“Kenapa kamu bisa tiba-tiba di Jakarta, Mil?”
Pertanyaan itu dilontarkan bersamaan dengan uluran air mineral dingin yang tutupnya sudah lebih dulu dibuka. Aku meraihnya, lalu menyeruputnya cepat-cepat.
Napasku masih ngos-ngosan karena kagetku belum sepenuhnya hilang. Aku memegangi dadaku, lalu menunduk. Jantungku rasanya masih mau copot.
“Mil—”
“B-bentar …”
Selain kaget karena keserempet sampai jatuh, aku juga kaget karena lihat siapa orang yang bertanggung jawab atas itu. Dari sekian juta penduduk Jakarta, kenapa aku harus bertemu Mas Rivan di hari pertamaku datang? Kenapa harus dia? Keadaannya lagi-lagi kurang bagus pula.
Waktu itu dia menadapatiku dalam kondisi yang sangat mengenaskan, malah kini menurutku lebih lagi. Bagaimana tidak? Dia mendapatiku dalam kondisi tak berdaya karena tertabrak olehnya sekaligus menahan rasa lapar.
Ah, bicara lapar, nasi ayam milikku sudah dibuang karena isinya terpental keluar semua. Tak apa, nanti aku bisa beli lagi.
“Kamu masih mau diam aja?”
Aku menegakkan badan, lalu menoleh. Ternyata, aku tidak kuat melihat Mas Rivan lebih dari tiga detik. Aku takut sekali kalau perasaanku yang dulu akan kembali muncul.
Memang benar, kami adalah mantan kekasih. Kedekatan kami bermula dari asisten dosen dan mahasiswa biasa. Kami dekat cukup lama, dan akhirnya dia menyatakan perasaannya. Umur kami sendiri terpaut kurang lebih empat tahun. Saat pertama kali kami kenal, dia sedang awal ambil magister dan aku masih semester tiga. Awalnya hanya kenal biasa, dan perlahan menjadi dekat.
Dulu kami pacaran hanya satu bulanan. Ya, memang sangat singkat. Saat itu aku yang ingin putus karena kubilang padanya kalau aku tidak bisa LDR, sedangkan dia harus kembali ke Jakarta setelah lulus. Kalau tetap tidak ingin putus, maka kuminta dia untuk memintaku ke orang tua sekalian.
Karena saat itu dia hanyalah mahasiswa yang baru saja lulus, tentu saja dia belum siap. Dia harus pulang dan menata hidupnya lebih dulu. Setelah berdiskusi cukup panjang, akhirnya kami memilih untuk putus baik-baik.
Saat itu aku menangis lama sekali. Percayalah, putus baik-baik itu jauh lebih menyakitkan daripada putus karena ada masalah. Dulu aku juga kecewa karena dia ternyata belum seberani itu memintaku, tetapi di sisi lain aku paham. Dia belum jadi apa-apa, dan aku pun masih terlalu belia.
Menikah bukanlah hal yang mudah. Butuh kesiapan mental dan finansial. Dan ya, saat itu kami belum punya dua-duanya. Yang mapan adalah orang tua kami, bukan kami. Maka putus menjadi jalan satu-satunya.
Dia pernah bilang, jika saat dia siap menikah dan aku belum menikah, dia akan melamarku. Aku pun berjanji akan menerimanya. Hal itu kami katakan saat aku mengantarnya ke bandara.
Pecayalah, bahkan setelah kami sepakat untuk putus, dia masih memintaku menemaninya ke bandara sebagai permintaan terakhir. Aku tak kuasa menolak karena sebelum itu dia sudah sering menemaniku ke mana-mana.
Namun, kini semuanya sudah berbeda. Sebelum kami bertemu kembali setelah bertahun-tahun, aku telah menikah dengan orang lain. Meski sudah cerai pun, kurasa dia tidak akan sudi lagi denganku yang berstatus janda. Lebih dari itu, kemungkinan besar perasaannya juga sudah hilang. Toh kenangan kami sudah lama dan usang.
“Mila? Kamu mau sampai kapan akan terus diam?” satu kibasan tangan mendarat di depan wajahku.
“E-ee … itu. Aku ke Jakarta karena mau kerja.”
“Kerja di?”
“Maaf, aku enggak bisa ngasih tahu.” Aku buru-buru berdiri. “Ya udah, Mas. Aku harus balik dulu—”
“Balik ke mana?” Mas Rivan menahanku. “Kakimu lecet. Aku udah beli obat merah.”
“Enggak perlu, kok. Cuma lecet dikit. Enggak perlu diobati—”
“Nanti infeksi.”
“Enggak, tenang aja.”
Aku memaksakan diri untuk berjalan meninggalkan Mas Rivan dengan kaki yang tak bisa berdiri tegak. Tentu saja, Mas Rivan dengan mudah mengejarku. Selain kondisi kakinya baik-baik saja, langkah kakinya juga sangat lebar.
“Mil, jangan terlalu percaya diri. Kita memang sempat ada hubungan, tapi sebelumnya kita dekat sebagai teman. Seengaknya biarkan temanmu ini menebus rasa bersalahnya dengan mengobati kakimu.”
Aku berhenti. Padahal kalimat itu dikatakan dengan nada yang rendah, tetapi entah kenapa terdengar menyayat.
Aku menghela napas pelan, lalu mengangguk. “Oke. Baiklah.”
Berikutnya, Mas Rivan menuntunku ke bangku pinggir jalan. Aku banyak menunduk, tak berani menatap balik matanya.
Saat dia mengobati lukaku, aku diam saja. Toh ini luka yang sepele. Luka dari Mas Andra jauh lebih menyakitkan. Aku sudah terbiasa dengan luka yang jauh lebih perih, jadi luka seperti ini bisa kuabaikan sampai tahu-tahu sudah sembuh.
“Kamu tinggal di mana selama di sini?” tanya Mas Rivan tepat setelah dia selesai memasukkan obat merah ke dalam keresek.
“Belum dapat kos.”
“Terus malam ini?”
“Di hotel itu. RedDoorz, sih, lebih tepatnya.”
Mas Rivan menoleh, mengikuti arah tatapan mataku. “Yang warna ungu itu?”
“Iya.” Aku mengangguk.
“Setelah ini kemasi barang-barangmu dan pindah.”
“Kenapa ngatur? Aku udah bayar. Sayang uangnya.”
“Belakang hotel itu ada bar. Pengunjung yang sewa LC rata-rata menginap di sana. Itu kawasan kurang baik. Pindah saja.”
“Pindah ke mana? Aku udah capek, maunya istirahat.”
“Memangnya kapan sampai di Jakarta?”
“Tadi jam sembilan.”
“Habis ini aku cariin hotel—”
“Enggak usahlah, Mas. Aku di situ aja. Kan aku di kamar terus. Ini keluar juga karena cari makan. Kalau enggak, ya, enggak.”
“Nurut sama aku! Jangan ngeyel. Ini Jakarta, bukan Jogja. Ngerti?!”
Aku langsung menciut saat suara Mas Rivan agak meninggi. “I-iya.”
Setelah membereskan semuanya, Mas Rivan menghampiri motornya. Dia naik motor itu, lalu berhenti di depanku.
“Naik!” ujarnya dengan nada perintah.
“Aku jalan kaki aja. Orang dekat ini.”
“Cepat, naik!”
“Kenapa maksa, sih?”
“Kamu bebal. Disuruh naik aja enggak mau.”
“Ini bukan soal bebal. Kakiku sakit, sedangkan motornya Mas tinggi. Joknya juga enggak enak buat dinaikin. Aku ada alasan logis kenapa nolak.”
Tak peduli mau motor harga ratusan juta, kalau jok-nya naik dan menukik, aku tidak suka. Sudah paling benar jok motor matic.
“Ya udah, aku ke sana dulu. Aku tunggu.”
Aku mengangguk. “Iya.”
Butuh lima menit untuk aku jalan sampai area depan hotel. Mas Rivan sudah turun dari motornya dan berdiri di depan lobi.
“Lihatlah, betapa enggak amannya hotel ini.” Mas Rivan menunjuk dua pasangan yang saling merangkul dengan kondisi setengah mabuk.
“Mana kutahu. Aku cuma asal pesan yang murah.”
“Ya makanya pindah. Kalau kamu diserang orang mabuk mau gimana? Kuat melawan?”
Aku menggeleng. “Ya enggak.”
“Makanya nurut.”
“Iyaaa!”
Mas Rivan mengantarku ke lantai dua, tempat kamarku berada. Aku tidak mengizinkannya masuk kamar, jadi dia menunggu di luar. Aku berkemas cepat-cepat agar tak membuat Mas Rivan menunggu terlalu lama.
“Udah?” tanya Mas Rivan saat aku keluar membawa satu koper besar beserta satu tas jinjing yang juga berukuran besar. Meski terlihat banyak, sebenarnya belum sebanyak itu mengingat aku ke Jakarta untuk menetap.
“Udah.”
Mas Rivan menatap koperku, lalu menatapku lekat. Aku yakin sekali, dia pasti penasaran kenapa aku tiba-tiba begini. Hanya tidak mungkin dia bertanya detail di saat kami sudah lama tak bersua. Ya, semoga saja aku tidak ke-pede-an.
“Aku pesenin taxi dulu. Nanti suruh taxinya ngikut di belakangku.”
Aku mengangguk. “Iya.”
Mas Rivan tiba-tiba mengambil alih koperku dan mebawanya ke lift. Aku tak ada tenaga untuk melarang, jadi kubiarkan saja.
Sesampainya di bawah, sudah ada taxi yang menunggu kami. Mas Rivan memasukkan barang-barangku, lalu menyuruhku masuk.
“Ikuti saya, Pak.”
“Baik, Mas.”
Mas Rivan naik motornya, dan taxi yang kutumpangi pun akhirnya mulai jalan. Jujur, saat ini aku setengah blank. Sudah lelah karena pejalanan jauh, keserempet motor, lapar, masih ketemu mantan pula.
Entahlah! Aku benar-benar sudah pasrah!
Butuh lima belas menitan sampai taxi yang kutumpangi belok menuju pelataran hotel. Aku menganga saat melihat betapa mewah hotel yang akan kumasuki.
“Mas Rivan gila! Mau bayar pakai apa, aku? Kalaupun bisa, mending pakai yang lain!”
Begitu aku turun, aku langsung menghampiri Mas Rivan. Aku menatapnya marah.
“Yang bener aja, Mas! Ini per malam berapa, coba? Aku ke sini mau kerja, bukan mau berlibur!”
“Ikut aja.”
“Enggak mau!”
“Jangan ngeyel!”
Mas Rivan kini menurunkan barang-barangku dan menarik masuk. Inginku segera menahannya, tetapi kondisi kakiku membuatku hanya bisa pasrah.
Mau tak mau, akhirnya aku menyusul Mas Rivan yang kini sedang berada di resepsionis. Aku berdiri di sampingnya dengan perasaan sebal.
“Kamu sewa berapa hari hotel yang tadi?” tanya Mas Rivan kemudian.
“Tiga hari.”
“Oke.”
Mas Rivan bicara dengan resepsionis. Jelas, dia memesan kamar dadakan. Sudah terlanjur begini, menolak pun rasanya percuma. Kalau harus balik ke hotel tadi juga jelas tak mungkin.
“Udah, selesai. Kita ke sana dulu.”
“Hm.”
Aku dan Mas Rivan jalan ke arah sofa lobi. Dia memberiku cardlock. “Aku udah sewa tiga hari. Tinggallah di sini selagi cari kos. Jangan salah paham, aku hanya membantu teman.”
“Iya. Cuma teman!” balasku menekan. “Ini berapa harga per malamnya?”
“Enggak usah pikirin itu. Sana naik, aku pulang—”
“Tunggu, Mas!”
“Kenapa?”
Aku menelan ludah. “Mungkin ini terdengar enggak tahu diri, tapi aku lapar. Ayamku tadi kebuang gitu aja.”
“Ah, iya. Aku lupa. Sekarang kupesankan makanan. Kamu tunggu di sini.”
Mas Rivan meraih ponselnya dan memesan makanan untukku. Aku terus menatapnya, tetapi ketika dia menatapku balik, aku melengos.
Jujur, Mas Rivan tampak jauh lebih tampan daripada yang dulu. Padahal kami berpisah belum terlalu lama, tetapi perubahan auranya sangat drastis.
Dulu dia masih agak kurus dan wajahnya terlihat sedikit kekanakan. Tidak seperti sekarang. Badannya sudah lebih berisi— bukan gendut— dan rahangnya jauh lebih tegas. Dia benar-benar terlihat seperti laki-laki matang. Wajar, saat ini dia sudah berkepala tiga.
“Anggap aja, sewa hotel tiga hari ini sebagai penebus rasa bersalahku tadi. Aku minta maaf karena sudah menabrakmu.”
Aku mengangguk. “Iya, enggak papa. Makasih.”
“Oke.”
Hening.
Saat Mas Rivan menatapku lagi, kebetulan aku juga sedang menatapnya.
“Mil …”
“Hm?”
“Malam itu aku enggak salah lihat?”
“Yang mana?”
“Map itu.”
Mataku menyipit. “Ah! Akta cerai?”
“Iya.”
“Kenapa? Mau meledekku? Aku seorang janda, sekarang.” Aku tersenyum miris.
“Jangan terlalu percaya diri. Aku tanya untuk memastikan kalau apa yang kulakukan enggak membuat seseorang marah.”
“Dari tadi bilang jangan terlalu percaya diri terus. Siapa juga yang percaya diri?” lama-lama aku kesal juga. “Kalau Mas Rivan masih sudi menganggap aku teman, ya, aku malah berterima kasih. Tenang aja, aku akan melupakan yang dulu-dulu. Toh udah lama juga.”
“Aku enggak pernah memintamu begitu.”
“Hah?”
Bukannya menjawab, Mas Rivan malah bangkit. “Udah, ya, aku pulang dulu. Kamu tunggu di sini selagi makanannya belum datang. Bentar lagi, paling.”
“Iya. Makasih banyak, Mas.”
“Sekali lagi, maaf untuk yang tadi.”
“Enggak papa. Aku juga yang salah.”
Akhirnya, Mas Rivan keluar hotel. Aku sendiri ikut bangkit dan keluar. Aku mengantarnya sampai ujung teras.
Mas Rivan naik motornya, lalu memakai helm. Dia sempat menatap ke arahku, hanya aku tidak tahu bagaimana ekspresinya karena wajahnya terutup. Begitu motornya pergi, entah kenapa aku merasa seperti ada yang hilang dari diriku.
Apa-apaan, ini! Kenapa rasa ‘kehilangan’-nya masih sama seperti dulu?
***