Dua hari kemudian...
Adzan Subuh berkumandang, memecah kesunyian pagi. Argan yang sudah berpakaian rapi membangunkan Nara dengan mengusap selimut yang menutup tubuhnya.
"Na, bangun udah Subuh."
Nara terlihat ogah-ogahan untuk bangun. Tampangnya tampak cemberut dengan mata yang masih terpejam.
"Na, bangun Subuhan. Nanti kesiangan." Argan mengeraskan suaranya.
Nara mengerjap. Bayangan wajah tampan Argan mendominasi penglihatannya.
"Iya, Pak saya akan sholat," jawab Nara malas-malasan.
"Kok masih meringkuk dalam selimut? Ayo bangun!" Argan menarik selimut yang menutup tubuh istrinya. Seketika matanya terbelalak melihat Nara hanya mengenakan celana dalam. Nara malu bukan main dan terperanjat dengan gerak tangkas Argan yang tak mampu ia cegah.
Nara segera merebut kembali selimutnya dan menutupkan kembali ke tubuhnya.
"Bapak apaan sih? Nggak sopan banget main tarik selimut saya."
Argan melongo dan berdebar menatap pemandangan indah barusan.
"Saya pikir kamu pakai baju lengkap," sahut Argan santai.
"Saya kadang tidur cuma pakai celana dalam. Lebih enak aja," ucap santai Nara sedikit menunduk. Rasanya sungguh malu. Rona merah bersemu di pipinya.
"Oh gitu, jadi kamu melepas celana kamu saat saya tidur?" tatapan Argan menelisik wajah istrinya yang sudah terlihat seperti kepiting rebus.
"Ya," jawab Nara singkat.
"Kenapa nggak melepasnya saat saya masih melek?" tanya Argan sekenanya.
"BAPAK....!" Nara membulatkan matanya.
"Saya berangkat dulu ke Masjid ya." Argan tersenyum penuh arti lalu berjalan menuju pintu.
Dengan sedikit malas, Nara melangkah gontai menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu.
******
Pagi ini dan sampai sore nanti adalah giliran Nara untuk memasak. Ia memilih menu simple untuk sarapan pagi ini, nasi goreng dan telur ceplok. Nara menyeleksi satu dari sekian banyak resep hasil browsing yang menurutnya simple dan enak.
Nara menggunakan bumbu sesuai petunjuk resep, bawang merah, bawang putih, garam, kecap manis, terasi, cabai merah, cabai rawit, bawang daun, telur, dan bawang merah goreng sebagai pelengkap, untuk taburan di atas nasi.
Saat Nara mengiris bawang putih, jarinya teriris pisau, hanya goresan kecil, tapi cukup terasa perih. Argan yang melangkah menghampirinya segera meraih jari tangan Nara. Ekspresi wajahnya gambarkan kekhawatiran yang mendalam.
"Jarimu terluka, saya obati dulu ya." Argan menatap tajam Nara.
Selalu saja ada debaran tak menentu setiap kali Nara menatap jauh ke dalam sorot mata Argan yang terlihat tenang di suatu waktu, tapi di waktu yang lain bisa sedemikian menghanyutkan seperti lautan lepas yang siap menenggelamkannya.
"Nggak perlu, Pak. Nanti juga sembuh sendiri." Nara menarik jari tangannya dari genggaman Argan.
"Apa perlu saya bantu?" tanya Argan kembali.
"Nggak usah, hari ini kan giliran saya masak," jawab Nara kemudian.
Argan mengangguk. "Baiklah." Selanjutnya ia berjalan menuju kamar Sakha untuk mengecek apakah putranya sudah selesai berganti seragam apa belum.
Nara telah selesai memasak. Ia menyajikan tiga porsi nasi goreng di atas meja. Argan dan Sakha mendekat ke meja makan. Argan menatap nasi goreng yang dilengkapi telur ceplok, selada, dan ayam goreng dengan antusias. Nara menggoreng ayam goreng yang sebelumnya sudah diungkep. Argan memesannya pada salah satu penjual makanan lauk rumahan yang menawarkan jasa delivery order. Selama tiga tahun, sebelum menikah dengan Nara, ia adalah single parent yang harus selalu siap memasak untuknya dan Sakha. Terkadang ia memesan lauk-lauk praktis yang bisa dimasak dalam waktu cepat, misal ayam ungkep, bandeng, nugget homemade, lele ungkep, tempe dan tahu bacem ungkep yang tinggal digoreng saja ketika ingin mengonsumsinya.
"Silakan dimakan. Saya harap kalian menyukainya." Nara mengulas senyum.
Sakha menatap datar menu sarapannya, sedang Argan memandangnya antusias. Rasanya ia tak sabar mencicipi masakan Nara.
"Jangan lupa berdoa dulu sebelum makan," Argan melirik Sakha.
Argan menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Rasanya nggak begitu hancur, cukup layak dimakan meski tak istimewa. Ia meneruskan mengunyah sesuap nasi itu.
Dengan terpaksa Sakha menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya. Ia merasakan rasa nasi goreng buatan Nara tak enak di lidahnya. Ia menggeser piring itu maju ke depan.
"Nasi gorengnya nggak enak. Lebih enak buatan Ayah. I don't like it. It's not delicious. The taste is very strange." Sakha meminum seteguk air dari gelas di hadapannya.
Nara mencelos. Ia melirik Argan yang tetap tenang melahap nasi goreng buatannya.
"Untuk ukuran pemula, nasi gorengmu cukup layak, kok." Argan mengulas senyum pada istrinya. Ia beralih menatap Shaka tajam.
"Hargai apa yang sudah Mama lakukan untuk kita Sakha. Minta maaflah dan berterima kasihlah sama Mama." Tatapan Argan tak sedikitpun lepas menyasar putranya.
"Sakha nggak mau. Sakha nggak mau makan." Sakha tetap bersikukuh tak mau meminta maaf dan berterima kasih, juga enggan memakan masakan Nara.
"Sakha, sebentar lagi kamu berangkat, ayo dimakan sarapannya." Argan menegaskan kata-katanya.
"Sakha mau makan kalau dibikinin makanan lain." Sakha menyangga pipinya dengan kedua tangannya.
Argan menghela napas. Sepertinya ia harus membuat telur dadar. Di magic com masih ada nasi putih.
"Baik, Ayah akan membuat telur dadar, tapi kamu harus makan." Argan hendak beranjak, tapi Nara buru-buru mencegahnya.
"Jangan, Pak. Nggak usah bikin lauk lagi untuk Sakha. Ini yang membuat Sakha sulit diatur dan temperamen. Bapak kadang memanjakannya dan menuruti semua kemauannya. Kita memang harus berhati-hati menghadapi anak yang mengalami trauma. Tapi bukan berarti kita membiarkan dia seenaknya mengendalikan orang-orang di sekitarnya. Dia harus belajar menghargai orang lain." Nara melayangkan tatapan tajam pada Argan.
Laki-laki itu kehabisan kata. Ia tak menyangka, kata-kata barusan akan meluncur dari bibir istrinya.
Nara beralih menatap Sakha.
"Kamu suka atau nggak, ayah nggak akan memasak lauk untuk kamu. Makan apa yang ada saja. Kalau kamu nggak mau, ya sudah. Jangan salahkan ayah dan mama kalau nanti kamu di kelas nggak fokus mengikuti pelajaran dan dapat nilai jelek." Nara menajamkan matanya.
Sakha terdiam. Argan melongo dan tersentak menyaksikan cara Nara menangani Sakha.
"Nggak semua keinginanmu harus dipenuhi. Life doesn't always go your way. Belajarlah untuk menerima segala hal yang tidak sejalan dengan harapanmu."
Rasanya moment ini begitu mengejutkan untuk Argan. Ia tak menyangka Nara bisa berkata bijak dan dalam maknanya. Atau mungkin kondisinya yang memaksanya untuk beradaptasi dengan kehidupannya sekarang, membuatnya belajar sedikit demi sedikit tentang kehidupan.
Sakha kesal dan memasang tampang cemberut. Ia bergegas masuk ke kamar dan menutup pintu keras-keras. Nara menyadari satu hal, bahwa laporan Bu Riana tentang sikap temperamen Sakha yang terkadang berteriak, mengamuk, dan menangis tersedu-sedu itu tidak mengada-ada. Nara menyaksikan sendiri betapa anak delapan tahun itu begitu emosional dan mudah marah.
Argan hendak beranjak tapi Nara segera mencegah.
"Biarkan saja, Pak. Sesekali biarkan dia bertanggung jawab atas tindakannya sendiri." Kata-kata Nara meluncur lantang.
Argan memajukan sedikit badannya, "Sebentar lagi mobil jemputan datang, Na. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menghukumnya. Kita bisa bicara lagi padanya setelah dia pulang sekolah."
"Kalau mobil jemputan itu datang dan anak itu masih di dalam, tak mau keluar, saya yang akan mengantarnya ke sekolah. Saya akan jelaskan semua pada gurunya. Atau Bapak ingin mengantarnya biar ketemu sama Bu Riana?"
"Astagfirullah, Na." Argan menggeleng dan mengalihkan pandangannya ke sudut lain.
"Percaya sama saya, tak lama lagi dia akan keluar. Sakha tipe anak yang menyukai kegiatan belajar di kelas. Dia tak akan mau terlambat datang ke sekolah. Bapak jangan terlalu memanjakannya." Nara menatap tajam Argan.
"Sekarang kamu yang mengatur saya dan menilai saya terlalu memanjakannya? Kamu masih bocah dan nggak memahami gimana sulitnya mengasuh anak."
Nara menyeringai, "Oh, saya masih bocah ya? Okay, saya masih bocah, tapi Bapak mau menikah sama saya yang masih bocah dan bahkan Bapak sudah mencium saya."
Jleb....
Argan speechless.
Mata mereka saling beradu dengan deru emosi yang bergejolak di hati masing-masing.
Hening...
Sunyi...
Senyap...
Detak irama jarum jam seakan menjadi pemecah kebekuan.
Tak lama kemudian suara pintu bergeser. Argan dan Nara menoleh Sakha yang keluar dari kamar. Argan mengikuti arah gerak-gerik Sakha yang akhirnya duduk kembali di kursinya. Ia mengambil kembali piringnya dan surprise untuk Argan dan Nara. Pada akhirnya anak itu memakan nasi goreng buatan Nara.
Nara tersenyum merayakan kemenangannya. Ia melirik suaminya dan tersenyum puas. Argan akui, Nara tak selalu gagal menghadapi Sakha. Pagi ini ia berhasil menangani sikap Sakha yang keras kepala.
Mobil jemputan datang. Sakha sudah menyelesaikan sarapannya. Kali ini bukan hanya Argan yang mengantar tapi Nara juga. Ia bahkan menyiapkan bekal untuk Sakha.
Saat hendak memasuki mobil, Sakha menjabat tangan ayahnya dan menciumnya. Argan memintanya untuk menjabat tangan Nara juga. Dengan tampang ogah-ogahan, Sakha menjabat tangan ibu tirinya.
Setelah mobil berlalu dari hadapan, Argan dan Nara masuk kembali ke dalam. Argan menyudahi sarapannya. Ia mengambil tas kerjanya.
"Kamu berangkat kuliah jam berapa?" tanya Argan seraya mengamati Nara membereskan meja makan.
"Jam sepuluh, Pak," jawab Nara dan melirik suaminya sepintas.
"Kamu nggak ingin menjabat tangan saya? Seorang istri yang mau melepas keberangkatan suaminya biasanya menjabat tangan, mencium kalau perlu, lalu diantar ke depan."
Nara tertawa kecil, "Oh, jadi saya istri Bapak ya? Bukan bocah?"
Argan lagi-lagi terbungkam dan tak tahu harus membalas apa. Ia meletakkan tas kerjanya di kursi.
Argan berjalan mendekat ke arah Nara. Nara mematung dengan debaran yang kembali menyapa. Tatapan tajam itu selalu saja seperti samurai yang siap menghunus. Tatapan maut dan menghipnotis.
"Mulai sekarang, panggil saya 'Mas'."
Nara mengerjap dan membelalakan matanya.
"Sok muda Bapak, maunya dipanggil Mas."
"Saya memang masih muda kok. Coba tanya saja sama mahasiswa fakultas pertanian, siapa dosen yang paling muda, pasti jawabannya Pak Bintang Arganta Yudha."
Nara terdiam. Sementara deru napas Argan terasa mengembus ke wajahnya. Ia bisa mencium aroma mint dari setiap napas yang menyapu wajahnya.
Argan mendorong tubuh Nara hingga menghimpit dinding. Degup jantung itu kembali berkejaran. Argan mengusap bibir istrinya dan perhatiannya terpusat pada bibir ranum sang istri. Menahan diri untuk tak menyentuh Nara sampai Nara wisuda sepertinya menjadi sesuatu yang mustahil untuk ia lakukan.
Argan mengecup bibir Nara. Nara sedikit tersentak. Namun kali ini, ia merasa lebih siap membalas ciuman sang suami. Argan mengarahkan Nara untuk membuka sedikit bibirnya. Bibir Nara yang terkatup, sedikit demi sedikit terbuka. Seketika Argan memanfaatkan kesempatan untuk memagut bibir istrinya lebih dalam. Keduanya saling menyesap. Insting Nara bermain. Meski ia belum berpengalaman tapi secara alami ia bisa membalas.
Kedua bibir itu masih saling melumat dengan gerak tangan Argan yang sudah berani memeluk Nara dan mengusap punggungnya. Nara tak kuasa menolak ciuman Argan yang begitu memabukkan. Ia biarkan Argan menciumnya lebih dalam seolah tak ingin menghentikannya.
Nara terengah-engah. Ia lepaskan ciuman panas itu dan berusaha menstabilkan napas yang tersengal dan memburu.
Argan juga berusaha menstabilkan napas. Kini ia bingung, haruskah ia meminta maaf karena gagal mengendalikan diri? Atau dia tak perlu meminta maaf, toh Nara terlihat menikmati dan bahkan membalas ciumannya.
Keduanya saling menatap dengan debaran yang kian menguat.
Deg-degan...
Gugup...
Kikuk...
Sebuah rasa yang begitu membingungkan...
Argan menikah dengan Mareta karena dijodohkan. Selama menikah dengannya, ia menjalankan tugasnya sebagai suami dengan sangat baik. Rasa sayang itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Tapi merasa begitu berdebar dan deg-degan berhadapan dengan perempuan, baru kali ini ia merasakannya.
Sesaat ia meyakinkan dirinya sendiri, apa saat ini ia bermimpi? Kenapa gadis yang ia katakan masih bocah itu sanggup memporak-porandakan hatinya?
Pada Nara, ia merasa gejolak rasa yang terkadang terasa begitu aneh, absurd, dan membingungkan.
Gadis itu bisa membuatnya gregetan, gemas, kesal, marah, tapi di sisi lain juga membangkitkan gairah dan membuatnya berdebar.
Nara merasakan hal yang sama. Argan adalah sosok laki-laki yang kadang membuatnya kesal, marah, sebal, tapi tatapannya terkadang melumpuhkannya. Hanya dengan ditatap sedemikian intens, ia seolah membeku. Dan dicium seperti ini, membuatnya seketika lupa pada kesepakatan yang ia tentukan sendiri.
"Aku berangkat dulu...." Argan menatap Nara masih dengan gemuruh dalam d**a yang berdebar.
Aku bukan saya? Sesaat, Nara menyadari satu hal, Argan yang biasanya mengucap saya, kini berganti aku.
Nara hanya mengangguk pelan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Argan berjalan menuju pintu luar, sedang Nara masih mematung dengan debaran yang masih menguasai. Ia meraba dadanya, seakan tengah menahan jantungnya agar tak lepas. Nara meraba bibirnya. Jejak ciuman panas Argan terasa begitu membekas.
******
Nara berjalan bersama Tasya menuju kantin. Tiba-tiba, Andreas dan Dean, teman satu geng yang biasa bermain basket dengannya mengejar mereka hingga berdiri di hadapan kedua gadis itu untuk menghalangi langkah Nara dan Tasya.
"Na, Tas, nanti malam datang ya." Dean menyunggingkan senyum.
"Kemana?" Tasya dan Nara kompak bertanya.
"Ke ulangtahunku. Biasa di night club langganan, di hotel biasa." Dean menaikkan alisnya.
Nara dan Tasya saling berpandangan seolah saling bertanya, apakah akan datang atau tidak.
"Ayolah, suasana party bakal lebih privasi. Aku menyewa ruangan VIP." Dean kembali membujuk.
"Ayolah Na, kita udah lama nggak clubbing. Pak Argan pasti bakal ngasih izin kalau cuma untuk sesekali." Tasya Berusaha membujuk Nara.
Nara ragu. Ia yakin Argan tak akan mengizinkan. Namun ia juga ingin menghabiskan malam bersama-sama temannya. Sejak menikah, ia merasa telah kehilangan masa mudanya. Ia pikir, sesekali have fun bersama teman-temannya tak akan menjadi masalah untuk Argan.
"Okay, deh. Nanti aku mandi dan ganti baju dari kostmu ya Tas. Aku pakai bajumu dulu. Kalau aku langsung pulang, aku bakal ditahan Pak Argan untuk nggak datang." Nara melirik Tasya
"Beres, Na," senyum Tasya.
Nara segera mengirim pesan w******p untuk Argan.
Pak... Maksudnya Mas, aku mau tugas kelompokan di kost teman. Kemungkinan pulang malam karena tugasnya banyak dan mesti dikumpulin besok.
******
Argan berjalan mondar-mandir dan berulang kali menyingkap tirai. Nara belum juga pulang, sementara jarum jam sudah menunjuk pukul setengah dua belas malam. Yang membuatnya cemas, pesan w******p yang ia kirim berulang kali, hanya centang satu. Telepon ke nomor Nara pun tak nyambung. Sepertinya ponsel Nara mati. Ia buka profil semua akun media sosial Nara juga tak ada informasi apapun.
Ia mulai khawatir. Meninggalkan Sakha sendiri di rumah, sementara ia mencari Nara ke luar juga bukan pilihan yang tepat. Meminta bantuan orang tuanya untuk menjaga anaknya yang sudah terlelap juga nantinya malah akan semakin runyam, karena orang tuanya bakal tahu kelakuan Nara yang belum pulang meski hari sudah larut. Ia perlu menjaga nama baik istri di depan orang tuanya sendiri.
Deru mobil yang berhenti di depan pagar rumah mengagetkan dan membuyarkan lamunannya. Ia membuka tirai. Ia melihat Nara keluar dari mobil. Sesaat ia bertanya, kemana motornya?
Suara bel berbunyi. Argan membuka pintu dengan segenap gejolak rasa berkecamuk. Antara ingin marah, menumpahkan kekesalannya, sekaligus perasaan lega mengetahui Nara baik-baik saja dan sudah kembali ke rumah.
Nara tak berani menatap Argan yang tengah menatapnya tajam.
"Maaf, Pak... Maksudku... Mas... Tugas kelompoknya baru selesai. Motornya dititipin di kost teman."
"Kenapa nggak pulang dulu? Emangnya kamu nggak mandi, nggak ganti baju, dan langsung ke kos teman?" Argan bertanya sedikit ketus.
"Ehm, aku mandi di kost teman dan pinjem baju dia buat ganti." Nara masih tak berani membuat kontak mata dengan suaminya.
Argan berjalan mendekat. Ia menatap Nara menyelidik dari atas hingga ke bawah.
"Jangan pernah membohongiku, Na. Aku ingin kamu jujur." Argan meninggikan suaranya.
Nara tercekat. Ia bingung merangkai kata. Rasanya ia tak bisa berdusta di depan Argan.
"Please jujur, Na. Kamu habis dugem kan?"
Nara terhenyak. Ia bertanya-tanya kenapa feeling suaminya begitu tajam?
"Ya Mas, aku diundang ulang tahun temen yang diadakan di night club. Tapi sumpah Mas, aku nggak minum, nggak ngrokok. Aku cuma makan steak dan jus aja. Nggak enak kalau aku nggak datang."
Argan sudah menduga. Tentu menghentikan kebiasaan clubbing Nara, bukanlah hal mudah, butuh proses dan waktu. Namun ia terlanjur kecewa.
"Sepertinya ucapanku tentang night club hanya masuk telinga kanan, keluar lagi dari telinga kiri. Kamu tak mendengarkan nasihat."
"Sesekali nggak apa-apa kan? Apa salah kalau aku ingin ngumpul bareng teman? Aku jenuh Mas dengan hidup monoton. Toh yang penting aku bisa jaga diri, nggak neko-neko di club." Nara berusaha membela diri.
"Aku terlanjur kecewa sama kamu, Na. Kamu meremehkan perasaanku dan nggak ada itikad baik untuk menjalani pernikahan dengan serius dan sungguh-sungguh." Kata-kata Argan terdengar tegas.
"Mas lupa kalau kita sepakat untuk tidak menganggap pernikahan ini nyata? Kenapa Mas jadi terbawa perasaan? Mas baper dan mulai melibatkan perasaan Mas dalam pernikahan ini." Nara tak mau disalahkan. Ia begitu keras kepala.
"Memangnya kenapa kalau aku baper? Salah? Kalau aku melibatkan perasaan dalam pernikahan yang sah di mata agama dan negara, apa salah juga?" Argan bicara lantang. Tatapannya begitu menghunjam.
Nara terkatup. Lidahnya serasa kelu. Ia akui, ia salah karena berbohong. Ia hendak bersuara tapi Argan bergegas melangkah menuju kamar dengan segala rasa kecewa yang masih bergejolak. Dalam benak Nara bergelut serangkaian upaya untuk mengambil hati Argan agar mau memaafkannya.
******