tertutup, seolah ia berusaha menegakkan dinding tinggi di antara mereka.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya Matteo akhirnya, memecah keheningan.
Zenia tetap menatap keluar. “Aku berpikir, apa yang sebenarnya ingin kau buktikan.”
Matteo menatapnya lama. “Bahwa aku tidak akan membiarkan siapa pun menginjak nama keluargaku lagi.”
“Nama keluargamu tidak diinjak oleh siapa pun. Kau hanya tidak bisa menerima kenyataan bahwa ayahmu memilih mencintaiku dengan caranya.”
Matteo tertawa pelan, tapi tawa itu hambar. “Cinta? Jangan membohongi dirimu sendiri. Kau tidak tahu arti kata itu.”
“Begitupun kau,” jawab Zenia cepat, nadanya dingin.
Mobil berhenti di depan sebuah gedung tinggi berlampu neon. Musik dan sorak tawa samar terdengar dari dalam. Klub malam itu megah, dengan antrean panjang orang-orang berpakaian glamor di depan pintu masuk. Matteo keluar lebih dulu, lalu berjalan mengitari mobil untuk membukakan pintu bagi Zenia.
Ia menatapnya sekilas dan berkata dingin, “Turun.”
Zenia menarik napas panjang, mencoba menahan diri agar tidak melawan di depan banyak orang. Ia turun perlahan, langkahnya anggun meski hati berdebar kencang. Begitu ia berdiri di samping Matteo, banyak pasang mata langsung menoleh. Sebagian pria melirik Zenia dengan takjub, sebagian wanita menatap iri.
Matteo memperhatikan semua itu dengan tatapan puas. Ia menyandarkan tangannya ke punggung Zenia, mengarahkannya masuk ke dalam klub.
Zenia menegang, tapi tidak menepisnya. Ia tahu, dalam permainan Matteo, setiap penolakan akan dibalas dengan penghinaan yang lebih dalam.
Begitu masuk ke dalam ruangan penuh cahaya dan dentuman musik itu, Zenia merasa dadanya sesak. Suara musik menghantam telinga, aroma alkohol dan parfum bercampur di udara. Matteo menatapnya dari sisi, lalu berbisik, “Selamat datang di dunia yang seharusnya menjadi tempatmu b***h. Dunia yang sebenarnya menyambutmu lebih baik daripada rumah besar itu.”
Zenia menatap lurus ke depan, wajahnya tetap tegar meski hatinya gelisah. Dalam dirinya, dua hal bertarung keras: kebencian terhadap lelaki itu dan ketakutan bahwa mungkin — hanya mungkin — Matteo benar kalau dirinya jalang yang mau-maunya menikah dengan si lelaki tua.
Malam itu baru dimulai. Tapi di antara dentuman musik dan cahaya lampu klub yang berkilat, Matteo dan Zenia tahu — apa pun yang terjadi malam ini akan mengubah cara mereka memandang satu sama lain untuk selamanya.