Tubuhku membeku saat melihat Harry yang terbaring dengan berbagai alat yang terpasang di tubuhnya. Nine nampak duduk di samping Harry dengan mata sembab. Hanya selangkah kakiku berani bergerak. Ya, aku juga wanita. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hatiku jika berada pada posisi Nine saat ini. Suaminya koma, dan memanggil nama wanita lain. Tuhan, aku harus bagaimana? Hatiku sakit melihat Harry-ku terbaring tak berdaya. Tapi aku juga punya nurani. Kuputuskan untuk keluar kembali dari ruangan itu. Aku melorot ke lantai. Tangisku pecah tanpa bisa kucegah.
Tuhan, ujian apa ini? Kenapa semua jadi semakin rumit? Aku tahu bahwa semua ini adalah ujian. Tapi kenapa rasanya sangat sesak? Aku merasa menjadi orang paling jahat sedunia jika membiarkan Harry seperti itu. Tapi di sisi lain, aku tidak bisa membohongi hati jika aku masuk dan membuat hancur hati Nine.
Cklek. Gagang pintu bergerak. Segera aku bangun dan mencari tempat bersembunyi. Kulihat Nine nampak berbicara dengan Cahyati. Keduanya menangis dan saling berpelukan. Aku mengigit bibir bawahku menahan isak tangis. Apa kalian tahu? Aku juga sangat mengkhawatirkan pria yang sedang terbaring di dalam sana. Tapi aku bisa apa? Aku sangat ingin berada di sisinya dan membawanya kembali ke alam sadar.
Kulihat Cahyati dan Nine pergi. Aku mengusap air mataku dengan cepat dan segera masuk ke ruangan.
"Harry... aku datang. Hei! Kenapa kau tidur begitu lama? Apa kau tidak merindukanku?"
Nafas Harry bergerak teratur. Sangat damai. Aku memberanikan diri memegang tangannya.
"Maaf, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi aku mohon, bangunlah! Hiks!" Aku membawa telapak tangan dingin milik Harry ke pipiku yang basah dengan air mata.
Harry masih damai dalam tidurnya. Andai aku bisa memutar waktu, aku akan memberanikan diri mengungkap semua perasaanku padanya. Saat itu, aku terlalu takut. Hingga perasaan ini aku pendam dan kunikmati sendiri.
Cklek. Pintu terbuka. Aku panik. Bagaimana ini?! Aku ketahuan!
"Ah, maaf, Nona. Saatnya pemeriksaan. Apa Anda keluarga dr. Harry?"
Aku sedikit bernafas lega. Rupanya yang datang suster dan dokter yang menangani Harry.
"Ah, bu-bukan. Maksud saya, ya, saya keluarganya."
"Beliau mengalami koma. Sebaiknya terus diajak bicara hingga motivasinya untuk sembuh dan sadar meningkat. Ini sangat membantu kesembuhan beliau."
"Ah, iya, Dok. Saya mengerti," jawabku kaku. Ya Tuhan, aku berharap Nine dan Cahyati tidak muncul sebelum dokter ini keluar dan selesai dengan tugasnya.
"Kalau begitu, saya tinggal dulu!"
"Baik, Dok. Terima kasih."
Selepas dokter itu pergi, aku kembali menatap Harry yang masih bernafas dengan teratur. Tuhan, seandainya saja aku boleh protes, rasanya aku ingin kembali ke masa itu. Saat aku masih mencintainya dalam diam, menatapnya dari jauh. Atau menikmati senyumnya yang indah yang kulihat melalui celah dinding kamarku saat ia mengobati papa. Mengaguminya hingga aku menciptakan jutaan puisi rindu untuknya. Bahkan beberapa novel telah kubuat, meski hanya kusimpan di file laptop dan tak pernah kutunjukkan pada siapa pun. Andai aku punya keberanian untuk mengatakan semua yang kurasakan padanya. Aku sempat berpikir jika getaran itu hanya cinta monyet anak remaja yang baru menginjak masa pubertas. Tapi aku mulai bimbang saat rasa itu tak kunjung hilang hingga aku dewasa. Cinta monyet macam apa yang bertahan dan tertanam kuat dalam hati hingga belasan tahun lamanya? Ya, ya. Lagi-lagi aku berandai-andai jika saja aku mengatakan jika aku selalu menyukainya, mencintainya dan bermimpi untuk bisa bersamanya. Mungkin semua ini tidak akan terjadi. Rasa ini tidak akan berubah menjadi rasa yang terlarang
Tapi, semua itu sudah berlalu. Bahkan aku tak punya hak untuk merindukannya. Melihatnya terbaring tak berdaya, membuat hatiku teriris pedih.
"Harry, bangunlah! Maafkan aku, aku tidak bisa menemanimu setiap saat!" lirihku tanpa bisa menahan isakan yang mendesak keluar menambah rasa perih yang menyayat hati. Aku menggenggam jemarinya erat dan menghirup aromanya dalam-dalam.
"Cha..." Aku terperanjat kaget saat kudengar Harry memanggilku.
"Harry! Kamu sadar?! Harry! Buka matamu!" pekikku sambil mengusap-usap lengannya yang sudah basah dengan air mataku.
Bibir Harry memang bergerak pelan memanggilku. Tapi, matanya masih tertutup rapat.
"Harry, kumohon! Bangunlah! Buka matamu! Aku di sini, hiks!" Aku terguncang kembali. Seketika aku teringat akan ucapan Cahyati, bahwa Harry sering memanggil namaku.
Oh, Tuhan! Rasanya sungguh menyesakkan! Aku tak kuat melihatnya begini!
"Cha... cha..." Lagi-lagi Harry bergumam pelan.
"Iya, aku di sini. Ayo, bangunlah! Aku merindukanmu!" bisikku di telinganya.
Aku menyisir rambut Harry pelan. Mengecup keningnya dengan sayang.
Tap-tap-tap
Kudengar langkah sepatu berjalan mendekat ke arah ruangan ini. Hatiku mendidih. Kaget, takut dan crmas. Aku harus bersembunyi! Meski Cahyati memohon padaku untuk menemani putranya, tetapi aku juga wanita. Aku tak akan tega menyakiti hati Nine sebagai istrinya. Cukup dia bersedih menangisi keadaan suaminya yang koma. Aku tak akan menambah kesedihannya saat tahu Harry masih sering menemuiku.
Dengan gerakan cepat, aku segera merapat ke dinding di samping pintu. Kuharap, begitu mereka masuk, aku bisa bersembunyi di balik pintu yang terbuka. Dan segera berlari keluar dari sini.
Hatiku berdebar saat seseorang membuka pintu.
"Mama beli cemilan untukmu, Nine," kudengar Cahyati bercakap-cakap dengan Nine.
"Makasih, Ma. Mama nginap di sini?"
"Tidak, Nine. Papa malam ini pulang dari seminarnya, jadi Mama tidak bisa menemani kalian."
Aku menahan nafas, berharap mereka segera membelakangi pintu. Oke, ini saatnya. Mereka sedang menghampiri Harry. Segera aku mengendap-endap keluar dari balik pintu dan berbalik pergi ke luar.
"Tunggu!"
Degh!
Aku ketahuan! Suara Cahyati memanggilku.
"Maaf, sa-saya... pergi dulu!" Aku menjawab tanpa membalikkan badanku.
"Icha, tunggu!?" tanya Cahyati lagi. Kali ini ia menghampiriku. Tuhan, tolong aku! Apa yanh harus aku katakan?!
"Iya, Tante," cicitku pelan.
"Kemarilah!" Cahyati menuntunku ke hadapan Nine. Entah harus bagaimana kutunjukkan wajahku pada Nine. Aku merasa jadi wanita paling jahat di dunia.
"Nine, maafkan aku! Aku hanya ingin melihatnya saja, karena..."
"Sst," Nine meletakkan telunjuknya di bibir.
"Nine, aku-"
"Diam, kubilang!"
Aku diam. Ya, aku salah! Seharusnya sekhawatir apapun aku pada Harry, tak seharusnya aku datang ke sini.
Nine mengambil nafas dan menghembuskannya perlahan. Lalu melanjutkan ucapannya.
"Dengar, Cha. Aku tidak tahu seberapa jauh kalian berhubungan, tapi yang kutahu adalah Harry harus sembuh. Dan kuharap kamu bisa membantunya."
"Nine, aku..."
"Kumohon, temani suamiku sampai ia siuman!" Nine memohon sambil memejamkan matanya. Dari sudut matanya mengalir cairan bening yang entah turun untuk ke berapa kalinya. Yang kulihat kelopak matanya bengkak.
"Aku tidak bisa melakukannya, Nine!" jawabku pelan. Mati-matian aku menahan diri agar tidak menangis lagi.
"Apa?! Apa kamu tega melihat dia berbaring tak berdaya? Lihat Harry, Cha! Lihat dia!"
"Nine, maaf! Aku tidak bisa!" jawabku sambil terisak. Sial, tangisanku tidak bisa kucegah lagi.
Cahyati yang dari tadi diam, menghampiriku.
"Cha, saya mohon! Kamu temani anak saya. Atau setidaknya kamu datang tiap hari ke sini."
"Saya..."
Nine memegang lenganku. Kulihat dia berusaha menahan tangis, " Cha, jawab dengan jujur! Apa kamu mencintai Harry?!"
Degh! Sangat! Ingin sekali ku jawab seperti itu. Tapi hanya teriakan hati saja.
"Tidak," jawabku sambil menutup kedua mataku.
Kudengar Nine tertawa kecil dalam tangisannya.
"Aku tidak percaya! Jangan bohong, Cha! Lalu air matamu ini apa?! Maksud kamu datang ke sini secara diam-diam itu apa?! Bukankah itu tandanya kamu peduli pada Harry?!"
"Nine, kumohon!" Isakku lebih keras lagi.
"Apa kamu mau kehilangan Harry untuk selamanya?! Kumohon, bantu Harry bangun dari tidur panjangnya!"
"Tidak! Aku tidak mau Harry pergi, hiks!"
Tuhan, aku harus apa?!