Bab 08

980 Kata
Zenia menutup pintu kamarnya dengan keras hingga gagangnya bergetar pelan. Napasnya tersengal karena menahan emosi yang tak terbendung sejak meninggalkan Matteo di ruang tengah tadi. Ia menekan punggungnya pada daun pintu, memejamkan mata rapat-rapat, mencoba menenangkan diri, tapi rasa kesal itu terus menggelora di dadanya. Kata-kata Matteo masih terngiang begitu jelas di kepalanya — nada sinisnya, tatapan matanya yang menelanjangi, dan sikapnya yang penuh tuduhan. Zenia membuka matanya, melangkah ke arah cermin besar di sisi kamar. Bayangannya sendiri menatapnya balik — seorang wanita muda dalam balutan gaun tidur tipis yang dianggapnya biasa saja. Ia mendesah kesal, mengacak rambutnya sendiri. “Bukan salahku,” gumamnya dengan suara tertahan. “Bukan salahku kalau dia berpikiran kotor seperti itu.” Ia menatap wajahnya sendiri lebih lama, mencari-cari sesuatu di sana. Apakah benar penampilannya terlihat menggoda? Tidak. Ia terlihat biasa saja. Wajah lelah, mata sedikit bengkak karena kurang tidur, dan kulit yang pucat. Tidak ada yang istimewa. Hanya Matteo yang terlalu jauh menilai segala sesuatu dengan kecurigaan. Zenia mendengus pelan, lalu berjalan ke ranjang besar di tengah kamar. Ia merebahkan tubuhnya perlahan, menatap langit-langit, mencoba mengusir semua pikiran tentang lelaki itu. Tapi semakin ia berusaha, wajah Matteo justru muncul di benaknya — tatapan tajam, cara bicara yang menusuk, dan senyum tipis yang menyebalkan itu. Ia menggulung tubuhnya, menarik selimut ke atas d**a, menghela napas berat. “Aku tidak mau memikirkan dia,” bisiknya pada diri sendiri. “Dia cuma anak sombong yang kehilangan akal.” Tapi di sisi lain rumah, Matteo duduk di tepi ranjang kamarnya yang gelap. Hanya lampu meja kecil di sisi kanan yang menyala, memantulkan bayangan tubuhnya di dinding. Ia menatap kosong ke gelas wine yang sudah kosong di meja kecil. Jemarinya memainkannya tanpa fokus, tapi pikirannya penuh. Zenia. Setiap kali ia memejamkan mata, sosok wanita itu muncul — dari cara Zenia memandangnya dengan marah, cara bahunya tegang saat mencoba menahan amarah, hingga suara lembutnya yang pecah ketika berdebat. Matteo menunduk, menyandarkan sikunya pada lutut, lalu menekan wajahnya dengan kedua tangan. Ia membenci kenyataan bahwa pikirannya dipenuhi oleh wanita yang selama ini ia anggap sebagai racun bagi keluarganya. Namun, semakin ia mencoba menolak, bayangan itu semakin kuat. “Dia cuma wanita biasa,” gumam Matteo pelan, suaranya parau oleh amarah yang ditahan. “Wanita yang memanfaatkan ayahku... seharusnya aku tidak peduli.” Tapi yang ia rasakan bukan ketidakpedulian — melainkan sesuatu yang lebih rumit, lebih berbahaya. Setiap kali ia mengingat wajah Zenia, dadanya terasa panas. Ada keinginan yang aneh, yang tidak bisa ia sebutkan, tapi juga tidak bisa ia hilangkan. Ia berdiri, berjalan mondar-mandir di dalam kamar, mencoba menenangkan dirinya. Tapi langkahnya justru membawanya mendekati jendela. Dari sana, ia bisa melihat cahaya samar dari jendela kamar Zenia di seberang taman kecil rumah itu. Lampu kamarnya masih menyala. Matteo menggenggam tirai erat, menatap ke arah itu tanpa bergerak. Ia tahu Zenia ada di dalam. Mungkin sedang berbaring, mungkin sedang menangis, mungkin masih marah. Tapi entah kenapa, hanya membayangkan bahwa wanita itu masih terjaga sudah membuat dadanya berdenyut aneh. “Aku tidak boleh seperti ini,” bisiknya parau. “Aku tidak boleh memikirkan dia...” Namun, pikirannya tak mau berhenti. Semua yang terjadi sejak kematian Carlo seperti membuka sesuatu dalam dirinya — gairahlama, kebencian yang tidak pernah benar-benar reda, dan sekarang... godaan yang membuatnya merasa seperti monster. Ia mundur dari jendela, menutupnya dengan tirai tebal, lalu duduk di tepi ranjang lagi. Tapi rasa gelisah itu tidak pergi. Tangannya menggenggam kepala, pikirannya berputar tanpa arah. Sementara itu, di kamar seberang, Zenia masih terjaga. Ia berbalik ke sisi kanan ranjang, menatap lampu tidur yang redup, lalu memeluk bantal. Rasa tidak nyaman di dadanya bukan hanya karena marah — tapi juga karena ia merasa terancam. Matteo terlalu tidak terduga. Ia bisa berkata kasar, bisa sinis, tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang Zenia rasakan... sesuatu yang ia tidak bisa pahami tapi membuat tubuhnya tegang. “Dia tidak akan berani macam-macam,” bisiknya, mencoba menenangkan diri. “Dia hanya bicara. Itu saja.” Tapi ketegangan itu tidak pergi. Ia berusaha memejamkan mata, namun setiap kali hampir tertidur, bayangan Matteo muncul lagi — berdiri di ruang tengah dengan segelas wine, menatapnya dengan tatapan yang tak bisa ia baca. Zenia berbalik lagi, menatap jendela kamarnya yang tertutup tirai. Angin malam berembus lembut lewat celah kecil, membuat tirai itu bergoyang pelan. Ada perasaan aneh di dadanya, campuran antara marah dan... takut. Bukan takut pada Matteo secara fisik, tapi takut pada dirinya sendiri — takut pada bagaimana pikirannya mulai terlalu sering memikirkan lelaki itu. “Aku harus pergi dari rumah ini,” gumamnya pelan. “Sebelum semuanya jadi makin rumit.” Namun ia tahu, pergi tidak semudah itu. Harta, wasiat, dan segala urusan Carlo masih tertahan. Matteo memegang kendali penuh sekarang. Zenia memejamkan mata lebih rapat, berusaha menenangkan pikirannya yang penuh gejolak. Di kamar sebelah, Matteo masih belum bisa tidur. Ia berbaring di ranjangnya, menatap langit-langit, dan untuk pertama kalinya, ia merasa kalah oleh pikirannya sendiri. Kebencian yang ia pelihara selama ini berubah menjadi sesuatu yang lain, yang lebih rumit, lebih gelap. Ia memejamkan mata, namun bayangan wajah Zenia terus muncul — tatapan dinginnya, nada suaranya yang lembut tapi tegas, dan caranya berjalan menjauh tanpa pernah menoleh. Dan di dalam kegelapan itu, Matteo mulai sadar sesuatu. Semakin ia berusaha membenci Zenia, semakin kuat keinginannya untuk memahami wanita itu. Semakin ia menolak, semakin pikirannya menjerat dirinya sendiri dalam rasa ingin tahu yang tak bisa dijelaskan. Sementara Zenia, di kamar seberang, perlahan tertidur dengan perasaan berat. Dalam mimpi samar yang mulai menjemputnya, bayangan Matteo masih tertinggal — samar tapi nyata, seperti bayangan yang enggan pergi. Malam itu berjalan begitu panjang. Di antara dua kamar yang terpisah dinding batu, ada dua jiwa yang sama-sama tersiksa oleh pikiran mereka sendiri — saling membenci, tapi secara perlahan tanpa sadar mulai terikat pada satu hal yang sama: rasa yang mereka tak berani akui. Dan malam itu, rumah keluarga Ancelotti benar-benar tenggelam dalam keheningan yang sarat ketegangan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN