Sudah lima hari Vanilla menjalankan perannya sebagai seorang OG. Ia sekarang sudah mulai menikmati pekerjaannya. Setiap pagi ia akan menghidangkan kopi, teh atau s**u sesuai dengan permintaan para staff kantor. Ia menerima semua ucapan terima kasih plus senyum ramah dari setiap staff yang ia layani dengan senyum ramah juga. Ia paling hanya nyengir-nyengir geli jika digombali oleh para staff laki-laki yang terang-terangan ingin pedekate dengannya. Beberapa bahkan ada yang nekad ingin melamarnya! Mereka mengusulkan agar ia cukup duduk manis di rumah saja. Segala kebutuhannya dan juga kebutuhan anak-anak mereka kelak biar menjadi urusan mereka saja katanya. Vanilla hanya tertawa dan mengatakan bahwa ia belum ingin menikah dalam usia semuda ini. Mereka semua tidak mengetahui jati dirinya yang sebenarnya, kecuali Altan dan Winda. Dua manusia songong itu sudah pasti amat menyukai posisi terendahnya saat ini.
Secara pribadi sebenarnya ia juga tidak terlalu mempersoalkan tentang status kasta yang dianggap turun kelas oleh Winda. Baginya itu semua tidak penting. Jujur ia malah merasa beruntung. Sulit dipercaya bukan? Ia merasa beruntung karena dengan bukan menjadi siapa-siapa, ia menjadi lebih mudah bergaul dengan siapa saja dengan lebih leluasa. Dengan demikian ia jadi tahu apa problema kehidupan para pekerja dan masyarakat yang maaf, hidupnya kurang beruntung dalam hal materi. Ia juga sering membantu Mang Entis dan Pak Budi, SATPAM kantor yang sakit-sakitan karena faktor usia. Vanilla sering membelikan obat-obatan atau pun sekedar makanan yang ia bawa dari rumah. Mereka bercerita bahwa beban hidup mereka sangat berat karena harus menanggung biaya rumah tangga sekaligus juga biaya pendidikan anak-anak mereka yang menurut mereka sangat mahal. Makanya mereka berdua bekerja keras. Selain sebagai Satpam, mereka juga bekerja serabutan sebagai ojek online atau pun berjualan makanan setelah kantor tutup. Mereka melalukan berbagai usaha agar kebutuhan hidup keluarga bisa terpenuhi.
Sering bergaul dan berbincang dengan orang-orang yang kurang beruntung, membuat pribadinya menjadi lebih peka. Ia seolah-olah merasa ikut mengalami hanya dengan mendengar cerita mereka. Ikut merasakan beban yang mereka tanggung setiap harinya. Mereka mengatakan kalau masa depan anak-anak mereka sangat bergantung dari pekerjaan yang mungkin dianggap remeh oleh orang-orang kebanyakan. Padahal dibalik sebuah pekerjaan, ada resiko dan beban berat yang ditanggung oleh mereka semua. Hanya saja kita tidak sepenuhnya tahu karena sekadar melihat pekerjaan itu dari luar. Sekarang ia sudah bisa lebih menghargai kerja keras seseorang dalam bidang apapun pekerjaan mereka. Ia kini menyadari bahwa tidak ada pekerjaan yang pantas dipandang sebelah mata di dunia ini. Seremeh apapun itu, ada waktu, tenaga, resiko dan pengabdian yang dikorbankan di dalamnya.
Pagi yang sibuk. Vanilla dengan cekatan meracik minuman dan mengantarkannya dengan cepat ke meja-meja para staff. Ia kembali lagi ke pantry untuk membuatkan kopi Altan. Sepertinya setelah tugas magangnya usai, ia bisa melamar menjadi seorang barista handal akibat keseringan meracik kopi. Apalagi kalau meracik kopinya untuk boss setannya ini. Tidak pernah sekali langsung jadi. Minimal harus sampai gelas ketiga, baru katanya rasa kopinya layak diminum oleh manusia. Lihatlah, bagaimana ia jadi tidak kepengen meneteskan beberapa cc sianida de dalam kopinya? Karena alasan itulah ia selalu membuat kopi untuk boss songongnya itu paling akhir. Karena kalau pun ia nanti bakal bolak balik mengganti bergelas-gelas kopi, pekerjaannya yang lain tidak akan terganggu. Betapa sabar dirinya bukan? Akhir-akhir ini sepertinya sabar telah menjadi nama tengahnya.
Hari ini kantor mereka akan kedatangan client-client penting dari luar negeri untuk membahas pembangunan apartemen-apartemen siap huni. Pembangunan apartemen belakangan ini memang semakin gencar saja. Tidak hanya di pusat kota, bahkan pembangunan hunian vertikal ini sudah mulai bergeser ke area pinggiran kota. Dari selintas pembicaraan yang kemarin tidak sengaja ia dengar, unit-unit yang ditawarkan Altan pada client sold out hanya dalam hitungan minggu. Makanya sepertinya Altan akan kembali membangun apartemen-apartemen mewah dengan menggandeng para investor-investor luar negeri. Alasan pembangunan apartemen terus menggeliat tentu saja dikarenakan keterbatasan lahan. Dan kondisi tersebut mendorong tingginya harga rumah tapak yang salah satunya dipengaruhi oleh harga tanahnya. Semakin maju suatu daerah dan infrastrukturnya, maka pasti akan semakin tinggi juga harga tanahnya. Oleh karena itulah, apartemen menjadi solusi banyak orang yang ingin memiliki tempat tinggal praktis namun ekonomis.
Vanilla menjerit kaget dan menjatuhkan kopinya begitu saja, saat merasakan kedua matanya ditutup seseorang. Pandangan yang mendadak menggelap serta desahan napas yang menyapu-nyapu kuduknya membuatnya menjerit histeris. Traumanya seketika kembali menggila setelah sekian lama tidak pernah terjadi. Ia bahkan tidak merasakan apa-apa, saat tangannya tersiram kopi panas. Reaksi pertamanya adalah segera berjongkok dengan kepala yang terus ia kuburkan pada kedua lututnya. Tanpa sadar, ia menjerit-jerit histeris.
Altan yang bermaksud untuk masuk ke dalam ruangan meeting, segera berlari kencang ke arah asal suara. Saat mengetahui bahwa asal jeritan histeris itu berasal dari arah pantry, ia berlari begitu saja dan meninggalkan client-clientnya. Sesuatu pasti telah terjadi pada si bocah gila itu. Saat tiba di pantry, ia dihadapkan pada pemandangan Vanilla yang sedang berjongkok sambil menjerit-jerit ketakutan. Seorang pria yang ia kenali sebagai salah satu clientnya, tampak membungkukkan tubuh di atas Vanilla yang dalam posisi berjongkok. Jemarinya terkepal. Apa yang sudah dilakukan putra tunggal anak si raja PKS ini pada Vanilla?
"Apa yang sudah Anda lakukan pada staff saya, Pak Mahater Depati?" Altan menghempaskan tubuh Mahater hingga menghantam tembok di belakangnya. Altan ikut berjongkok. Menghela lembut bahu Vanilla dan berusaha membantunya berdiri. Ada yang aneh. Vanilla berkeras tetap jongkok dan membuat tubuhnya sekaku mungkin sehingga Altan tidak bisa menguraikan tubuhnya. Vania terus bertahan dengan posisi tubuh meringkuk seperti janin. Satu pengertian baru memasuki benak Altan. Vanilla pasti pernah mengalami trauma.
"Saya tidak melakukan apa-apa, Pak Altan. Saya ini kakak kelas sekaligus teman lama Vanilla. Saya tadi hanya bermaksud bercanda dengan menutup kedua matanya dari belakang. Seperti masa-masa sekolah kami dulu. Saya sama sekali tidak menduga kalau reaksinya malah jadi seperti ini." Ucap Mahater panik. Sepertinya Mahater memang tidak berbohong. Wajah rekan bisnisnya itu memang terlihat kebingungan. Saat Altan melihat Mahater kembali bermaksud mendekati Vanilla, ia segera menggelengkan kepalanya. Tidak boleh ada gerakan tiba-tiba yang akan kembali memicu kepanikan Vanilla.
Suasana pantry menjadi ramai oleh banyaknya staff yang penasaran saat mendengar teriakan histeris Vanilla. Istimewa untuk pertama kalinya boss besar mereka berlari menolong seorang OG dan meninggalkan client-client potensialnya begitu saja. Apalagi saat melihat boss besar mereka memeluk seorang OG. Pemandangan itu menimbulkan spekulasi yang tidak-tidak dipikiran mereka masing-masing.
"Tasya, bawa Bapak Mahater Depati dan client-client yang saya tinggalkan tadi ke ruangan meeting sekarang. Setelah urusan saya selesai, saya akan segera menyusul." Perintah Altan pada sekretarisnya. "Dan kalian semua, untuk apa kalian semua berkumpul di sini? Segera kembali ke ruangan masing-masing!" Sembur Altan. Kerumunan para staff pun bubar. Saat Vanilla masih tidak mau mengurai tubuhnya dari posisi berjongkok, Altan memutuskan mengangkatnya begitu saja. Ia bersusah payah menggendong Vanilla dalam posisi aneh seperti itu.
Altan membawa Vanilla ke dalam ruangannya sendiri. Ia memutar tuas sudut lemari yang berisi buku-buku hingga lemari itu berputar, dan memperlihatkan sebuah ruangan lain di baliknya. Ruangan ini adalah ruangan pribadinya untuk beristirahat, apabila ia sedang penat dengan pekerjaan. Ia menurunkan Vanilla pada sofa panjang yang nyaman dan untuk sementara membiarkannya begitu saja. Ia merasa kalau Vanilla mungkin masih tidak nyaman dengan sentuhan. Mengajaknya berbicara pun pasti akan sia-sia saja. Karena sepertinya ia masih belum sadar dengan keadaan di sekelilingnya.
Altan merasa serba salah sendiri. Meninggalkan Vanilla begitu saja di sini, kok rasanya ia tidak tega. Tapi kalau ia meninggalkan client-clientnya begitu saja, itu juga tidak baik. Bagaimana pun ia harus bersikap professional. Di saat ia sedang bimbang, suara sengau khas orang baru saja menangis memasuki pendengarannya.
"Bapak temui saja client-client Bapak tadi. Saya tidak apa-apa kok, Pak. Saya tadi cuma latihan drama. Ternyata akting saya cukup bagus ya, Pak?" Suara sengau Vanilla yang terus mengoceh, membuat Altan menghela napas. Vanilla sedang mengalihkan masalah.
"Akting saya maju pesat ya, Pak? Bapak saja sampai percaya kalau saya tadi sedang bermasalah. Maapkan saya yang sudah membuat kekacauan pagi-pagi ya, Pak? Hehehe." Vanilla tertawa. Tetapi tawa itu tidak sampai pada matanya. Matanya masih tampak horror. Sepertinya gadis ini tidak mau mengakui traumanya. Altan memutuskan untuk mendiamkan saja dulu aksi Vanilla. Tidak ada gunanya ia memaksa dalam keadaan seperti ini. Tapi dalam hati ia berjanji bahwa ia akan menyelidiki masalah ini. Setelah yakin kalau Vanilla dalam keadaan baik-baik saja, barulah ia keluar dari ruangan dengan Vanilla yang mengekor di belakangnya.
Altan berjalan lurus ke arah ruang meeting dan Vanilla kembali berjalan ke pantry. Vanilla berusaha rileks dan bersikap seolah-olah tidak ada kejadian apa-apa. Ia mengabaikan tatapan penuh spekulasi dari orang-orang yang berbisik-bisik di belakangnya. Ia terus mengingat-ingat nasehat bundanya di kala ia sedang membutuhkan support seperti ini.
Ingat ya, La? Dalam hidup ini tidak semua hal perlu kamu ambil hati. Ada waktunya kita stay. Ada waktunya on the way. Ada waktu care. Dan ada waktunya I dont care. Tersenyum saja dalam menghadapi para fans ataupun haters dalam hidup kita. Karena senyum adalah cara menunjukan bahwa kamu itu tidak peduli. Pun sebaliknya.
"Gue sama sekali nggak nyangka kalo lo ternyata menderita penyakit skizofrenia. Lo nggak konsultasi ke dokter gitu, La? Takutnya ntar keterusan, lo malah jadi gila beneran. Gue sih nggak ada maksud apa-apa ya ngomong begini sama lo. Gue cuma prihatin aja sebagai sesama teman." Winda. Satu lagi virus pengganggu di kantornya bersuara. Ini manusia tidak ada bosan-bosannya mengurusi kehidupan orang lain. Toxic people.
"Win, hidup lo itu sebenernya bisa lebih mudah dan bahagia kalo lo itu menjalaninya dengan wajar. Ngapain sih lo membuat diri lo sendiri susah dengan ngurusin hidup gue juga? Lagian kalo lo emang niat banget ngurusin hidup gue, jangan tanggung-tanggung dong. Sekalian aja lo urusin ini gelas-gelas kotor, nyapu, ngepel sambil ngelap-ngelap furniture. Kalo perlu isiin pulsa hape gue sekalian biar tambah mantul." Sahut Vanilla kalem.
"Eh, lo kalo di--"
"Ada apa ini? Saudari Winda, kalau Anda memang tidak serius magang di kantor ini, silahkan angkat kaki sekarang juga?" Suara Altan. Sepertinya tanpa mereka berdua sadari, Altan telah cukup lama memperhatikan perseteruan mereka berdua.
"Apa perlu saya memberitahu ayah Anda tentang sikap Anda ini? Istimewa mengingat betapa ayah Anda sudah berusaha melobby saya agar bersedia menerima Anda magang di sini?" Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Altan membuat Winda memucat.
"Maaf Pak, jangan beritahu ayah saya. Saya akan segera memperbaiki sikap dan kinerja saya ke depannya. Permisi." Winda langsung ngibrit setelah diancam oleh Altan. Syukurlah satu hama pengganggu sudah keluar. Semoga hama yang ini juga segera menyusul.
"Bapak ke sini ada perlu apa ya?" Tanya Vanilla sopan. Bukan apa-apa. Ia kan juga magang di sini. Apa kabar skripsinya kalau ia juga ditendang. Rugi sekali setelah ia dibabuin, ditendang lagi. Vanilla menepuk jidatnya sendiri. Ada sesuatu yang ia lupakan. "Oh iya, kopi buat Bapak tadi tumpah ya? Maaf ya, Pak. Akan segera saya buat yang baru."
"Tidak perlu. Kopi penggantinya sudah diantarkan oleh Yati tadi." Sahut Altan pendek.
"Oh sudah diganti, Yati. Lha kalau begitu, Bapak mau ngapain ke sini? Mau melihat keadaan saya ya? Ehm. rupanya diam-diam Bapak sangat memperhatikan saya ya?" Vanilla menaik turunkan alisnya dengan jenaka. Menggoda Altan. Sementara yang digoda menyumpah-nyumpah dalam hati karena telah bertindak tanpa pikir panjang untuk memeriksa keadaan gadis badung ini. Ini bocah kan memang tidak bisa dikasih hati. Diberi angin sedikit saja, langsung perasaan dicintai. Heran, sifat Om Heru tidak ada nurun-nurunnya pada si gila ini. Malah sifat absurd Tante Lily yang menurun hingga partikel syarafnya.
"Siapa bilang saya ke sini untuk melihat keadaan kamu? Saya hanya mengecek apakah keramik lantai pantry jadi rusak karena tersiram kopi. Itu saja!" Sahut Altan ketus.
"Hah? Ngecek keramik lantai yang tersiram kopi panas? Pak, ini lantai keramik dibuat dari tanah liat yang dilapisi dengan material glazur. Bukan terbuat dari tepung sajik*. Masak iya hanya karena terkena kopi panas jadi rusak? Bapak ini mimpi atau lagi nggak ngotak karena terus mikirin saya? Sudah lah Pak, mengaku saja. Bapak mencemaskan keadaan saya kan? Ayo ngaku?" Tuntut Vanilla kocak.
"Dasar gila kamu ini. Yang bertanya kamu, yang menjawab juga kamu sendiri." Altan bergegas meninggalkan pantry sebelum setan kecil itu berpikiran aneh-aneh lagi.
Vanilla baru bisa menarik napas lega setelah Altan menghilang dari pandangannya. Setiap berdekatan dengan Altan, emosinya selalu tidak stabil. Manusia yang seperti ini sebaiknya ia hindari. Karena berpotensi memicu penyakit hipertensi dini.
Drrtt... drttt... drttt...
Ponsel di sakunya bergetar. Pandan Wangi meneleponnya.
"Hallo, La. Ada berita buruk. Kayaknya rencana kita untuk menggagalkan pernikahan Aliya lusa harus diubah semua konsepnya. Lo tahu siapa calon lakinya si Liya? Om Bumi, La. Bumi Persada Prasetya!
MAMPUS!